Selasa, 03 Februari 2009

REPOSISI LEMBAGA PENELITIAN HUKUM


REPOSISI LEMBAGA PENELITIAN HUKUM
DALAM MANAJEMEN LEGISLASI
MENUJU TERWUJUDNYA GOOD GOVERNANCE[1]

Arfan Faiz Muhlizi[2]
Abstract

The condition to have a sound legislation is by means of democratic mechanism. But, the democratic mechanism usually costly especially “developing” countries or almost “poor” countries such as Indonesia. For that reason, Indonesia requines a more efficient and effective legislation management. One of the alternative to solve is to carry out thenprinciples of good governance in legislation process. By implementing these principles certainly will influence the prosess of legislation management. Should the legislation management implementing the goog governance principle, it is also be noticing that the role of research is the standard in drafting the bill. It is necessary to have a good coordination whiten the listen related institutions in the process of legislation strating from preliminary legislation until post legislation.The coordination among the research institution’s required in order the legislation process can be more effectively and efficiently.

Key Words: legislation, research, academic draft, coordination, effective, efficient, good governance


Abstrak


Untuk membuat peraturan perundang-undangan yang baik harus dengan mekanisme yang demokratis. Tetapi mekanisme yang demokratis ini biasanya memerlukan biaya yang mahal bagi Negara “berkembang” atau lebih mendekati “miskin” seperti Indonesia. Untuk itu, sangat perlu manajemen legislasi agar proses ini menjadi lebih efektif dan efisien. Salah satu cara yang ditawarkan adalah dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance dalam proses legislasi. Dengan begitu diharapkan mekanisme yang efektif dan efisien dalam proses legislasi dapat bersanding dengan mekanisme yang demokratis. Bila manajemen legislasi menerapkan prinsip-prinsip good governance maka akan terlihat bahwa dalam proses pra legislasi harus memperhatikan peran penelitian, bahkan harus menjadi dasar sebelum membuat suatu RUU. Perlu ada koordinasi yang baik antar lembaga-lembaga yang terkait dalam proses legislasi mulai dari pra legislasi hingga pasca legislasi. Koordinasi lembaga-lembaga penelitian di mana produknya akan menjadi bahan pembuatan RUU atau Naskah Akademis RUU juga akan menjadikan mekanisme legislasi lebih efektif dan efisien.

Kata Kunci: legislasi, penelitian, naskah akademik, koordinasi, efektif, efisien, good governance

A. Pendahuluan
Istilah manajemen datang dari bahasa Inggris management. Istilah ini terbentuk dari akar kata manus, tangan, yang berkaitan dengan kata menagerie yang berarti beternak. Menagerie juga berarti sekumpulan binatang liar yang dikendalikan di dalam pagar. Kata manus berkaitan dengan kata menage yang berasal dari bahasa latin mensionaticum yang berarti pengelolaan rumah besar (Taliziduhu Ndraha, 2003:159). Pada dasarnya manajemen mempelajari bagaimana menciptakan effectiveness usaha (doing right things) secara efficient (doing things right) dan produktif, melalui fungsi dan siklus tertentu, dalam rangka mencapai tujuan organisasional yang telah ditetapkan.
Manajemen legislasi yang demokratis dapat dilakukan dengan menyeimbangkan trend globalisasi dan semangat kedaerahan dalam era otonomi daerah. Sebagaimana dikatakan oleh John Naisbitt, bahwa keinginan akan keseimbangan antara kesukuan dan universal selalu ada bersama kita. Sekarang demokrasi dan revolusi dalam telekomunikasi (yang menyebarkan berita tentang demokrasi dan memberikan urgensi padanya) telah menimbulkan kebutuhan akan keseimbangan antara kesukuan universal ke tingkat yang baru. (John Naisbitt, 1994: 16)
Manajemen legislasi yang demokratis harus mampu menangkap aspirasi dari masyarakat. Menurut teori proses, yang merupakan teori mutakhir hukum tata negara, hukum adalah sesuatu yang dinamis, artinya ia selalu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Dengan demikian hukum seharusnya mampu menangkap aspirasi dari masyarakatnya (Jimly Assiddiqie, 1997:24). Aspirasi ini secara klasik diserap oleh anggota parlemen (DPR), tetapi ketika ketidakpercayaan kepada parlemen semakin menguat dan dianggap tidak representasi rakyat maka harus ada alternatif lain. Alternatif penampungan aspirasi yang lain tersebut salah satunya adalah dengan menjadikan hasil penelitian sebagai input dalam mengeluarkan kebijakan (termasuk legislasi).
Setiap kegiatan pemerintahan berhubungan dengan suatu kebijakan. Pada setiap langkah dalam proses, fungsi, rute, dan siklus kebijakan, pihak yang diperintah terlibat atau dapat dilibatkan. Hal itu terlihat pada analisis kebijakan pada umumnya, yang juga berlaku bagi kebijakan pemerintahan, dimana Taliziduhu Ndraha membedakannya menjadi:
1. Kebijakan pemerintah berdasarkan pertimbangan kemanusiaan. Inputnya berasal dari hasil penelitian filsafat pemerintahan, teologi pemerintahan, dan sebagainya.
2. Kebijakan pemerintahan berdasarkan pertimbangan kependudukan. Inputnya berasal dari penelitian demografi pemerintahan, geografi pemerintahan, dll.
3. Kebijakan pemerintahan berdasarkan pertimbangan kemasyarakatan. Inputnya berasal dari penelitian sosiologi pemerintahan, ekonomi pemerintahan dsb.
4. Kebijakan pemerintahan berdasarkan pertimbangan kebangsaan. Inputnya dari penelitian budaya pemerintahan, sosiologi pemerintahan, politik pemerintahan, hukum pemerintahan, dsb.
5. Kebijakan pemerintahan berdasarkan pertimbangan kenegaraan. Inputnya berasal dari penelitian politik pemerintahan, hukum pemerintahan dsb.
6. Kebijakan pemerintahan berdasarkan pertimbangan hubungan pemerintahan. Inputnya berasal dari penelitian administrasi pemerintahan, ekologi pemerintahan, seni pemerintahan, etika pemerintahan, bahasa pemerintahan dsb. (Taliziduhu Ndraha, 2003:498)
Berbagai kebijakan serta sumber inputnya tersebut akan sangat bermanfaat bila dapat dikelola dengan baik dalam suatu manajemen legislasi yang tidak hanya sekedar demokratis, tetapi juga harus bisa efektif dan efisien sebagaimana prinsip good governance dan sekaligus prinsip manajemen organisasi. Efektifitas biasanya berkaitan erat dengan demokratis dan aspiratif. Artinya apabila manajemen legislasi itu telah demokratis maka hampir bisa dipastikan akan efektif berlaku di dalam masyarakat. Tetapi sifat efisien kadang harus berlawanan dengan sisi demokratis, karena efisiensi cenderung identik dengan penggunaan anggaran sekecil-kecilnya, penggunaan waktu yang sesingkat-singkatnya, serta prosedur yang sesederhana mungkin. Padahal demokrasi adalah sebuah proses yang harus dibayar dengan mahal, dan membutuhkan waktu yang lama. Sebuah kesuksesan yang luar biasa apabila tiga elemen, yaitu demokratis, efektif dan efisien dapat dikelola sedemikian rupa dalam suatu manajemen legislasi.
Efisiensi di sini bisa diwujudkan di antaranya dengan menghilangkan tumpang tindih kegiatan, duplikasi fungsi dari lembaga yang berbeda, perampingan organisasi, serta penyederhanaan mekanisme legislasi, mulai dari pra legislasi hingga pasca legislasi.

B. Penerapan Prinsip-prinsip Good Governance Dalam Manajemen Legislasi
Terselenggaranya pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa (clean and good governance) menjadi cita-cita dan harapan setiap bangsa. Selama ini konsep governance dalam clean and good governance banyak dirancukan dengan konsep government. Konsep governance lebih inklusif daripada konsep government. Konsep government menunjuk pada suatu organisasi pengelolaan berdasarkan kewenangan tertinggi (negara dan pemerintah). Konsep governance melibatkan tidak sekedar pemerintah dan negara, tetapi juga peran berbagai aktor di luar pemerintah dan negara, sehingga pihak-pihak yang terlibat juga sangat luas. (Joko Widodo, 2001:18)
Herwin Nur, dalam tulisannya yang berjudul Meruwat Good Governance Sebagai Tradisi Kerja Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe Dalam Format Birokrasi Dinamis, di http://www.pu.go.id/%20itjen/%20buletin/%204546%20ruwat.htm melihat bahwa Good governance tidak bisa hanya dititikberatkan pada birokrasi atau kalangan eksekutif saja, karena good governance mempunyai tiga domain, yaitu; Negara atau pemerintahan (state), sektor swasta atau dunia usaha (private sector), dan masyarakat (society).
Good governance juga bisa berarti aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan. Hal ini diukur dari beberapa prinsip good governance seperti dalam beberapa versi berikut: Pertama, menurut Bhata adalah akuntabilitas (accountability), transparansi (tranparency), keterbukaan (openess), dan rule of law. Kedua, Ganie Rochman menyebutkan ada empat unsur utama, yaitu accountability, adanya kerangka hukum (rule of law), informasi, dan transparansi. Ketiga, United Nations Development Programme (UNDP) sebagaimana dikutip Lembaga Administrasi Negara (LAN) memberi karakteristik antar lain: participation, rule of law, transparency, responsiveness, consensus orientation, equity, effectiveness and efficiency, accountability, strategic vision. (Joko Widodo, 2001: 1-2); Keempat, Taufik Effendi dalam makalahnya berjudul Kebijakan Tata Pemerintahan Yang Baik (Good Governance): Rencana Strategis Pemerintah, yang disampaikan pada acara Rapat Pleno Komite Nasional Kebijakan Governance, sabtu, 8 Januari 2005, di Jakarta, prinsip-prinsip good governance adalah kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas publik, profesionalitas, moralitas, proporsionalitas dan netralitas. Kelima, menurut Susilo Bambang Yudhoyono, prinsip-prinsip good governance adalah commpetence, transparancy, accountability, participation, rule of law, dan social justice (Azhari Idham, 2003: 9-10).
Pelaksanaan tata pemerintahan yang baik sebagaimana diuraikan di atas memerlukan beberapa hal sebagai berikut:
1. Instrumen yang menjamin tata pemerintahan yang baik, entah itu melalui peraturan-peraturan yang bersifat umum, berlaku untuk semua, pada setiap situasi dan setiap saat, maupun peraturan-peraturan yang bersifat umum, berlaku untuk semua, pada setiap situasi dan setiap saat, maupun peraturan-peraturan khusus pada situasi tertentu.
2. Instrumen yang mendorong pelaksanaan tata pemerintahan yang baik secara stimulan dan korektif, misalnya melalui pedoman dan petunjuk, prosedur perijinan, pedoman tingkah laku, sistem subsidi dan penghargaan.
3. Instrumen yang memantau pelaksanaan tata pemerintahan yang baik melalui evaluasi kinerja oleh aparat pemerintah sendiri maupun melalui pengawasan oleh lembaga independen (yang tidak berpihak), oleh media massa dan oleh masyarakat sendiri.
(http://www.goodgovernance.or.id )
Hal senada diungkapkan Sjahrir, dalam tulisannya yang berjudul Good Governance di Indonesia Masih Utopia: Tinjauan Kritis Good Governance, Dalam Media Transparansi, edisi 14, November 1999, yang mengatakan bahwa “Pengelolaan yang baik (good governance) setidak-tidaknya harus memiliki tiga faktor yang mesti ditangani secara baik. Faktor tersebut adalah faktor dukungan politik, kualitas administrasi pemerintahan dan kapasitas membuat, menerapkan serta mengevaluasi kebijaksanaan-kebijaksanaan khususnya di bidang ekonomi”. Sedangkan W.J.M. van Genigten, menyatakan bahwa “Good governance concerns the fulfilement of three elemenray tasks of government: to guarantee the security of all persons and society itself; to manage an effective framework for the public sector, the private sector and civil society; and to promote economic, sicial and other aims in accordance with the wishes of the population”. (J.M. van Genigten, 1999:97)
Dengan demikian, maka suatu keniscayaan manakala ada keinginan yang besar untuk mewujudkan pemerintahan yang baik di Indonesia. Instrumen pendukung terciptanya good governance sebagaimana disebutkan di atas dalam bidang hukum adalah perlu sekali dibuat peraturan-peraturan yang mampu mendukung terwujudnya good governance. Untuk mewujudkan peraturan yang demikian ini maka mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan juga harus mengacu pada atau memperhatikan prinsip-prinsip good governance. Dalam proses legislasi, prinsip good governance yang paling relevan untuk diterapkan adalah partisipasi, transparansi, kesetaraan, daya tanggap, wawasan ke depan, akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas, serta profesionalisme.
Apabila prinsip-prinsip good governance diterapkan dalam proses legislasi, maka peran penelitian dalam proses legislasi merupakan suatu kemutlakan. Hal ini karena untuk membentuk manajemen legislasi yang memenuhi prinsip partisipasi diperlukan mekanisme penelitian yang mampu menunjukkan keterlibatan masyarakat di dalamnya sehingga semua aspirasi dapat terserap. Untuk memenuhi prinsip daya tanggap dan wawasan ke depan juga diperlukan penelitian. Penerapan prinsip tranparansi, akuntabilitas, dan pengawasan, digunakan untuk menjamin adanya sebuah proses legislasi yang bersih dan tidak manipulatif, serta didasari oleh data dan fakta-fakta yang memang diperlukan.

C. Peran Penelitian Dalam Proses Legislasi
Dalam pasal 1 angka 1 UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dikatakan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan. Di sini tidak disinggung secara eksplisit dimana posisi penelitian hukum.
Sementara, pandangan multidisipliner dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (legislasi) digambarkan oleh Padmo Wahyono dengan memberi uraian yang meliputi seluruh proses pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
1. Proses yang mengawali pembentukan peraturan perundang-undangan (pra legislasi)
2. Proses pembentukannya sendiri (legislasi)
3. Proses setelah pembentukan tersebut, baik setelah penerapan maupun penegakan dan pengembangan hukum tertulis atau peraturan perundang-undangan (pasca Legislasi) (Ahmad Ubbe, 1999:29)
Pada dasarnya proses ini merupakan sebuah siklus dari pra legislasi, legislasi, pasca legislasi dan kembali ke pra legislasi dan seterusnya. Hal ini disebabkan karena proses pada tahap pasca legislasi kemudian bisa menjadi bahan masukan bagi proses di tahap pra legislasi kembali. Dengan menggunakan alur atau proses di atas maka penelitian merupakan kegiatan yang masuk dalam tahap pra legislasi.
Bivitri Susanti, dalam tulisannya mengenai Politik Legislasi Dalam Program Legislasi Nasional (Koran Tempo 23 Februari 2005) ada sebuah kesimpulan yang menarik yang pada intinya menyatakan bahwa “Politik legislasi Indonesia masih bercorak elitis dan dijauhkan dari rakyat”. Penulis setuju dengan pendapat ini dengan catatan bahwa harus ada sebuah kesadaran bahwa politik legislasi yang bersifat elitis ini tidak selamanya merupakan cermin kebobrokan. Dalam sebuah masyarakat yang terjerembab dalam budaya yang corrupt misalnya, adalah tidak layak untuk mengeluarkan suatu kebijakan atau pengaturan yang bersifat populis karena yang populis itu berarti permisif terhadap budaya corrupt.
Pembentukan hukum tertulis pada dasarnya bisa dilakukan dengan pola modifikasi dan kodifikasi. Pertama, Pola modifikasi menginginkan pembentukan hukum didasarkan pada kebutuhan saat ini serta prediksi kebutuhan di masa yang akan datang. Pola modifikasi ini lebih dekat dengan fungsi hukum sebagai tool as social engineering. Konsekuensinya adalah hukum yang terbentuk seringkali tidak bisa diterima oleh masyarakat atau tidak sesuai dengan rasa keadilan di masyarakat meskipun sebenarnya produk hukum ini menginginkan terciptanya masyarakat yang lebih maju.
Kedua, pola kodifikasi merupakan pola pembentukan hukum tertulis berdasarkan nilai-nilai yang telah mengendap di dalam masyarakat. Hukum yang dihasilkan dengan pola ini lebih mudah diterima masyarakat karena sesuai dengan keadilan masyarakat. Meskipun aspiratif, pembentukan hukum dengan pola yang demikian cenderung menjadikan masyarakat yang statis menjadi sukar berkembang di satu sisi. Di sisi yang lain, dalam masyarakat yang dinamis, hukum selalu tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Kedua pola ini merupakan perwakilan dari watak elitis dan watak populis yang seharusnya dikombinasikan dalam proses pembentukan hukum tertulis.
Dikotomi elitis-populis bukanlah persoalan yang tepat untuk diperdebatkan lagi saat ini apabila proses legislasi ini tidak hanya dipahami secara sempit sebagai penyusunan RUU saja melainkan sebuah proses panjang mulai dari perencanaan, penelitian, penyusunan naskah akademis, penyusunan RUU, pembahasan, pengesahan hingga pengundangan. Tidaklah penting darimana asal suatu rancangan undang-undang, apakah dari elite atau dari grass root, karena sebenarnya tidak ada satu pun lembaga yang ada saat ini bisa dikatakan sebagai representasi rakyat –tidak pula DPR. Bahkan DPR perlu pula dipantau mengingat beberapa hal sebagai berikut; pertama, sebagai bentuk partisipasi politik masyarakat dalam demokrasi modern telah disempitkan hanya pada saat pelaksanaan pemilihanan umum (PEMILU); kedua, kurangnya informasi yang diberikan kepada rakyat mengenai apa yang akan, sedang, dan telah dikerjakan oleh DPR, sehingga tidak ada ruang bagi rakyat untuk memberikan kritik, dan menyampaikan aspirasinya (Erni Setyowati, 2003: 5-6)
Dengan demikian maka yang seharusnya dijadikan permasalahan adalah bagaimana memformulasikan suatu mekanisme legislasi agar produk yang dihasilkan nantinya mampu menjadikan kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Langkah yang harus dilakukan untuk mewujudkan hal ini adalah perombakan manajemen legislasi mulai dari proses pra legislasi, legislasi, hingga pasca legislasi, karena apabila manajemen legislasi ini dilakukan dengan mekanisme yang baik maka dikotomi elitis-populis dengan sendirinya akan sirna.
Tahap pra legislasi terdiri dari kegiatan perencanaan, pengkajian, penelitian, serta penyusunan naskah akademis.
Dalam sebuah proses yang berkesinambungan maka suatu rancangan undang-undang harus mengacu pada draft naskah akademisnya dimana draft naskah akademis ini harus mengacu pada hasil penelitian dan perencanaan sebelumnya. Jika penelitian yang dilakukan telah menggali segala aspek sosiologis, antropologis, historis, ekologis serta religius masyarakat dan dilakukan oleh sebuah tim yang melibatkan unsur-unsur dari masyarakat, pemerintah dan DPR, maka -apabila proses ini konsisten diikuti- rancangan undang-undang yang dihasilkan tidak perlu lagi disangsikan akan bercorak elitis.
Penelitian sebagai salah satu mekanisme penting dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan dibutuhkan karena dengan penelitian dapat diungkapkan secara obyektif permasalahan-permasalahan yang inherent dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Pengungkapan permasalahan-permasalahan hukum dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan berguna karena memberi pemikiran-pemikiran serta pengujian-pengujian terhadap prinsip-prinsip hukum yang hendak diletakkan sebagai dasar bagi peraturan perundang-undangan yang hendak dibina dan memberikan alternatif-alternatif yang mungkin diperlukan dalam peraturan perundang-undangan (Ahmad Ubbe, 1999: 96). Informasi yang dihasilkan oleh penelitian akan membantu pembuatan peraturan perundang-undangan untuk mengambil dan menetapkan rumusan yang rasional dan logis serta berbeda dengan rumusan dan rancangan yang hanya didasarkan pada intuisi atau firasat saja, apalagi yang hanya disandarkan pada kepentingan politik sesaat dari kelompok tertentu.
Ada 3 (tiga) alternatif yang ditawarkan dalam menempatkan peranan penelitian dalam proses legislasi, yaitu:
1. Penelitian harus dijadikan dasar perencanaan pembangunan hukum, yang nantinya akan menghasilkan politik hukum yang akan diambil serta dituangkan dalam program legislasi nasional. Ini berarti bahwa politik hukum di Indonesia seperti yang dituangkan dalam UU No.25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), yang di dalamnya terdapat Program Legislasi Nasional, atau UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang akan dijadikan sebagai landasan bagi pembangunan di berbagai bidang, temasuk hukum, harus terlebih dahulu dilakukan penelitian yang komprehensif agar perencanaan yang dihasilkan benar-benar aspiratif.
2. Penelitian harus dijadikan dasar pembuatan draft naskah akademis, selanjutnya draft naskah akademis harus dijadikan pedoman penyusunan RUU. Naskah akademis ini pada dasarnya merupakan penuangan hasil-hasil penelitian dalam bingkai pemikiran hukum untuk kemudian dibuat alternatif-alternatif penormaannya.
3. Penelitian harus dijadikan dasar langsung untuk penyusunan RUU meski tidak dibuat naskah akademis terlebih dahulu. Hal ini membutuhkan kemampuan drafter RUU yang benar-benar baik untuk bisa menangkap dan menuangkan hasil-hasil penelitian itu dalam bentuk norma.
Dengan alur ini maka penelitian dirancang dan dilaksanakan sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan fungsi-fungsi lain dalam proses pembentukan peraturan peraturan perundang-undangan. Proses dalam hal ini diartikan sebagai satu kesatuan yang utuh, bulat dan menyeluruh secara sistemik. Hubungan sistemik antara penelitian dengan pembuatan peraturan perundang-undangan ditekankan pada aspek dimanfaatkannya penelitian sebagai dasar pembuatan peraturan perundang-undangan.

D. Koordinasi Antar Lembaga Penelitian
Proses pembangunan hukum berkaitan erat dengan proses pembuatan hukum atau perangkat peraturan perundang-undangan yang memungkinkan nilai-nilai normatif yang hidup di dalam masyarakat untuk diformulasikan sedemikian rupa dan kemudian dilegitimasikan oleh kekuasaan umum menjadi norma publik (law making process); proses pelaksanaan dan penegakan (law enforcement) yang memungkinkan hukum yang dibangun dan dikembangkan menjadi hidup dan dapat bekerja secara fungsional (living law in action); dan proses pembinaan dan pembangunan kesadaran hukum masyarakat yang memungkinkan hukum dan sistem hukum yang dibangun memperoleh dukungan sosial dalam arti luas (legal awareness) (Jimly Asshiddiqie, 1998:29-30)
Peranan penelitian hukum sangat penting dalam proses pembangunan hukum mengingat untuk mewujudkan good governance, salah satu parameternya adalah adanya partisipasi dan sikap yang responsif yang bisa dicapai dengan baik bila menempatkan penelitian sebagai sebuah keniscayan dalam proses awal legislasi. Good governance menuntut keterlibatan seluruh elemen yang ada dalam masyarakat, yang segera bisa diwujudkan manakala pemerintah didekatkan dengan yang diperintah (Joko Widodo, 2001:2). Dengan penelitian bisa dikenali apa yang menjadi kebutuhan, permasalahan, keinginan dan kepentingan serta aspirasi rakyat secara baik dan benar, dan karenanya kebijakan yang dibuat (termasuk legislasi) akan dapat mencerminkan apa yang menjadi kepentingan dan aspirasi rakyat.
Upaya untuk menciptakan good governance harus diimbangi pula oleh penataan manajemen organisasi yang berkaitan dengan proses legislasi. Hal ini perlu dilakukan agar mekanisme untuk menangkap aspirasi dan partisipasi masyarakat bisa berjalan secara demokratis, efektif dan efisien, serta terwujud suatu sistem legislasi yang terintegrasi (integrated legislation system) yang pada akhirnya akan mampu memproduksi hukum positif yang bisa merangkul unsur rechtmatigheid, wetmatigheid maupun doelmatigheid.
Saat ini konsep mengenai “legislastor” tidak terelakkan lagi mesti diidentifikasikan dengan konsep mengenai “politikus” (Antonio Gramsci, 2001: 225). Namun pengertian “politikus” perlu pula dijernihkan semenjak setiap manusia adalah “makhluk politik“, karena jika demikian maka semuanya juga merupakan legislator. Menurut John Locke, kekuasaan legislatif mungkin dipegang oleh satu orang atau lebih banyak orang; mungkin terus-menerus berlangsung, atau berlangsung secara berselang-seling; dan merupakan kekuasaan tertinggi dalam setiap persemakmuran; akan tetapi, pertama-tama, kekuasaan pembuat undang-undang ini bukan dan tidak dapat merupakan kekuasaan yang bersifat sekehendak hati belaka atas hidup dan harta milik orang-orang (John Locke, 2002:107). Selanjutnya John Locke juga melihat bahwa Legislator memiliki makna juridis dan ofisial khusus –misalnya ia berarti orang-orang yang dikuasakan oleh hukum untuk membuat hukum, meski John Lock juga membuka peluang untuk makna yang berbeda sesuai konteksnya.
Hukum sendiri mempunyai pengertian hukum dapat dibagi menjadi beberapa kelompok sebagai berikut (Jimly Asshiddiqie, 2005: 4-5)
1. Hukum yang dibuat oleh institusi kenegaraan, yang dapat disebut Hukum Negara, misalnya undang-undang, jurisprudensi dan sebagainya.
2. Hukum yang dibuat oleh dan dalam dinamika kehidupan masyarakat atau yang berkembang dalam kesadaran hukum dan budaya hukum masyarakat, misalnya hukum adat.
3. Hukum yang dibuat dan terbentuk sebagai bagian dari perkembangan pemikiran di dunia ilmu hukum, biasanya disebut doktrin. Misalnya, teori hukum fiqh mazhab Syafi’i yang diberlakukan sebagai hukum bagi umat Islam di Indonesia.
4. Hukum yang berkembang dalam praktek dunia usaha dan melibatkan peranan para profesional di bidang hukum, misalnya perkembangan praktek hukum kontrak perdagangan dan pengaturan mengenai “venture kapital” yang berkembang dalam praktek di kalangan konsultan hukum, serta lembaga arbitrase dalam transaksi bisnis.
Dari pengertian-pengertian di atas maka secara sederhana, institusi pembuat hukum (legislator) adalah meliputi:
1. Institusi Negara
a. Pemerintah
b. Parlemen
c. Pengadilan
2. Institusi Masyarakat
a. Institusi masyarakat adat
b. Institusi hukum dalam praktek
c. Lembaga Riset Hukum
Lembaga Riset Hukum dan Perguruan Tinggi Hukum melalui tokoh-tokoh ilmuwan hukum dapat pula berkembang pemikiran hukum tertentu yang karena otoritasnya dapat saja diikuti secara luas di kalangan ilmuwan dan membangun suatu paradigma pemikiran hukum tertentu ataupun aliran pemikiran hukum tertentu. Aliran dan paradigma pemikiran seperti ini pada gilirannya dapat menciptakan suatu kesadaran hukum tertentu mengenai suatu masalah, sehingga berkembang menjadi doktrin yang dapat dijadikan sumber hukum bagi para penegak hukum dalam mengambil keputusan. (Mhd Shiddiq Tgk Armia, 2003: 78-81)

Saat ini di Indonesia ada banyak sekali lembaga penelitian, baik yang berada di bawah pemerintah, DPR, Perguruan Tinggi, ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat. Sebagaimana institusi legislasi yang terdiri dari institusi negara dan masyarakat, maka lembaga penelitian pun bisa dikategorikan menjadi 3 kelompok sebagai berikut:
1. Lembaga Penelitian di bawah Pemerintah
Di bawah pemerintah -sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2005, tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementrian Negara Republik Indonesia- terdapat beberapa lembaga penelitian yang bisa dibagi lagi menjadi 2 kategori;
a. Lembaga Penelitian Departemen
Ada beberapa variasi nama yang dipakai oleh lembaga penelitian dibawah departemen ini, antara lain:
1. Badan Penelitian dan Pengembangan
Nama ini digunakan oleh: Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan, Departemen Hukum dan HAM, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, Departemen Perhubungan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional.
2. Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan, yang digunakan oleh Departemen Luar Negeri.
3. Badan Pembinaan Hukum Nasional
Nama ini dipakai oleh Departemen Hukum dan HAM selain ada juga Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM
4. Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional, yang digunakan oleh Departemen Keuangan.
5. Badan Riset, yang dipakai oleh Departemen Kelautan dan Perikanan.
6. Badan Penelitian, Pengembangan, dan Informasi, yang digunakan oleh DepartemenTenaga Kerja dan Informasi.
7. Badan Pendidikan dan Penelitian, yang digunakan oleh Departemen Sosial.
8. Badan Penelitian dan Pengembagan serta Pendidikan dan Pelatihan, yang digunakan oleh Departemen Agama.
9 Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata Digunakan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
10.Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, yang digunakan oleh Departemen Komunikasi dan Informatika.
b. Lembaga Penelitian Non Departemen, yang antara lain adalah;
1. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
2. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
3. Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL)
2. Lembaga penelitian di bawah DPR
Dibawah BPR terdapat Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi (P3I) yang berfungsi sebagai elemen pendukung DPR. Untuk memperkuat posisi DPR, perlu adanya dukungan dari elemen pendukung (supporting system) yang kuat pula. Adapun elemen pendukung tersebut tidak terbatas pada pelayanan administrasi saja, tetapi juga pelayanan informasi dan pengkajian (penelitian), sejalan dengan kompleksitas permasalahan dan pelaksanaan fungsi yang harus dijalankan oleh DPR (A. Ahmad Saefuloh, 2000: vii).
Keberadaan supporting system memang berperan penting di beberapa negara maju, seperti Congressional Research Service (CRS) yang membantu US Congress. Di Jerman, Wissenschaftichs Dienste Abteilung membantu Bundestag, dan The Australian Parliamentary Research Service (APRS) yang memberikan penelitian dan saran kebijakan kepada Parlemen Australia.
3. Lembaga penelitian Non Pemerintah
Ada banyak sekali lembaga penelitian non pemerintah, baik yang berdiri sebagai instititusi penelitian tersendiri, maupun yang berada di bawah universitas-universitas.

Dengan banyaknya berbagai jenis lembaga-lembaga penelitian tersebut, maka akan sangat disayangkan apabila tidak dimanfaatkan dalam suatu koordinasi yang apik dalam sebuah sistem legislasi yang terintegrasi.

E. Penutup
E.1. Kesimpulan
1. Peranan penelitian masih belum maksimal dalam pembaharuan hukum di Indonesia. Hasil penelitian selama ini masih kurang dimanfaatkan dalam proses legislasi dalam rangka pembaharuan hukum, sehingga produk yang dihasilkan terkesan tidak merefleksikan kepentingan yang sesungguhnya dari masyarakat. Ditambah lagi penelitian dalam proses legislasi yang ada saat ini terlihat masih kurang efektif karena tidak ada payung hukum yang bisa dijadikan pedoman bagi penempatan peran penelitian dalam proses legislasi. Penelitian yang dilakukan juga tidak efisien karena masih ada beberapa tumpang tindih kewenangan dan fungsi dari beberapa lembaga yang terkait, serta tidak ada koordinasi yang baik untuk menjadikan proses ini menjadi lebih integral.
2. Apabila prinsip-prinsip good governance diterapkan dalam manajemen legislasi, perlu ada aturan hukum yang bisa dijadikan pedoman yang kuat tentang perlunya setiap peraturan perundang-undangan yang akan dibuat agar mengacu pada proses sebelumnya secara berkesinambungan di mana salah satu tahapan dalam proses ini adalah penelitian. Penelitian ini perlu mengingat bahwa partisipasi, daya tanggap, dan wawasan ke depan, -yang merupakan prinsip-prinsip good governance- hanya mungkin terjadi bila dalam proses legislasi didahului oleh suatu penelitian. Penelitian juga penting untuk menjembatani keinginan berdemokrasi dan keharusan untuk melakukan efisiensi dalam proses legislasi, yang nantinya akan menciptakan produk legislasi yang efektif. Untuk itu harus ada sebuah lembaga yang mampu mengkoordinasikan berbagai penelitian yang pernah, sedang dan akan dilakukan agar bisa bersinergi dengan lembaga lain yang terkait dalam proses legislasi. Prinsip-prinsip good governance perlu diterapkan dalam proses ini sebagai langkah untuk menciptakan good and clean governance, yaitu menciptakan pemerintahan yang demokratis, berwibawa serta bebas dari kolusi dan korupsi.

E.2. Saran
1. Perlu ada sebuah lembaga yang berwibawa dan mempunyai pengalaman yang matang dalam proses legislasi untuk melakukan koordinasi pada semua level, mulai dari pra legislasi hingga pasca legislasi.
2. Perlu segera dibuat payung hukum berbentuk undang-undang, untuk mengatur peran penelitian dalam proses legislasi sebagai sebuah kegiatan yang harus dilakukan pada tahap pra legislasi, atau paling tidak harus ada pengaturan bahwa suatu RUU harus didahului oleh suatu naskah akademis di mana di dalamnya harus menyerap dan memanfaatkan data penelitian yang pernah dilakukan sebagai referensinya. Pengaturan dalam hukum positif ini bisa dituangkan dalam undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Daftar Pustaka

Armia, Mhd Shiddiq Tgk, Perkembangan Pemikiran Dalam Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 2003
Asshiddiqie, Jimly, Agenda Pembangunan Hukum Nasional Di Abad Globalisasi, Jakarta: PT Balai Pustaka, 1998
_______________, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM, Jakarta: Konstitusi Press, 2005
_______________, Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, Jakarta: Ind. Hill-Co, 1997
Azhari, Idham Ibty dkk (penyunting), Good Governance dan Otonomi Daerah: Menyongsong AFTA Tahun 2003, tanpa kota: Prosumen (PKPEK) dengan FORKOMA-MAP UGM, 2002
BPHN, Badan Pembinaan Hukum Nasional Dari Masa Ke Masa, Jakarta: BPHN, 1995
Effendi, Taufik. Kebijakan Tata Pemerintahan Yang Baik (Good Governance): Rencana Strategis Pemerintah, Makalah, Disampaikan pada acara Rapat Pleno Komite Nasional Kebijakan Governance, sabtu, 8 Januari 2005, di Jakarta
Genigten, W.J.M. van. Human Rights Reference Handbook, [first edition: Th. R.G. van Banning (ed)], Netherlands Ministry of Foreign Affairs, Human Rights, Good Governance and Democratization Departement, second edition, 1999
Gramsci, Antonio. Catatan-catatan Politik, diterjemahkan dari buku Selection from The Prison Notebooks of Antonio Gramsci oleh Gafna Raiza Wahyudi dkk, yang diterbitkan International Publisher, New York, 1987, Surabaya: Pustaka Promethea, 2001
http://www.goodgovernance.or.id/prinsip_penjelasan_page1.asp, diakses pada 16 Mei 2005 Jam 11.00
http://www.goodgovernance.or.id/prinsip_penjelasan_page1.asp, diakses pada 16 Mei 2005 Jam 11.00
Locke, John, Kuasa itu Milik Rakyat: Esai Mengenai Asal Mula Sesungguhnya, Ruang Lingkup, dan Maksud Tujuan Pemerintahan Sipil, Terjemahan A Widyamartaya, Yogyakarta: Kanisius, 2002
Logemen, J.H.A., Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif, Jakarta: Actiar Baru-Van Hoeve, 1975
Naisbitt, John, Global Paradox: Semakin Besar Ekonomi Dunia, Semakin Kuat Perusahaan Kecil, Terjemahan Budijanto, Jakarta: Binarupa Aksara, 1994
Ndraha, Taliziduhu, Kybernology: Ilmu Pemerintahan Baru, buku 1, Jakarta: P.T. Rineke Cipta, 2003
________________, Kybernology: Ilmu Pemerintahan Baru. buku 2, Jakarta: P.T. Rineke Cipta, 2003
Nur, Herwin, Meruwat Good Governance Sebagai Tradisi Kerja Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe Dalam Format Birokrasi Dinamis, diakses dari http: //www.pu.go.id/ itjen/ buletin/4546ruwat.htm pada 16 Mei 2005 jam 11.10 wib.
Saefuloh, A. Ahmad (ed), Bunga Rampai Penelitian Keparlemenan 1998 dan 2000: Pendekatan Terhadap Fungsi Dewan Dan Jajak Pendapat, Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI, 2000
Setyowati, Erni et.al, Bagaimana Undang-undang Dibuat, Jakarta: PSHK, 2003
Siagian, Sondang P, Patologi Birokrasi: Analisis, Identifikasi, dan Terapinya, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994
Simbolon, Maringan Masry, Dasar-dasar Administrasi dan Manajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004
Sjahrir, Good Governance di Indonesia Masih Utopia: Tinjauan Kritis Good Governance, Dalam Media Transparansi, edisi 14, November 1999, diakses dari http://www.transparansi.or.id/%20majalah/edisi14/14berita, pada 16 Mei 2005 jam 09.30 wib,
Stiftung, Friedrich Naumann, Warga negara Sebagai Mitra: Buku Panduan OECD Tentang Informasi, Konsultasi, dan Partisipasi Publik Dalam Pembuatan Kebijakan, Terjemahan dari Citizens as Partner: Information, Consultation and Oublic Participation in Policy-Making, Paris: OECD, 2002
Susanti, Bivitri, Politik Legislasi Dalam Program Legislasi Nasional, dalam Koran Tempo, 23 Februari 2005
Susilo,Y Sri, Mampukah Ikatan Akuntan Indonesia (Iai) Menjadi Salah Satu "Pillars Of Integrity"? yang diakses dari http://www.transparansi.or.id/ pada 25 Mei 2005 jam 11.45 WIB http://www.goodgovernance.or.id/prinsip_penjelasan_page1.asp, diakses pada 16 Mei 2005 Jam 11.00
Ubbe, Ahmad, Kedudukan dan Fungsi Penelitian Hukum Dalam Proses Penyusunan Peraturan Perundang-undangan. Jakarta: BPHN, 1999
Widodo, Joko, Good Governance, Telaah Dari Dimensi: Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Surabaya: Insan Cendekia, 2001
Wursanto, Ig, Dasar-dasar Ilmu Organisasi, Yogyakarta: ANDI, 2003



[1] Tulisan ini diambil dari Jurnal Propatria Vol II No.1 Maret – Agustus 2008
[2] Dosen Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta

Selamat Datang

Selamat datang di komunitas dialektika hukum. Kami akan menemani anda menikmati etalase pemikiran hukum yang berkembang di Indonesia.