Jumat, 20 Februari 2009

AGENDA LEGISLASI

AGENDA LEGISLASI
DI BIDANG PERADILAN
Oleh :
DR (IPB) H. BOMER PASARIBU, SH, SE, MS°.



I. PENDAHULUAN
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara peranan konstitusi sangat penting, karena konstitusi sering disebut sebagai "The Supreme Law of the Land". Konstitusi merupakan "National Symbol and Myth".[1] Konstitusi harus dihormati baik oleh rakyat maupun pemerintah. Pejabat pemerintah harus percaya bahwa atas dasar "constitutionalism" mereka pada kenyatannya dibatasi dan dikontrol kekuasaannya oleh konstitusi, dan warga negara secara individual harus percaya bahwa mereka senyatanya dilindungi oleh UUD. Pembukaan (Preambule) konstitusi yang mengandung ideologi, batang tubuh konstitusi bersama-sama deklarasi kemerdekaan, dianggap merupakan landasan (cornerstones) dalam budaya politik. Namun demikian juga disadari bahwa konstitusi tetap merupakan produk hukum yang pada suatu saat memerlukan penyesuaian dengan dinamika baik yang bersifat nasional maupun internasional, baik yang bersifat universal maupun partikularistik atas dasar 3 pendekatan diatas (credibility and effectiveness; democracy and public engagement; dan trust and accountability).
Agenda utama proses reformasi yang monumental tersebut adalah Amandemen UUD 1945. Kebutuhan Amandemen UUD 1945 dirasakan karena tidak memberi ruang bagi kehidupan yang demokratis di Indonesia[2]. Hal ini terlihat dari besarnya peluang yang diberikan kepada penguasa untuk mengatur sebagian besar aspek kehidupan bernegara dan bukan kepada rakyat melalui demokrasi perwakilan. Amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan sebanyak 4 tahap yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Dalam proses Amandemen tersebut telah terjadi perkembangan-perkembangan yang signifikan pada pokok-pokok pikiran, struktur kelembagaan, dan relasi antarlembaga negara, bahkan sampai dengan peniadaan lembaga-lembaga yang sebelumnya ada, di samping munculnya lembaga-lembaga baru yang sebelumnya belum dikenal. Amandemen UUD 1945 sebagai "constitutional reform" merupakan langkah strategis untuk reaktualisasi nilai-nilai dasar demokrasi yang di era sebelumnya banyak disalahgunakan oleh penguasa akibat singkatnya konstitusi yang membuka kesempatan multi-tafsir. Hasilnya telah kita rasakan semua berupa "abuse of power", pelanggaran HAM, baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya serta KKN.
Pilihan amandemen terhadap konstitusi merupakan jalan tengah memecah kebuntuan terhadap pemenuhan tantangan jaman dengan segala perubahan dan dinamikanya dengan tetap memelihara Kesatuan Negara Republik Indonesia. Hal-hal yang sangat mendasar guna menjaga Foundamen Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut terdiri dari 1) nilai-nilai dasar, 2) bangun dasar, 3) keutuhan wilayah negara. Nilai-nilai dasar termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, bangun dasar adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI: bentuk negara kesatuan, bentuk pemerintahan republik, dengan wilayah ex-Hindia Belanda). NKRI bukan negara kesatuan yang berbentuk pemerintahan monarkhi (kerajaan, kesultanan, kekaisaran), Dalam pemahaman NKRI melekat kuat pemahaman tentang negara yang berkedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara kebangsaan (negara nasional, nation state), bukan negara agama atau negara suku. NKRI dibangun di atas dasar negara, di atas lima sila (Pancasila) yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Bukan NKRI yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 di Jakarta oleh Soekarno-Hatta, jika seandainya saja pada suatu waktu ada yang dinamakan NKRI akan tetapi dasar negaranya bukan sebagaimana yang utuh termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Proses reformasi yang ditandai dengan amandemen Konstitusi kita, menunjukkan bahwa bangsa kita saat ini dalam masa transisi yang sangat besar dalam tataran harapan dan konsep ketatanegaraan. Sejak amandemen pertama hingga amandemen keempat ini, merupakan perubahan yang sangat dahsyat yang memerlukan cukup waktu untuk mengimplementasikan,mengisi dan menata kembali kehidupana ketatanegaraan sesuai konstitusi hasil amandemen. Namun dewasa ini tidak sedikit yang meraakan bahwa amandemen-amandemen yang dilakukan terhadap konstitusi kita masih memiliki celah dan kekurangan, sehingga pikiran-pikiran untuk mengamandemen kembali konstitusi mengemuka. Sementara disisi lain, ada pandangan yang sebaliknya bahwa kekurangan kekurangan tersebut dikarenakan amandemen itu sendiri sehingga solusinya adalah kembali pada naskah asli UUD 1945.
Penulis dalam hal ini tidak akan menempatkan diri pada pandangan yang saling berhadapan ini. Gagasan amandemen kembali terhadap konstitusi bukanlah suatu hal yang tabu, namun dalam kondisi masyarakat yang sedang bergerak dan terus berubah ini, amandemen kembali terhadap konstitusi hanya akan memperpanjang masa transisi bangsa kita. Sementara biaya sosial politik yang haru ditebus dalam masa itu tidaklah sedikit. Dalam pada itu, penulis lebih memilih untuk mengisi dan menata kembali terlebih dahulu kehidupan ketatanegaraan sesuai amandemen konstitusi yang masih belum begitu sempurna kita implementasikan, daripada harus mengamandemen kembali UUD 1945. Amandemen baru kita lakukan kembali, dalam waktu yang tepat, setelah ada jeda evaluasi secara lebih obyektif dan jernih tanpa ada reaksi-reaksi sesaat. Pilihan amandemen bahkan lebih ekstrim tidak saja memberi kemungkinan pada penambahan hal-hal yang “dianggap”masih kurang, melainkan juga memungkinkan amandemen dapat menjadi proses “pelemahan” terhadap konsep-konsep good governance yang mulai kita rintis dalam amandemen sebelumnya, termasuk memungkinkan pelemahan kembali terhadap “supremasi hukum” yang hendak kita bangun.




II. POLITIK HUKUM BIDANG PERADILAN
Politik Hukum peradilan kita sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut :
1. SUPREMASI HUKUM
Cita negara yang dianut UUD 1945 adalah negara hukum yang demokratis. Sebagaimana termaktub dalam alinea 4 UUD 1945 “…maka disusunlahKemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat...”. Hal itu juga ditegaskan dalam Pasal 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dengan bentuk negara republik serta ditegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala tindakan penyelenggara negara dan warga negara harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hukum dalam hal ini adalah hirarki tatanan norma yang berpuncak pada konstitusi, yaitu UUD 1945. Dengan demikian, pelaksanaan demokrasi juga harus berdasarkan pada aturan hukum yang berpuncak pada UUD 1945 tersebut. Hal itu juga merupakan konsekuensi dari ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar. Sebaliknya, hukum yang diterapkan dan ditegakkan harus mencerminkan kehendak rakyat sehingga harus dijamin adanya peran serta dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan. Kehendak segenap warga negara tercermin dalam UUD 1945 yang merupakan bentuk kesepakatan umum (general agreement) dari seluruh warga negara. Oleh karena itu UUD 1945 merupakan hukum tertinggi. Segala norma hukum yang lebih rendah dan segala praktik kehidupan kenegaraan dan kebangsaan harus sesuai ketentuan UUD 1945.
Legal spirit yang tersirat dalam amandemen tersebut adalah memberikan arah yang tegas perlunya penguatan kelembagaan-kelembagaan negara, terlalu kuatnya kekuasaan eksekutif disatu sisi sementara kekuasaan-kekuasaan lain secara bersamaan memiliki banyak ketergantungan, telah menimbulkan iklim kehidupan bernegara yang tidak kondusif dan berkeseimbangan dalam mewujudkan tujuan-tujuan negara. Dengan kata lain, amandemen konstitusi bertekad memperbaiki sistem check and balances berupa ketentuan-ketentuan konstitusional yang mengatur agar tiga cabang pemerintahan nasional saling membatasi kewenangan satu sama lain, sehingga mencegah adanya suatu konsentrasi kekuasaan politik pada salah satu cabang pemerintahan (legislatif, eksekutif dan yudikatif). Sistem check and balances menjamin adanya saling kontrol antar lembaga negara pemegang kekuasaan, sehingga tidak ada suatu lembaga yang memiliki kekuasaan tanpa adanya (lepas) kontrol dan pertanggungjawaban (acuntability) dalam bingkai konstitusi.Secara kelembagaan kekuasaan kekuasaan pada lembaga-lembaga negara telah mengalami perubahan penguatan, berupa revitalisasi dan restrukturisasi kekuasaan legislatif dan yudikatif.

2. KEKUASAAN YUDIKATIF YANG MERDEKA
Sebagai negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip Negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Penegasan sebagai negara hukum dalam pengertian pula bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan (machtstaat), dan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Penyelenggaraan kekuasaan kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam pengertian bebas dari intervensi, tekanan maupun pengaruh dari kekuasaan manapun adalah dalam kerangka untuk menjamin supremasi hukum itu sendiri yaiti bahwa penegakan hukum yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan kehakiman telah sesuai dengan ketentuan hukum sebagaimana di tegaskan konstitusi.
Wujud kemerdekaan kekuasaan kehakiman ini adalah dalam bentuk pemberian kemerdekaan/otonomi seluas-luasnya bagi pemegang kekuasaan kehakiman dalam wilayah materii, pembinaan serta pengembangan SDM yang dibutuhkan.
Termasuk dalam hal ini penguatan struktur serta kelembagaan lembaga-lembaga pemegang kekuasaan kehakiman harus dikembalikan dalam struktur kelembagaan Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan peradilan.

3. MODEL SISTEM KEKUASAAN PUNCAK GANDA
Kekuasaan Yudikatif (peradilan) sesuai UUD 1945 merupakan kekuasaan yang “berpuncak ganda”, yaitu dikenalnya dua kelembagaan yang memiliki kekuasaan peradilan dalam hal ini:
1) Mahkamah Agung (MA)
Mahkamah Agung sebagaimana di tegaskan pada Pasal 24 UUD 1945, merupakan pemegang kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, mengujui peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
2) Mahkamah Konstitusi (MK)
Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditegaskan pula pada pasal 24 merupakan pemegang yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.


4. PENGAWASAN EKSTERNAL
Pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial yang bersifat mandiri,, berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

III. LEGISLASI PERADILAN DALAM PROLEGNAS 2007 & IMLPIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Pembentukan hukum merupakan suatu pembangunan yang harus terencana menuju terciptanya sistem hukum. Oleh karena itu pembentukan undang-undang dewasa ini ditetapkan berdasarkan program legislasi nasional yang merupakan kesepakatan pemerintah bersana DPR mengenai undang-undang apa saja yang diperlkukan dan diproyeksikan pembentukannya dalam kurun waktu 5 tahunan. Prolegnas memiliki landasan hukum undang-undang Nomor 10 tahun 2004.

POLITIK LEGISLASI BIDANG PERADILAN
1. Penguatan Sistem Pembinaan Satu Atap oleh Mahkamah Agung
Hingga saat ini pembinaan satu atap peradilan pada Mahkamah Agung masih perlu dipertanyakan, dengan masih banyaknya lembaga-lembaga peradilan yang secara struktural dan teknis tidak saja dalam pembinaan Mahkamah Agung tetapi juga masih pada departemen teknis. Dalam hal ini misalnya kelembagaan peradilan pajak. Cetak biru (blue print) perencanaan legislasi perundangan diarahkan dibuat dalam rangka mendukung Mahkamah Agung untuk melaksanakan pembinaan satu atap lembaga peradilan telah dibuat secara komprehensif.

2. Penguatan sistem peradilan ke arah transparan, terbuka, dan berkualitas.
Ketertutupan peradilan selama ini mengakibatkan hukum belum sepenuhnya memihak pada kebenaran dan keadilan karena tiadanya akses masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan. Kondisi tersebut juga diperlemah dengan profesionalisme dan kualitas sistem peradilan yang masih belum memadai. Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak ikuti dengan kesempatan untuk menambah pengetahuan, khususnya terhadap penegak hukum (Hakim), dalam rangka penanganan perkara yang menggunakan teknlologi hakim tidak hanya dapat dengan mengandalkan saksi ahli. Semestinya hakim juga memiliki dasar-dasar tentang pengetahuan dan teknologi sehingga dalam mengadili perkara dapat sesusai konteks dan perkembangan ipteks, sehingga tidak menimbulkan bias dan kesalahan hanya karena ketidak pahaman terhadap materi yang ditangani. Terutama dengan semakin besarnya pengaruh globalisasi dan kejahatan transnasional. Kondisi tersebut menuntut kemampuan, kualitas dan profesionalisme dari aparat penegak hukum yang tidak mudah diperoleh dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu, kontinuitas peningkatan wawasan dan respon yang cepat dengan semakin berkembangnya kejahatan transnasional merupakan kebutuhan yang sangat mendesak.

3. Pengembangan Perjanjian Ekstradisi antara Pemerintah dengan negara yang berpotensi sebagai tempat pelarian khususnya pelaku tindak pidana korupsi dan pelaku tindak pidana lainnya.
Masalah ini sangat menghambat proses penyidikan terutama kasus-kasus korupsi besar, sehingga mengganggu percepatan proses penyelesaian di peradilan dan pengembalian hasil korupsi kepada negara. Di samping itu aturan perundang-undangan mengenai ijin pemeriksaan terhadap pejabat yang diduga terlibat korupsi; surat keterangan sakit; cegah tangkal terhadap tersangka pelaku korupsi dan lain-lain belum mendukung percepatan proses penyidikan sehingga menjadi kesempatan bagi tersangka untuk melarikan diri ke luar negeri, menghilangkan bukti-bukti otentik dan sebagainya.
Prolegnas merupakan bagian dari Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang dituangkan dalam bentuk UU, yaitu UU No. 20 Tahun 2000. Dalam undang-undang propernas tersebut secara tegas menggunakan terminologi Prolegnas, sebagai instrumen perencanaan program pembentukan peraturan perundang-undangan/ undang-undang yang didukung dengan cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang meliputi semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.
Secara operasional Prolegnas memuat daftar Rancangan Undang-undang (RUU) dalam kurun waktu tertentu. Dalam masa keanggotaan DPR 2004-2005 ditetapkan 284 RUU yang menjadi Program Legislasi Nasional tahun 2005-2009, dan dari Prolegnas 2005-2009 tersebut ditetapkan prioritas RUU setiap tahunnya. Untuk tahun 2007, telah ditetapkan 78 RUU menjadi PROLEGNAS tahun 2007, yaitu terdiri dari 48 RUU yang merupakan Rancangan Undang-undang luncuran tahun 2005 dan 2006 dan 30 RUU prioritas tahun 2007. Namun, dalam masa sidang ketiga tahun 2006-2007 ditambahkan 2 RUU yang ditetapkan menjadi PROLEGNAS prioritas tahun 2007. Dengan demikian, total jumlah RUU yang masuk dalam daftar PROLEGNAS tahun 2007 menjadi 80 RUU.
Namun Prolegnas disusun tidak secara statis, hal tersebut guna mengantisipasi perkembangan kebutuhan dan kondisi sosiopolitik dimasyarakat maupun pembatalan dari utusan Mahkamah Konstitusi. Hal ini di mungkinkan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 17 ayat (3) UU 10 / 2004 yang menyatakan, ”Kecuali dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar Prolegnas”. Dalam Prolegnas 2007, agenda peraturan perundang-unangan yang masuk prioritas pada tahun 2007 khusus bidang peradilan adalah sebagai berikut:
1) Rancangan undang-undang tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1997 tentang peradilan militer; (luncuran pioritas tahun sebelumnya)
2) Rancangan undang-undang Kitab Hukum Pidana.
3) Rancangan undang-undang tentang Hukum Terapan Peradilan Agama.
4) Rancangan undang-undang tentang perubahan atas undang-undang republik indonesia nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (landasan: Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006)
5) Rancangan undang-undang tentang perubahan atas undang-undang republik indonesia nomor 14 tahun1985 tentang mahkamah agung sebagaimana telah diubah dengan undang-undang republik indonesia nomor 5 tahun 2004 tentang perubahan atas undang-undang nomor 14 tahun 1985 tentang mahkamah agung (landasan: Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006)
6) Rancangan undang undang tentang perubahan atas undang-undang republik indonesia nomor 22 tahun 2004 tentang komisi yudisial (landasan: Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006)
7) Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. (Landasan:Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006)

IV. PERUBAHAN UNDANG-UNDANG MAHKAMAH AGUNG, KOMISI YUDISIAL, DAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Pada tanggal 23 Agustus 2006 Mahkamah Konstitusi memutus Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Republik Indonesia dengan putusan Nomor 005/PUU-IV/2006. Pada pokoknya putusan Mahkamah Konstitusi diatas memutuskan menyatakan kewenangan Komisi Yudisial dalam pengawasan terhadap hakim Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD 1945, sedangkan Hakim Agung pada Mahkamah Agung termasuk obyek pengawasan Komisi Yudisial.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menimbulkan konsekwensi banyaknya peraturan perundang-undangan yang perlu penyesuaian. Penyesuaian tersebuut berkaitan dengan pengawasan hakim sebagai pemegang kekuasaan kehakiman, beberapa Undang-Undang yang mengatur atau berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tersebut, diantaranya:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial;
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman;
5. Undang-Undang Republik Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum;
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ;
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama .

Dalam rangka penyesuaian dan memenuhi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Badan Legislasi saat ini memprioritaskan terlebih dahulu perubahan undang-undang berikut:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359);
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415);

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut membawa implikasi dua persoalan bagi pembentuk Undang-Undang (DPR dan Pemerintah) dalam melakukan membentuk Undang-Undang dan dalam melakukan perubahan atas Undang-Undang yang oleh Mahkamah Konstitusi sebagian ketentuannya telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Persoalan pertama, pembentuk Undang-Undang tinggal menindaklanjuti rekomendasi Mahkamah Konstitusi sebagaimana dikutip di atas, yaitu: pembentuk undang-undang haruslah mengatur pengawasan secara jelas dan rinci dengan cara mengadakan perubahan dalam rangka elaborasi, harmonisasi, dan sinkronisasi atas UU KK, UU KY, dan UU MA dengan selalu merujuk pada UUD 1945. MA, KY, dan juga Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga pelaksana undang-undang, sehingga oleh karenanya harus menyerahkan segala urusan legislasi itu kepada pembentuk undang-undang. Bahwa MA, KY, dan juga Mahkamah Konstitusi dapat diikutsertakan dalam proses pembuatan sesuatu undang-undang yang akan mengatur dirinya, tentu saja merupakan sesuatu yang logis dan tepat. Akan tetapi, bukanlah tugas konstitusional MA, KY, dan juga Mahkamah Konstitusi untuk mengambil prakarsa yang bersifat terbuka untuk mengadakan perubahan undang-undang seperti dimaksud.
Persoalan kedua, mungkinkah pembentuk Undang-Undang merumuskan ketentuan-ketentuan yang substansinya bertentangan dengan apa yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi? Persoalan ini berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian atas Undang-Undang terhadap UUD 1945. Di satu sisi, Mahkamah Konstitusi harus diposisikan sebagai pengawal konstitusi, sehingga berwenang melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945. Akan tetapi, di sisi lain, Mahkamah Konstitusi tidak steril dari kepentingan dan kesalahan. Mahkamah Konstitusi adalah pelaksana kekuasaan kehakiman. Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi berpendirian bahwa perilaku hakim konstitusi tidak boleh diawasi oleh Komisi Yudisial, demi netralitas Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa antar lembaga Negara (dalam hal ini antara Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung). Jika pembentuk Undang-Undang sepakat dengan pendirian Mahkamah Konstitusi ini, pertanyaan yang muncul adalah siapa yang melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim konstitusi. Jika tanpa pengawasan (hanya pengawasan internal), bukankah berpotensi menjadikan Mahkamah Konstitusi merasa superpower? Sebaliknya, jika pembentuk Undang-Undang merumuskan ketentuan yang substansinya bertentangan dengan apa yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, bukankah rumusan dalam Undang-Undang tersebut kemungkinan akan kembali dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak berkekuatan hukum?
Dalam perspektif politik hukum, peraturan perundang-undangan adalah bahasa hukum dari suatu keputusan politik. Oleh karena itu, sebelum merumuskan ketentuan, diperlukan keputusan politik terlebih dahulu. Keputusan politik tersebut menyangkut pilihan dari beberapa alternatif berikut, masing-masing dengan rasionalitasnya sendiri.
Pertama, cakupan pengertian hakim. Menyangkut cakupan pengertian hakim (yang diawasi oleh Komisi Yudisial) ini, ada beberapa alternatif, yaitu:
1. Hakim meliputi hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum termasuk hakim ad hoc, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada Mahkamah Konstitusi.
2. Hakim meliputi hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum termasuk hakim ad hoc, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.
3. Hakim adalah Hakim Agung.
4. Hakim adalah hakim pada badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam lingkungan peradilan umum termasuk hakim ad hoc, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.
Kedua, apa yang dijadikan pedoman dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim harus jelas. Mengenai pedoman ini ada alternatif:
1. Pedoman dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim adalah peraturan perundang-undangan;
2. Pedoman dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim adalah kode etik dan perilaku;
3. Pedoman dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim adalah peraturan perundang-undangan dan kode etik dan perilaku;
Persoalan selanjutnya, jika pedoman dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim adalah kode etik dan perilaku, siapa yang menetapkan kode etik dan perilaku tersebut? Alternatifnya:
1. Kode etik dan perilaku hakim ditetapkan oleh organisasi profesi hakim. Biasanya kode etik profesi ditetapkan oleh organisasi profesi. Masalahnya, penegakan kode etik tersebut biasanya dilakukan oleh majelis kehormatan di organisasi profesi tersebut, sehingga timbul persoalan: bagaimana keterlibatan Komisi Yudisial?
2. Kode etik dan perilaku hakim ditetapkan oleh Komisi Yudisial. Jika Komisi Yudisial menetapkan kode etik hakim, wajar jika Komisi Yudisial yang menegakkannya. Masalahnya, ini menyimpang dari pakem bahwa kode etik ditetapkan oleh masing-masing organisasi profesi.
3. Kode etik dan perilaku hakim ditetapkan oleh Komisi Yudisial bersama organisasi profesi masing-masing.
Ketiga, bagaimana cara dan mekanisme Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan?
Keempat, bagaimana menciptakan hubungan antara Komisi Yudisial dengan badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman (Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.)
Kelima, bagaimana menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Apa saja sanksi yang dapat dijatuhkan dalam hal ada pelanggaran, dan bagaimana proses penjatuhan sanksi tersebut? Apakah Komisi Yudisial melibatkan organisasi profesi yang bersangkutan, atau lembaganya, ataukah tidak?

V. CHECK AND BALANCES TERHADAP LEMBAGA YUDIKATIF (MAHKAMAH KONSTITUSI)
Dalam bagian terdahulu telah penulis uraikan, bahwa Amandemen UUD 1945 menegaskan kembali ‘Negara Indonesia adalah Negara Hukum’. Artinya. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan (machtstaat), dan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Legal spirit yang tersirat dalam amandemen tersebut adalah memperbaiki sistem check and balances berupa ketentuan-ketentuan konstitusional yang mengatur agar tiga cabang pemerintahan nasional saling membatasi kewenangan satu sama lain, sehingga mencegah adanya suatu konsentrasi kekuasaan politik pada salah satu cabang pemerintahan (legislatif, eksekutif dan yudikatif). Sistem check and balances menjamin adanya saling kontrol antar lembaga negara pemegang kekuasaan, sehingga tidak ada suatu lembaga yang memiliki kekuasaan tanpa adanya (lepas) kontrol dan pertanggungjawaban (acuntability) dalam bingkai konstitusi.
Pengujian undang-undang produk legislasi bersama antara DPR dengan Pemerintah oleh Mahkamah konstitusi pada kenyataanya melahirkan putusan baik yang berupa menyatakan Undang-Undang yang diuji bertentangan atau tidak dengan UUD 1945. putusan tersebuut pada akhirnya memilki konsekwensi pembatalan, revisi atau tidak merubah terhadap Undang-Undang yang diuji. Pembatalan ataupun revisi undang-undang sebagaimana diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut secara proforma adalah proses legislasi itu sendiri.
Kalau kita perbandingkan dengan judicial review di Amerika Serikat (konstitusi Amerika Serikat tidak secara eksplisit memberikan kekuasaan judicial review kepada Mahkamah Agung Amerika Serikat) (MA AS), dalam sejarah menunjukkan, MA AS tidak pernah membatalkan Undang-Undang yang dibuat oleh Kongres sampai tahun 1856. MA AS sendiri baru mulai memainkan peran yang signifikan setelah Amandemen Keempat Belas (Fourteenth Amandment) diadopsi ke dalam Konstitusi. Lebih jauh lagi di daratan Eropa, Konstitusi Perancis 1958 memberikan kekuasaan yang besar kepada Eksekutif dan desain ini membuat Mahkamah Konstitusi Perancis (Conseil Constitutionel) hanya berperan sebagai stempel bagi eksekutif. Conseil Constitutionel baru memiliki peran yang lebih besar setelah yurisdiksi mereka diperluas dengan amandemen Konstitusi pada tahun 1974.
Masalahnya dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, yang pada pokoknya putusan Mahkamah Konstitusi diatas memutuskan menyatakan kewenangan Komisi Yudisial dalam pengawasan terhadap Hakim Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD 1945, dengan kata lain terhadap Mahkamah Konstitusi tidak ada lembaga dan mekanisme pengawasan sedikitpun terhadapnya.
Persoalannya, putusan–putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi pada kenyataanya tidak selalu diputus secara bulat oleh 9 (sembilan) orang hakim Mahkamah Konstitusi. Putusan yang tidak berdasakan permufakatan dapat diambil melalui voting baik dalam porsi 4 : 5 ataupun sampai 1 : 8. Gambaran ini, baik 1 orang yang disenting opinion ataupun sampai 4 orang dengan landasan mereka yang berbeda, menunjukkan bahwa “putusan MK yang menyatakan bahwa suatu Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945” sangat multitafsir, setidaknya diantara para Hakim Mahkamah Konstitusi itu sendiri, atas putusan yang diambil masih “ada hakim yang menyatakan tidak bertentangan” dengan Undang-Undang Dasar 1945.

VI. PENUTUP : ARAH PROGRAM LEGISLASI BIDANG PERADILAN
Persoalan di atas, menyadarkan kita bahwa perlu pemantapan penerapan prinsip-prinsip “supremasi hukum” dalam sistem ketatanegaraan kita. Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitualisme Undang-Undang juga bukan “super konstitualisme”, pendirian yang menempatkan Mahkamah Konstitusi sebagai juru tafsir “konstitualistas” Undang-Undang sendirian akan mengurangi bahkan merorong “konstitualisme” itu sendiri. Haruslah dikembalikan pemahaman kita pada makna supremasi hukum bahwa segala puncak dari simpul-simpul kekuasaan adalah hanya konstitusi itu sendiri dan tidak / bukan pemegang kekuasaan-kekuasaan pemerintahan yang mendapat mandat dari konstitusi. Sehingga proses legislasi yang dikembangkan saat ini adalah dalam kerangka menempatkan dan menguatkan supremasi konstitusi dalam kehidupan ketatanegaraan. Berdasarkan kerangka pikir sebagaimana penulis telah uraikan diatas, memperkuat tentang perlunya proses legislasi harus didorong kearah :
a. Penguatan Supremasi Hukum : “ Kiblat Kostitusi”
b. Democratic Governance: “Check and Balances”
c. “Non Super Power”
Program di atas merupakan konsistensi dan konsekuensi negara hukum yang didasarkan pada konstitusi, dengan menempatkan konstitusi sebagai dasar segala keabsahan mandatori kekuasaan yang dilimpahkan kepada lembaga-lembaga negara sebagai organ pemerintahan negara. Konsekuensinya diantara pemegang cabang–cabang kekuasaan pemerintahan (legislatif, eksekutif dan yudikatif) tidak ada satu pihak yang saling melebihi, melainkan masing-masing menempati posisi serta tugas konstitusionalnya dengan posisi yang memungkinkan untuk saling membatasi dan mengontrol diantaranya. Inilah yang dikenal sebagai “Democratic Governace” yaitu dengan ditaidai adanya “check and balance” diantara pemegang kekuasaan pemerintahan. Dengan logika ini, tidak ada satu kelembagaan pemegang kekuasaan yang di atas dari yang lain (non super power) dan/atau tanpa adanya pengawasan. Penghindaran atau pengelakan terhadap proses saling membatasi dan mengawasi merupakan langkah yang sangat mundur dalam proses demokratisasi kehiupan ketatanegaraan kita.
DAFTAR BACAAN
Adji, Oemar Seno, 1993, “Kekuasaan Kehakiman di Indonesia Sejak Kembali ke UUD 1945,” dalam Ketatanegaraan Indonesia dalam Kehidupan Politik Indonesia: 30 Tahun kembali ke UUD 1945, Jakarta: Sinar Harapan.
Artz, Marjanne Termorshuizen, 2004, “The Concept of Rule of Law,” dalam Jentera Jurnal Hukum, Edisi 3-Tahun II, Nopember 2004
Balkin, Jack M & Sanford Levinson, 2001, “Understanding the Constitutional Revolution,” dalam Virginia Law Review Vol. 87, No. 6, October 2001
Basic Principle on the Independence of the Judiciary, Seventh United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Milan 26 Agustus s/d 6 September 1985.
Boulanger, Christian, 2002, “Europeanisation Through Judicial Activism? The Hungarian Constitutional Court’s Legitimasi and Hungary’s “Return to Europe,” Paper dalam Konferensi “Coutours of Legitimacy” di European Studies Centre, St. Anthonys’s College, University of Oxford, 24-25 Mei 2002,Tersedia:http://www.panyasan.de/publication/texts/boulanger2002.pdf (Dikutip 28 Juli 2003).
Currie, David P., 1998, “Separating Judicial Power,” dalam Law and Contemporary Problems, Vol. 61, No. 3, Summer 1998.
Diamond, Larry, 2000, “The End of the Third Wave and the Start of the Fourth,” dalam Plattner, Marc F., Joao Carlos Espada, The Democratic Invention, Baltimore: The John Hopkins University Press.
Ferejohn, John, Dynamic of Judicial Independence: Independence Judges, Dependent Judiciary, www.
Fukuyama, Francis, 1992, The Wend of History and the Last Man, New York: The Free Press.
Habermas, Jurgen, 1999, The Inclusion of the Other: Studies in Political Theory, Cambridge, Mass.: The MIT Press.
———, 1996, Between Facts and Norms, Cambridge: Polity Press.
Hamilton, Alexander, 2005, The Federalist No. 78, Tersedia: http://www. constitution.org/ fed/federal78.htm. (Dikutip 5 Nopember 2005).
Huntington, Samuel P., 1993, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, Oklahoma: University of Oklahoma Press.
———, 2000, “The Future of the Third Wave,” dalam Marc F. Plattner dan Joao Carlos Espada, The Democratic Invention, Baltimore/London: The John Hopkins University Press.
Kelly, F.B. William, 2005, An Independent Judiciary: The Core of the Rule of Law, Tersedia : www.icclr.law.ubc.ca/Publications/Reports/An_Independant_ Judiciary.pdf (Dikutip 5 Nopember 2005)
LI, Bo, 2005. What Is Constitutionalism?, Tersedia: http://www. oycf.org/Perspectives/ 6_063000/what_is_constitutionalism. htm. (Dikutip 5 Nopember 2005).
Lubet, Steven, 1998, “Judicial Dicipline and Judicial Independence,” Law and Contemporary Problems, Vol. 61, No. 3, Summer 1998.
Lubis, Todung Mulya & Mas Achmad Santosa, 2000, “Regulasi Ekonomi, Sistem yang Berjalan Baik dan Lingkungan: Agenda Reformasi Hukum di Indonesia,” dalam Arief Budiman et al. (ed.), Harapan dan Kecemasan Menatap Arah Reformasi Indonesia, Yogyakarta: Bigraf Publishing.
Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, 2001, Risalah Rapat Komisi A ke-3 (Lanjutan) s/d ke-5 Tanggal 6 Nopember s/d 8 Nopember 2001 Masa Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2001 Buku Keempat Jilid 2A, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI.
Neumann, Franz, 1986, The Rule of Law, Heidelberg: Berg Publsihers.
Pasaribu, Bomer, Badan Legislasi dan Panitia Legislasi: Gagasan tentang Law Center. Makalah Seminar, Medan, 2007.

______, Mekanisme Kerja DPR & Pemerintah Dalam Penyusunan Undang-Undang. Makalah Seminar Jakarta, 2007.

______, Efektifitas Peraturan Perundang-Undangan Dalam Masyarakat. Makalah Seminar, Jakarta, 2006
Sartori, Giovanni. 1987, The Theory of Democracy Revisited. Chatham, New Jersey: Chatham House.
See, Harold, 1998, “Comment: Judicial Selection and Decisional Independence,” Law and Contemporary Problems, Vol. 61, No. 3, Summer 1998.
Tate, C.N. & Torbjorn Vallinder (eds.), 1995, The Global Expansion of Judicial Review, New York: New york University Press.
Tjokoroamidjojo, Bintoro, 2003, Reformasi Nasional Penye-lenggaraan Goor Governance dan Perwujudan Masyarakat Madani, Jakarta: Lembaga Administrasi Negara
The Universal Declaration of Human Rights, 1948.
The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), 1966
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaa Kehakiman (LNRI Tahun 1974 No. 74)
UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ( LNRI Tahun 2003 Nomor 98).
UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (LNRI tahun 2004 Nomor 8)
Vincent, Andrew, 1987, Theories of the State, Oxford: Basil Blackwell.
Voigt, Stefan, 2005, The Economic Effects of Judicial Accountability – Some Preliminary Insights, Tersedia: www.gmu.edu/ departments/ economics/ pboettke/ workshop/ spring05/Voigt. pdf (Dikutip 7 Nopember 2005)
Warren, Roger K., 2005, The Importance of Judicial Independence and Accountability, Tresedia: http://www.ncsconline.org/ WC/Publications/ KIS_JudIndSpeech Script.pdf (Dikutip 7 November 2005).

° Wakil Ketua Badan Legislasi & Anggota Komisi IV DPR-RI, Dosen Pascasarjana IPB, & Ketua Umum HPWD (Himpunan Ahli Perencanaan & Pembangunan Wilayah dan Perdesaan)

[1] Muladi,12 Oktober 2004, UUD 1945 Pasca Amandemen: "Perlukah Amandemen Labih Lanjut?", The Habibie Center.
[2] Tim Kajian Hukum Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) setelah menganalisis UUD 1945 dengan demokrasi sebagai kerangka analisisnya.

Selamat Datang

Selamat datang di komunitas dialektika hukum. Kami akan menemani anda menikmati etalase pemikiran hukum yang berkembang di Indonesia.