Jumat, 20 Februari 2009

KE ARAH REFORMASI SISTEM PERADILAN INDONESIA

KE ARAH REFORMASI SISTEM PERADILAN INDONESIA

Sebuah makalah ringkas untuk diceramahkan dan didiskusikan
dalam acara
Seminar “Reformasi Sistem Peradilan di Indonesia”
yang diselenggarakan oleh
Badan Pembinaan Hukum Nasional Dep. Hukum dan HAM RI
di Palembang, 3-4 April 2007

Soetandyo Wignjosoebroto
Gurbesar Emeritus pada Universitas Airlangga
dan
Gurubesar Tamu dalam ‘Teori-Teori Sosial Untuk Para Pengkaji Hukum”
pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro


Berbicara mengenai ‘suatu sistem’ dan ‘reformasi suatu sistem’, orang mesti jelas terlebih dahulu mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan ‘sistem’ itu, dan ‘dalam perkara apa -- atau perkara apa saja -- suatu sistem itu mesti diformat ulang’. Uraian berikut ini akan mengetengahkan pembicaraan untuk mendefinisikan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kata istilah ‘sistem, khususnya sistem peradilan’ itu, untuk kemudian disusuli dengan perbincangan mengenai ‘mengapa sistem hukum yang ada ini mesti direformasi’, dan kalau memang harus direformasi ‘bagaimana langkah strategik yang seyogyanya diambil untuk melakukan upaya reformasi itu’?


Apakah Sistem Itu, Dan Apa Pula Sistem Hukum Itu?

Didefinisikan secara umum, sistem adalah suatu satuan anasir yang secara fungsional berada dalam suatu hubungan interaktif yang interdependen, yang dalam kegiatan kerjanya mampu memproses suatu masukan secara transformatif menjadi suatu keluaran. Dalam terminologi teori sistem, apa yang diidentifikasi sebagai unsur dalam sistem disebut ‘peran yang fungsional’, bahan masukannya disebut ‘input’, proses-proses transformatifnya disebut ‘throughput,’ sedangkan produk keluarannya disebut ‘output’.
Apabila pranata peradilan kita konsepkan juga sebagai suatu sistem, maka gugatan atau dakwaan itulah yang harus dipahami sebagai input, pemeriksaan perkaranya dari instansi kepolisian sampai ke instansi pengadilan harus dipahami sebagai suatu rangkaian throughput, sedangkan putusan hakim mestilah dipahami sebagai output. Sementara itu, semua pemeran yang berperanserta dalam pelaksanaan seluruh proses, entah dalam wujudnya sebagai oknum individual entah dalam wujudnya sebagai representasi sebuah institusi, haruslah dipahami sebagai the functional units.
Seluruh proses transformatif itu telah diatur berdasarkan suatu prosedur yang rasional dan formal, yang di dalam bahasa manajemen hukumnya disebut prosedur atau acara berperkara. Di sini materi gugatan atau dakwaan akan dipahami sebagai input yang akan segera menggerakkan seluruh aktivitas peradilan. Gugatan (dalam sistem peradilan perdata) atau dakwaan (dalam sidang peradilan pidana) akan terdiri dari pernyataan penggugat/pendakwa mengenai apa fakta hukumnya (iudex factie yang menjadi dasar gugatan/dakwaan) dan apa akibat hukumnya (iudex iuris, yang dimohonkan kepada hakim agar dijadikan dasar putusan).
Fakta yang akan dijadikan dasar gugatan/dakwaan bukanlah fakta sembarang fakta, melainkan fakta yang relevan dengan perkara hukum. Inilah yang disebut ‘fakta hukum’ yang dalam bahasa Belanda disebut rechtsfeit. Dalam perkara perdata, fakta dihimpun oleh sang penggugat, atau yang dinegeri-negeri maju kerja untuk himpun-menghimpun fakta ini bisa pula dibantu detektif swasta. Akan tetapi, selanjutnya, pengacara itulah yang akan dianggap berkeahlian menapis mana yang fakta biasa, yang bisa diabaikan (obiter dictum), dan mana pula yang benar-benar relevan dengan perkara yang tengah digugatkan, dan yang oleh sebab itu dapat dijadikan dasar gugatan yang kuat.
Dalam perkara pidana, aparat kepolisian itulah yang akan melakukan penyidikan guna mengumpulkan fakta yang akan dapat didayagunakan sebagai bukti bahwa suatu perbuatan yang boleh diduga merupakan perbuatan pidana telah terjadi. Selanjutnya, jaksa penuntut umum itulah orangnya yang akan mendayagunakan fakta yang dilaporkan dalam BAP sebagai dasar sebuah penuntutan. Fakta yang tertulis di dalam BAP akan diteliti kuantitas dan kualitasnya agar segera dapat ditransformasi menjadi fakta hukum (iudex factie) yang akan di(pro)posisikan sebagai dasar tuduhan, yang pada gilirannya akan menjadi dasar tuntutan tentang akibat hukumnya.
Dalam praktik hukum nasional yang modern, hubungan antara ‘fakta hukum yang menjadi dasar gugatan/dakwaan’ dan ‘hukuman yang dinyatakan dalam putusan oleh hakim’ itu selalu dirumuskan secara umum (in abstracto), dalam bentuk hubungan sebab-akibat, ke dalam pasal-pasal hukum perundang-undangan nasional, baik yang perdata maupun yang pidana. Dalam tradisi ilmu dan praktik hukum yang sejak abad 19 memasuki ambang paradigma falsafati positivisme, seluruh teks hukum perundang-undangan (lex, lege) ini haruslah didayagunakan secara eksklusif sebagai sumber hukum yang formal (yang dalam istilah hukum Belanda disebut formele rechtsbron).
Pasal-pasal perundang-undangan hukum perdata maupun hukum pidana (yang difungsikan sebagai sumber hukum yang formal itu), dalam wujudnya sebagai bagian dari konstelasi hukum positif modern selalu dirumuskan dalam bentuk hubungan sebab-akibat yang pasti. Dalam ilmu dan praktik peradilan perdata, hubungan sebab akibat itu dikonstruksikan secara logis antara suatu perbuatan tertentu yang digugat (yang di dalam perkara perdata disebut wanprestasi) dan sanksi-sanksi keperdataan yang dimohon agar dijatuhkan oleh hakim, misalnya dalam bentuk ganti-rugi. Dalam ilmu dan praktik peradilan pidana, hubungan sebab-akibat itu dikonstruksikan secara logis antara suatu fakta perbuatan pidana, yang di dalam hukum pidana disebut criminal act atau strafbaarfeit dan sanksi-sanksi pemidanaan yang diproposisikan sebagai akibatnya.
Adalah tugas penggugat atau pengacaranya, atau pula jaksa pendakwa dalam peradilan pidana, untuk membuktikan bahwa unsur-unsur dalam suatu perbuatan atau suatu peristiwa (yang boleh dibilangkan sebagai fakta hukum!) telah terjadi. Adalah kemudian tugas hakim untuk mempertimbangkan apakah bukti-bukti telah cukup meyakinkan guna menyatakan bahwa suatu perbuatan melawan hukum sebagaimana dituduhkan penggugat atau pendakwa telah dilakukan orang. Dalam tradisi hukum Barat yang mendasarkan diri pada paradigma positivisme, pembuktian ada tidaknya hubungan sebab-akibat antara fakta hukum dan akibat hukum ini akan berlangsung dalam suatu proses penalaran bersilogisme deduksi. Inilah proses penalaran yang di dalam bahasa asingnya disebut legal reasoning atau juridise denken.
Penalaran hukum yang berlangsung berdasarkan konstruksi berpikir deduktif (disebut deductive syllogism) ini acapkali dikenali juga sebagai mathematical logic yang terdiri dari 3 proposisi: premis mayor, premis minor, dan simpulan. Apabila premis mayornya menyatakan prinsip umum bahwa “apabila p maka akan q”, sedangkan premis minornya membuktikan “ada p”, maka secara logis tak bisa tidak pastilah akan tersimpulkan “ada q”. Inilah cara bernalar yang disebut logico-positivism, yang menjadi bagian inheren pada metodologi ilmu hukum, khususnya yang menganut aliran positivisme, yang pada gilirannya menjadi induk aliran legisme (yang oleh Kelsen di eropa dinamakan ‘ajaran hukum murni, reine Rechtslehre, dan oleh Langdell di Amerika Serikat dinamakan ‘ajaran hukum mekanik, mechanical jurisprudence).


Mengapa Diperlukan Upaya Memformat Ulang Sistem Peradilan dan
Sistem Hukum Yang Ada?

Bekerjanya sistem peradilan sebagaimana diutarakan di muka telah dikontrol berdasarkan suatu standar prosedur operasional (SOP, standard operational procedure) yang amat rasional, baik yang dikontrol oleh norma-norma positif yang disebut hukum acara maupun yang didasari oleh doktrin-doktrin berikut metoidologinya sebagaimana yang selama ini telah dikembangkan oleh para ahli pemikir dan para penggunanya. Akan tetapi, mengapakah kini ini di Indonesia banyak kalangan menyaksikan betapa hampir seluruh jalannya sistem tidak berlangsung sebagaimana diharapkan? Alih-alih, yang terjadi tak lain daripada sekian banyak anomali yang amat merisaukan. Anomali seperti itu, dalam wujud tiadanya lagi keteraturan dan kepastian procedural sebagaimana yang telah diacarakan, telah serta merta mengundang niat serius guna melakukan upaya memformat ulang sistem peradilan – bahkan sistem hukum in toto -- yang ada.
Banyak orang berprasangka bahwa semua masalah itu berawal mula dari masih digunakannya hukum kolonial yang berasal dari tradisi bangsa-bangsa Barat. Akan tetapi, dapatkah prasangka itu dibenarkan? Tidakkah itu bersebab dari tiadanya kesadaran akan kepahaman bahwa sesungguhnya setiap sistem itu -- dan tak kurang-kurangnya juga sistem peradilan dan sistem hukum – itu selalu berada di tengah suatu lingkungan dan akan dipengaruhi oleh lingkungan dan berbagai perubahan yang terjadi di lingkungan itu? Tidakkah berbagai masalah yang terjadi di dalam sistem peradilan – mulai dari tak efisien dan tak efektifnya kerja sistem sampai ke koruptifnya sistem itu -- itu juga bersebab dari tiadanya kesadaran akan kenyataan bahwa lingkungan telah banyak berubah, dan karena itu sistem itu secara pasti telah berubah pula, mengiringi dan dipengaruhi oleh lingkungan yang telah kian terus berubah? Bukankah sistem hukum pada umumnya dan sistem peradilan pada khususnya itu tak hanya harus dimengerti sebagai seperangkat ius constitutum melainkan juga sebagai ius constituendum in contextu?
Bagaimanapun juga, suka tak suka dan disadari ataupun tidak, perubahan-perubahan seperti itu, oleh kajian-kajian hukum yang tak lagi hendak berkutat pada ajaran hukum murni Kelsenian, seperti misalnya oleh ajaran hukum aliran fungsional yang dirintis Roscoe Pound, amatlah diperhatikan. Perubahan situasi dan kondisi, oleh ajaran-ajaran baru ini bahkan tidak hanya direspons dengan anjuran untuk melakukan perubahan-perubahan pada isi materi normatif yang terdapat dan yang selama ini telah dibentuk serta tersusun di dalam khazanah perundang-undangan semata. Lebih jauh lagi, merespons perubahan yang mengundang datangnya berbagai anomali pada praktek hukum pada umumnya, dan pada proses-proses peradilan pada khususnya, sesungguhnya telah mengharuskan orang untuk berpikir guna memformat ulang seluruh sistem, berikut ajaran-ajaran dan bahkan juga paradigma-paradigma yang mendasarinya.
Dalam sejarah intelektualitas manusia, perubahan-perubahan konsep dasar yang menjadi landasan seluruh teori alam pemikiran manusia itu tak pernah berhenti pada suatu titik akhir yang final. Konsep dasar yang disebut paradigma ini selalu tercipta dari masa ke masa dan berdominasi menguasai pemikiran suatu kelompok teoretisi dari kurun ke kurun. Paradigma adalah semacam idea fixed yang diterima sebagai “cara berpikir yang normal” pada suatu periode tertentu, untuk difungsikan sebagai basis suatu sistem pengetahuan manusia sepanjang periode itu. Akan tetapi, manakala paradigma yang telah terlanjur fixed dan mapan ini tak lagi mampu menjawabi berbagai masalah kontemporer yang dijumpai dalam kehidupan pada suatu saat, maka kegelisahan para elite pemikir pun akan mulai marak merebak untuk menggerakkan mereka ke arah pencarian dasar pemikiran baru. Secara berangsur ataupun secara revolusioner, suatu paradigma baru akan lahir dari keadaan anomali saat itu, untuk menggantikan yang lama.*)
Paradigma lama, yang diperkenalkan oleh ajaran hukum murni Kelsenian sebagaimana yang telah lama dikenal dan dikukuhi selama ini oleh banyak pekerja hukum dinegeri ini, memang mengajarkan suatu proses beracara yang diharapkan secara rasional dan sistematis, dengan kepastian tinggi, bisa bekerja mentransformasi gugatan/dakwaan lewat proses peradilan sampai ke keluarannya sebagai putusan hakim yang . Mendasarkan diri pada paradigma positivisme yang ditradisikan di Eropa Barat Kontinental sebagai civil law system, seluruh acara transformasi itu telah didoktrinkan sekurang-kurangnya dalam lima karakteristik, sebagai berikut:**)
1. seluruh proses hukum harus dirujukkan ke aturan-aturan yang tertulis dalam bentuk undang-undang (lex, lege), yang langsung ataupun tidak, mesti merupakan produk kesepakatan legislatif;
2. aturan-aturan perundang-undangan itu, karena merupakan hasil kesepakatan lembaga perwakilan, harus dipandang sebagai satu-satunya rujukan yang netral dan objektif, dan karena itu juga ruling (doktrin rule of law) dan merupakan satu-satunya rujukan normatif yang berstatus tertinggi, mengatasi aturan-aturan sosial macam apapun yang lain (doktrin the supreme state of law), sampai-sampai para pejabat negara sesiapapun juga mesti menaatinya (doktrin rechtsstaat);
3. berkenyataan seperti itu, tidak salah apabila dikatakan bahwa hukum undang-undang adalah hukum yang bersifat formal dan bebas nilai, yang oleh sebab itu boleh disebut juga sebagai hukum positif yang lugas (law as it is dan bukan law as ought to be), dengan hakim-hakim pengadil yang direduksi tugasnya sebatas fungsinya sebagai “mulut yang hanya akan membunyikan kata-kata undang-undang” ;
4. pengefektifan hukum yang telah dibentuk dalam rupa undang-undang ini hanya dapat dilakukan oleh sejumlah ahli khusus, disebut jurist di Eropa atau lawyer Amerika, yang berkualifikasi sebagai legal professional karena pengetahuannya yang tinggi berkat pendidikan universiter yang bertahun lamanya dan pula karena pegangan etikanya yang tinggi pula berkat kesediaannya untuk dikontrol oleh suatu majelis kehormatan atas dasar suatu kode etik profesi.


Memformat Ulang Sistem Peradilan dan Sistem Hukum Yang Ada.

Mungkin benar juga, dan bukan sekali-kali suatu prasangka, apabila dikatakan bahwa masalah-masalah anomali dalam penyelenggaraan hukum dan peradilan yang terjadi dewasa ini di negeri ini bersebab dari masih digunakannya hukum warisan kolonial. Tetapi sementara analisis mengatakan bahwa bukan hukum kolonial itu per se yang jadi penyebab, melainkan manusia-manusia penyelenggara dan/atau pemakainya, yang telah mendayagunakan hukum dan sistem peradilan kolonial namun tanpa kesediaan untuk mendedah diri pada tradisi hukum Barat yang mengkonfigurasinya.
Di sini teks-teks normatifnya diambil alih lewat berbagai peraturan peralihan, namun ideologi yang mendasarinya, berikut tradisi yang mengkonfigurasi sistem hukum itu, tertinggal dan tak ikut terambil alih. Di sini kita diingatkan oleh Robert Seidman yang mendalilkan “the law of the non-transferable law” ketika dalam penelitiannya di negeri-negeri anglofonik Afrika ia menemukan kenyataan bagaimana hukum Inggris sekalipun diteruskan pemakaiannya oleh bangsa-bangsa Afrika yang telah berhasil memerdekakan dirinya, namun hukum itu seperti kehilangan daya kemampuannya yang sediakala untuk mengawal tertib hukum di negeri yang telah merdeka itu.
Dalil “the law of non-transferable law” ini mengajarkan kepada kita bahwa tidaklah ada suatu sistem hukum yang hendak diberlakukan di dunia yang fana ini bersifat universal, yang dengan demikian akan berlaku mutlak di manapun dan kapanpun juga. Apa yang disebut ‘sistem hukum’ ini sesungguhnya merupakan ‘sub-sistem’ saja dari suatu tata budaya yang mengkonfigurasi kehidupan suatu bangsa, yang bisa saja fungsional di tata budayanya yang semula namun sangat mungkin menjadi demikian disfungsional tatkala ditransplantasikan tanpa mengalami format ulang terlebih dahulu. Jelas bahwasanya adopsi itu mesti diprasyarati oleh upaya adaptasi, kalaupun bukan upaya penyesuaian lintas tempat tentulah penyesuaian lintas waktu.
Hukum nasional Indonesia yang pada dasarnya, tanpa dapat diingkari, adalah kelanjutan hukum kolonial,*) ternyata telah diadopsi kelewat cepat lewat semangat politik kemerdekaan, namun tanpa banyak upaya transformatif yang terencana untuk mengadaptasikannya dengan kondisi sosio-kultural negeri ini. Hukum kolonial yang mengenal dualisme telah dinasionalisasi dengan menggugurkan kebijakan dualisme (yang sebenarnya didasari pertimbangan mensegregasikan golongan penduduk berdasarkan kebutuhan hukumnya yang berbeda-beda, dan bukan didasari pertimbangan diskriminasi). Dihapuskannya dualisme hukum telah menyebabkan hukum adat terdesak dan tak cukup terakomodasi dalam hukum nasional, yang nyatanya aliih-alih kian banyak memberi tempat pada peran hukum perundang-undangan yang formal itu dalam proses-proses peradilan.
Apabila koreksi dan usaha memformat ulang sistem memang diperlukan, dapatlah beberapa langkah strategik berikut ini dipertimbangkan dan dikaji lebih lanjut dan lebih serius. Pertama-tama paradigma ajaran hukum murni, yang menolak pertimbangan non/ekstra-yuridis dalam setiap proses peradilan, harus dievaluasi ulang kemanfaatannya. Dalam praktik peradilan di negeri ini, dasar hukum setiap putusan hakim -- yang menurut ajaran hukum murni Kelsenian -- harus selalu dicari dan ditemukan di khazanah hukum perundang-undangan semata (yang difungsikan sumber hukum yang formal), telah acapkali mengelakkan hakim dari tuntutan para pencari keadilan agar hakim juga secara serius menggali kebenaran materiil, yang dengan demikian acapkali mengecewakan para pencari keadilan.
Dalam hubungannya dengan persoalan ini, berdasarkan paradigma sosiologik yang juga paradigma fungsional, Roscoe Pound mengajarkan agar hakim dalam putusan-putusannya tidak hanya berhenti berpikir pada suatu judgment tentang akibat hukum suatu perbuatan, akan tetapi juga akibat-akibat sosialnya. Didalilkan dalam salah satu doktrin Pound, bahwa pada dasarnya (the judge-made-)law is a tool of social engineering. Dalam fungsinya sebagai penata ulang hubungan-hubungan sosial yang telah terkoyak oleh berbagai pelanggaran dan berbagai macam ketidakpastian, dengan demikian hakim dengan hukumnya tak hanya akan bertindak sebagai professional lawyer dalam artiannya yang terbatas, akan tetapi juga sebagai social engineer, yang berdedikasi untuk mengawal tertibnya suatu kehidupan (yang tak cuma berkehendak untuk membatasi kerisauannya hanya pada tegaknya tertib hukum saja).
Membuka diri pada kemungkinan masuknya pertimbangan-pertimbangan yang berasal dari sumber hukum yang materiil, yang akan berefek terhindarnya sistem hukum dan sistem peradilan sebagai suatu sistem tertutup, dengan proses-proses yang dikontrol secara monopoli oleh professional lawyers (yang acapkali justru sering melupakan etika profesinya), dapat disarankan pula agar peradilan selalu dilakukan secara terbuka. Paradigma realisme dalam ilmu hukum menyarankan agar peradilan pada tingkat banding ditiadakan, karena pada tingkat ini dan di atasnya selalu dilakukan dalam sidang-sidang tertutup yang tak lagi memberikan kesempatan pada pihak-pihak yang terlibat dalam perkara, dan juga publik pada umumnya, memperoleh akses untuk ikut mengikuti jalannya penyelesaian perkara. Maka, diseyogyakan agar peradilan dilakukan once for all pada tingkat pertama saja.
Dikontrol secara internal dan tertutup dari pandangan publik, di tengah merosotnya etika profesi, kolusi-kolusi pada peradilan tingkat banding dan di atasnya akan mudah berlangsung, yang hanya menambah-nambah saja kecurigaan publik pada apa yang terjadi di balik pintu-pintu sidang. Pertimbangan lain yang dikemukakan eksponen paham realisme ini ialah, bahwa peradilan once for all yang dilaksanakan hanya pada tingkat pertama saja itu akan memperpendek rentang waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara. Panjangnya rentang waktu untuk penyelesaian perkara akan lebih menguntungkan mereka yang beritikat buruk, yang jangan-jangan malah membukakan kesempatan kepadanya untuk menyalahgunakan kesempatan untuk bermanuver merugikan lawan sengketanya.
Apabila apa yang dikemukakan kaum realis untuk meniadakan peradilan pada tingkat banding tak kesampaian, apalagi untuk meniadakan peradilan pada tingkat kasasi, satu jalan keluar masih bias dikemukakan. Ialah dimungkinkan dan “digalakkannya” kegiatan-kegiatan eksaminasi publik atas perkara-perkara penting. Publik, dengan bantuan para private lawyers serta para pengajar ilmu hukum di universitas-universitas dapatlah melakukan eksaminasi-eksaminasi macam itu, tidak untuk menghalangi jalannya peradilan, melainkan untuk membantu meningkatkan mutu putusan-putusan dan sekaligus juga untuk melancarkan jalannya usaha memberantas legal illiteracy yang masih banyak didapati di kalangan massa demonstran.[ ]

*) Baca lebih lanjut: Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: Chicago University Press, 1976). Terjemahannya dalam bahasa Indonesia dikerjakan oleh Tjun Surjaman, Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains (Bandung: Remaja Karya, 1986).
**) Lihat: Harold Berman, Law and Revolution: The Tradition of Western Legal Tradition (New York: Pegasus, 1986)
*) Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional (Jakarta: Grasindo, 1994); Albert Masier, Van “Recht” Naar “Hukum”. Disertasi di Rijksuniversiteit Leiden, 2003.

Selamat Datang

Selamat datang di komunitas dialektika hukum. Kami akan menemani anda menikmati etalase pemikiran hukum yang berkembang di Indonesia.