Politik Hukum Bhinneka Tunggal Ika dalam
Pembangunan Hukum Nasional
Oleh : Prof. DR. C.F.G. Sunaryati Hrtono, SH
Pengantar
Oleh Panitia Penyelenggara Seminar tentang Pluralisme Hukum dan Tantangannya bagi Pemberantasan Sistem Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, saya diminta untuk membawakan makalah tentang Politik Hukum Bhinneka Tunggal Ika dalam Pembangunan Hukum Nasional.
Namun karena sebelumnya saya sudah berjanji untuk mempresentasikan suatu makalah untuk Konferensi ke-10 Asian Ombudsman Association di Hanoi pada waktu yang bersamaan, maka dengan mohon maaf sebesar-besarnya, saya kali ini tidak dapat memenuhi harapan BPHN. Padahal topik hari ini dalam masa Reformasi Hukum sekarang ini sangatlah penting .
Untung saja, Dekan Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana di Jakarta, dengan siapa saya sudah beberapa kali membahas topik ini, berkenan untuk tidak hanya membawakan makalah saya, tetapi juga akan menambahkan pemikiran beliau sendiri tentang penerapan asas Bhinneka Tunggal Ika itu dalam rangka proses Reformasi Hukum itu sendiri.
Atas kebaikan hati DR Lodewijk Gultom, SH, MH saya ucapkan diperbanyak terima kasih.
Bhinneka Tunggal Ika sebagai asas hukum
Motto negara Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti Kesatuan dalam Kebhinnekaan, Diversity in Unity atau Eenheid in Verscheidenheid, pasti sudah dikenal oleh setiap anak kelas 1 Sekolah Dasar sampai ke profesor dan pemimpin negara kita. Tetapi sudahkah maknanya sebagai asas kehidupan bernegara atau filsafah hukum yang mestinya dianut oleh bangsa Indonesia itu pernah difikirkan dan dianalisa secara cukup dalam? Saya yakin belum. Oleh karena itu seminar yang diselenggarakan oleh BPHN pada hari ini sangat penting.
Biasanya kebhinnekaan bangsa Indonesia hanya ditekankan pada adanya berbagai suku bangsa, berbagai asal-usul, berbagai agama dan berbagai sistem Hukum Adat.
Akan tetapi jarang sekali kebhinnekaan bangsa Indonesia itu ditinjau dari adanya keanekaragaman cara berfikir, atau “mind set”[1] yaitu dari cara berfikir (dan berperilaku) kuno dari abad ke 16 (kalau tidak sebelumnya) sampai ke cara berfikir (dan berperilaku) paling mutakhir (seperti berbicara dengan robot atau cloning manusia)). Kebhinnekaan mindset (alam berfikir) manusia Indonesia yang hidup dalam abad ke-21 ini tahun lalu (2006) saya jadikan pembahasan saya dalam buku “Bhinneka Tunggal Ika sebagai Asas Hukum bagi Pembangunan Hukum Nasional”.[2]
Kebhinnekaan sebagai Kenyataan
Dalam Bab IV yang berjudul “Membangun (Sistem) Hukum bagi Bangsa yang hidup dalam Lima Gelombang Peradaban sekali gus” saya sampai kepada kesimpulan bahwa akibat cara berfikir (dan berperilaku) manusia Indonesia masih begitu berbeda satu sama lain, dan kadang-kadang bahkan bertolak belakang, maka sulit pula untuk membentuk satu peraturan hukum untuk semua. Misalnya, ketika dikhawatirkan gunung Merapi akan meletus, terjadilah pertentangan pendapat antara ‘mBah Maridjan yang menganut faham kuno yang irrasional, dengan pendapat Pemerintah Daerah setempat, yang menggunakan pemikiran teknologi dan ilmiah yang lebih rasional. Pemerintah Daerah, mengikuti saran BMG memutuskan, bahwa masyarakat di dekat kawah gunung Merapi perlu diungsikan segera, karena dikhawatirkan tidak lama lagi gunung itu akan meletus. Tetapi ‘mBah Maridjan dengan ilmu paranormal yang melekat pada kepercayaan kuno masyarakat setempat yakin benar, bahwa kejadian yang mengerikan itu tidak akan terjadi. Sehingga masyarakat setempat yang lebih mempercayai ‘mBah Maridjan juga menolak untuk diungsikan. Ternyata pada saat itu memang gunung Merapi tidak meletus, tetapi beberapa minggu kemudian masyarakat setempat perlu juga diungsikan, karena melelehnya lava.
Pada saat ini memang sudah ada orang Indonesia yang berfikir sesuai dengan tuntutan abad globalisasi ini, tetapi masih banyak yang masih hidup di alam abad ke-16 (seperti orang Badui Dalam), abad ke-17 (sesuai dengan norma-norma dalam masa peradaban agraria), abad ke-18 (ketika demokrasi, hak asasi manusia dan pemikiran tentang Trias Politica dan Negara Hukum baru berkembang), abad ke-19 (yaitu abad industrialisasi, kapitalisme, liberalisme dan hedonisme) atau abad ke-20, yang menganggap sains dan teknologi sebagai panglima dan pembawa kemakmuran, kebahagiaan dan kesejahteraan, padahal justru sains dan teknologi itu juga ternyata mengakibatkan dua perang dunia serta keganasan Perang Irak, yang hingga sekarang masih terus berlangsung.
Sekarang ini dalam dasawarsa pertama abad ke-21 ini bahkan sudah dapat kami rasakan akibat industrialisasi yang berlebihan dan pengagung-agungan ilmu dan pengetahuan, yaitu perubahan cuaca global (global warming), bencana alam, seperti gempa bumi, longsor, tertimbunnya es sampai lebih dari 2 meter tingginya, angin topan dan puting beliung, tsunami, pergeseran lempengan bumi, peningkatan kebutuhan energi, bahkan semburan lumpur panas di Sidoarjo yang mungkin dapat menenggelamkan sebagian pulau Jawa (Timur), karena ternyata hingga kini semburan lumpur itu belum dapat dihentikan dengan teknologi manapun juga yang sudah dikembangkan, betapa pun sudah diupayakan dengan sekuat tenaga dengan menggunakan ilmu dan teknologi paling canggih!
Anehnya, justru kelompok manusia Indonesia yang biasanya lebih tradisional dan irrasional, dalam hal musibah Porong seakan-akan hanya mengandalkan ilmu dan teknologi untuk menghentikan mala petaka ini dan menyalahkan Pemerintah mengapa selama berbulan-bulan semburan lumpur panas itu belum juga dihentikan dan bahkan semakin menyebar.
Keadaan sosial-budaya seperti inilah yang saya maksudkan dengan “masyarakat dan bangsa yang hidup dalam lima gelombang peradaban[3] sekali gus” (atau dalam waktu yang bersamaan). Dalam hal ini yang dimaksud dengan Gelombang Pertama adalah masa Peradaban Agraria atau Pertanian, Gelombang Kedua adalah masa Revolusi Industri, Gelombang Ketiga adalah masa Pasca Industri (atau masa Produksi Massal), Gelombang Keempat adalah masa Informasi Global dan Elektronik, dan Gelombang Kelima adalah masa Bio-genetika.[4]
Beberapa Contoh
Bukti bahwa manusia Indonesia hidup dalam lima Gelombang Peradaban sekaligus adalah misalnya contoh yang berikut :
1. Dullah, seorang anak berumur 12 tahun tinggal di desa yang tidak terlalu jauh dari kota. Setiap hari ia berjalan kaki ke sekolah melalui pematang sawah menuju jalan raya, di mana ia menunggu kesempatan untuk dapat “omprengan” bis atau truck menuju sekolah. Di sekolah ia mendapat pelajaran tentang ilmu bumi yang menyebut sejumlah negara yang tidak pernah dilihatnya, dan tentang komputerisasi.
Ia harus menghafal kejadian-kejadian yang telah terjadi di negara-negara yang sulit sekali dibayangkan keberadaannya, apalagi budaya dan masalah-masalah sosial yang dihadapi bangsa-bangsa asing itu dari masa ke masa. Tetapi ia harus menghafalnya, kalau nanti ia mau lulus dalam ujian negara.
Salah seorang teman dekatnya mempunyai televisi di mana ia dapat melihat berbagai hal dan kejadian yang tidak pernah dapat terjadi di desanya, seperti misalnya peluncuran Apollo, yang entah di mana diluncurkan di Amerika. Teman ini juga mempunyai playstation, yang sekali-kali dapat juga dimainkannya. Dan waktu latihan pramuka ia juga dapat menggunakan komputer.
Dengan demikian dalam satu hari Dullah berpindah-pindah dari suasana Gelombang Pertama ke suasana Gelombang Kedua, bahkan Gelombang Keempat untuk pada malam harinya kembali lagi ke Gelombang Pertama.
2. Demikian pula terjadi dengan banyak manusia Indonesia dari luar Jakarta, termasuk oleh para wakil rakyat yang harus memperdebatkan beraneka masalah dan Rancangan Undang-undang untuk menjadi bagian dari Hukum Indonesia, seperti masalah Lingkungan, Penanganan Epidemi Flu Burung dan HIV/AIDS, transportasi nasional, dan sebagainya.
Atau oleh para pegawai negeri yang harus melayani berbagai anggota masyarakat yang sangat beragam latar belakangnya, yang protes, apabila kereta api terlambat, tetapi setiap hari naik kereta api yang sama tanpa bayar, karena duduk di atas gerbong kereta api, tanpa menghiraukan akibatnya karena gerbong kelebihan beban.
Atau oleh para jaksa dan hakim yang kini harus menyelidiki dan menyidiki atau memutus perkara pasar modal, korupsi atau narkoba yang begitu rumit, padahal belum tentu polisi atau jaksa atau hakim itu pernah menjadi nasabah di pasar modal atau pasar saham, dan dapat membayangkan segala aktivitas di bisnis internasional dan pasar valuta asing itu.
3. Jadi akibat adanya begitu banyak “mind set” yang berbeda-beda, ternyata bagi bangsa Indonesia menjadi sangat sulit untuk mencapai solusi atau kesepakatan untuk setiap masalah yang kita hadapi.
Hal itu juga terjadi dalam rangka penyusunan undang-undang, maupun pengambilan keputusan oleh pejabat negara/pemerintah, sehingga kasus yang sama, jika diputus oleh hakim yang berbeda dapat menghasilkan putusan yang berbeda pula. Hal itu mengakibatkan, bahwa dalam hal mencari keadilan melalui Pengadilan masyakarat Indonesia menjadi sangat opportunitis. Akibatnya, sekali pun perkara itu sudah diputus di tingkat Peninjauan Kembali (PK), tetapi masih juga orang belum puas dan mencari jalan lain untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Itulah juga, (selain praktek-praktek koruptif) yang menyebabkan Peradilan yang diharapkan membawa keadilan (nota bene “Atas nama Tuhan Yang Maha Esa”) ternyata tidak lagi dapat diandalkan sebagai satu-satunya lembaga atau prosedur atau cara untuk memperoleh keadilan itu. Akibatnya lahirlah lembaga ADR (Alternative Dispute Resolution), seperti arbitrase dan mediasi.
Padahal dalam “mind set” kebanyakan orang intelektual Indonesia faham abad ke-19 seakan-akan Peradilan merupakan satu-satunya cara untuk memperoleh keadilan sudah terpaku dan berkarat di dalam fikirannya!
Perubahan sebagai kenyataan hidup
Jika kita mempelajari Hukum secara historis dan filosofis, maka jelas pula bahwa selama 5 (lima) abad terkahir, (akibat perubahan-perubahan yang terjadi di bidang-bidang lain, seperti penemuan besi dan batu bara, pengembangan ilmu, teknologi dan kesehatan, peperangan dan internasionalisasi sampai kepada globalisasi), telah terjadi perubahan yang bertubi-tubi, sehingga pemikiran tentang Hukum pun mengalami perubahan yang pesat.
Dari filsafat klasik (Sokrates, Plato), Hukum Romawi (Cicero), Hukum Agama (para Nabi) ke Humanisme (Erasmus, Luther), Rasionalisme (Descartes), Empirisme (Rousseau, Kant), Idealisme (Hegel), Materialisme Historis (Marx, Engels), Hukum Historis (von Savigny), Positivisme Sosiologis (August Comte), Positivisme Yuridis (von Jhering), Neo kanteanisme (Stammler, Kelsen), Neo hegelianisme (Radbruch), Sosiologi Hukum (Holmes, Hart), Fenomenologi (Weber), Eksistensialisme (reinach, Amseleck), dan Teori-teori Hukum Alam Baru (Maihofer, Hommes, Geny, Van Vollenhove) dan seterusnya.[5]
Kehidupan masyarakat Indonesia pun di tahun 2007 sudah jauh berbeda dengan kehidupan di tahun 1970-an, apalagi di tahun 1960-an dan tahun 1940-an. Tuntutan masyarakat akan segala kenikmatan semakin banyak dan harus segera (instant) dipenuhi. Kalau tidak, caci maki, protes keras, bahkan kekerasan dan pemberontakan fisik atau bunuh diri pun menjadi ganjarannya.
Sopan santun sudah sangat diabaikan, sehingga kini bukan anak atau orang muda yang harus memperhatikan kepentingan orang tua, tetapi sebaliknya orang tualah yang sering harus mengelus dada, karena tuntutan orang muda yang sering tidak dapat dipenuhi, akibat tuntutan yang sangat tidak masuk akal lagi.
Pola hidup yang tidak normal yang sehari-hari ditayangkan di televisi, sering dianggap sebagai pola hidup yang normal, yang harus dimiliki, sehingga manakala hal itu tidak mungkin diperoleh atau dicapai secara normal, ditempuhlah cara-cara yang tidak normal, seperti merampok, membunuh, korupsi, narkoba, merayu bapak-bapak kaya hidung belang, dan sebagainya.
Sayang sekali Hakim Indonesia sendiri sangat tertinggal untuk memberikan putusan untuk mencegah atau mengurangi pemenuhan kebutuhan secara tidak normal itu. Misalnya, pada saat ini sudah banyak dilakukan kontrak-kontrak melalui elektronika (e-contracts). Tetapi Indonesia masih juga belum memiliki pengaturan hukum tentang e-contracts, dan terus menggunakan Hukum Kontrak dalam Kitab Undang-undang Hukum Sipil yang berasal dari Code Napoleon, buatan akhir abad ke-18, yang berlaku sejak permulaan abad ke-19!
Padahal sejak Kemerdekaan kita, bangsa Indonesia sehari-hari telah mengadakan standard contracts, kontrak-kontrak internasional, government contracts, transnational dan e-contracts, yang masing-masing mempunyai ciri-ciri dan problemnya yang khas. Untuk standard contracts saja kita belum mempunyai peraturan khas yang melindungi fihak yang lemah, seperti di Negeri Belanda dimana sudah diadakan peraturan hukum yang melindungi nasabah atau fihak yang lemah lainnya melalui Algemen Voorwaarden dan Zwarte – en Grijze lijzt yang diatur dalam BW Belanda yang Baru (1990).
Apalagi peraturan yang mengatur hubungan yag tidak seimbang antara perusahaan yang melaksanakan suatu proyek Pemerintah, seperti pembuatan gedung Pemerintah, jalan raya, jalur kereta api, bendungan, dan sebagainya berdasarkan kontrak Pemerintah atau Government Contract.
Padahal sewaktu-waktu pelaksanaan proyek itu dapat dipengaruhi oleh kenaikan harga bahan baku atau peratuan lain seperti perubahan tarif pajak yang nota bene ditentukan sefihak oleh Pemerintah sendiri. Belum lagi peraturan-peraturan administratif yang semakin menyudutkan pengusaha swasta, sehingga pada gilirannya pengusaha itu juga mencari berbagai jalan untuk mengecilkan risikonya.
Demikian pula, karena Indonesia belum memiliki Hukum Kontrak yang modern untuk transaksi-transaksi internasional dan transnasional, maka pengusaha asing cenderung mengadakan pilihan hukum ke arah Pengadilan dan/atau Arbitrase asing pula, yang sangat merugikan dan menambah biaya bagi fihak Indonesia sendiri. Karena itu sudah waktunya untuk segera menyusun suatu RUU tentang Kontrak Internasional dan Transnasional.
Akhirnya, waktunya benar-benar sudah sangat mendesak untuk menyusun suatu RUU tentang Kontrak-elektronika (e-contracts), sekali pun mau tidak mau banyak unsur Hukum Amerika akan terselip di dalamnya, seperti misalnya ketentuan hukum, bahwa perjanjian terjadi akibat diterimanya penawaran (offer), yang didasarkan pada teori yang berasal dari Hukum Kontrak dalam sistem Common Law, yaitu Teori tentang Offer and Acceptance.
Namun demikian, rasanya kalau bangsa Belanda dan Hukum Belanda sudah menyadari, bahwa mereka tidak mungkin bersikukuh pada teori Eropa Kontinental tentang tercapainya persetujuan dan kesepakatan antara kedua belah pihak, untuk apa Indonesia yang nota bene bukan merupakan negeri Eropa, bersikukuh untuk tetap memperhatikan teori hukum Eropa Kontinental? Apalagi bagi komputer ternyata hanya saat offer dan saat acceptance itu saja yang dapat diketahui/dimonitor; bukan fikiran (setuju atau tidak) yang ada dibenak pengirim berita.
Tampaklah kini bahwa sudah tidak mungkin lagi kita mengandalkan satu peraturan hukum untuk semua macam kontrak. Sebaliknya, dia abd ke-21 ini setidak-tidaknya kita membutuhkan 7 (tujuh) macam Hukum Kontrak, yaitu Kontrak menurut Hukum Adat (kalau masih dipergunakan) atau menurut Hukum Agama (seperti kawin si’ri), Kontrak tatap muka (seperti dalam KUHPerdata), Kontrak Standar, Kontrak Internasional, Kontrak Transnasional (antara Negara dengan Organisasi Internasional) dan Kontrak Elektronis atau e-contracts.
Perkembangan inilah yang bagaimana pun juga memaksa bangsa kita untuk memperhatikan kebutuhan hukum yang beraneka warna/ragam atau pluralistis itu, sehingga menyulitkan kita untuk tetap berpegangan pada cita-cita Unifikasi Hukum, sebagaimana diharapkan oleh para pendiri bangsa kita.
Sayang sekali Orde Baru telah menyia-nyiakan kesempatan selama 30 tahun untuk melaksanakan/menyelesaikan unifikasi hukum itu, agar paling tidak seluruh bangsa kita mempunyai titik tolak yang sama di abad ke-21 ini.
Itulah juga yang saya harapkan, sebelum mengakhiri tugas saya sebagai Kepala BPHN di tahun 1996, agar di abad ke-20, dengan telah digantinya sekitar 500 peraturan kolonial, kita benar-benar telah memiliki “bentuk kasar” dari Hukum Nasional kita.
Namun apa boleh buat, karena sampai sekarang pun perkembangan Hukum dengan segala sarana dan prasarananya, serta SDM dan perangkatnya terus diabaikan, jadilah kita dihadapkan pada kewajiban dan tugas yang lebih berat lagi, yaitu membangun kesatuan hukum (Hukum Nasional) yang sekali gus memperhatikan tuntutan masyarakat Indonesia yang untuk waktu yang cukup lama masih tetap akan hidup di alam fikiran yang berbeda-beda dan mempunyai mind set dan kebutuhan hidup yang berbeda-beda (pluralistis) pula.
Sehingga di segala bidang, baik dalam Hukum Kontrak yang diambil contohnya di atas, maupun misalnya dalam pemberantasan korupsi yang sekarang menjadi perdebatan sengit apakah menjadi kewenangan Pengadilan Umum atau Pengadilan Tipikor, atau mengenai “perebutan kewenangan” antara Mahkamah mana yang lebih tinggi : Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung; atau mengenai pertanyaan cara mana yang lebih efektif putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum (yang sering tidak ditaati) atau rekomendasi Ombudsman (yang sekali pun tidak “legally binding” toh diperhatikan dan dilaksanakan oleh instansi-instansi pemerintah, seperti Kepolisian, Badan Pertanahan Negara?) ternyata harus diakui bahwa tidak hanya ada satu jalan (unifikasi hukum atau satu aturan hukum untuk semua) menuju keadilan.
Karena itu mau tidak mau harus diakui pula asas pluralisme atau diversifikasi dalam mengatur satu bahan hukum atau satu masalah hukum dalam Hukum Nasional kita.
Kesatuan sebagai konsekuensi sejarah dan cita-cita hukum
Namun demikian, kenyataan hidup pun sudah membuktikan, bahwa betapa kuatnya pun hasrat ke arah Otonomi Daerah, namun dalam menghadapi berbagai bencana alam dan musibah ternyata masyarakat di Daerah tidak dapat mengandalkan Pemerintah Daerahnya sendiri, tetapi senantiana berpaling pada Pemerintah Pusat. Hal ini terjadi dengan Peristiwa di Aceh, di Maluku, di Poso, di Padang, bahan juga di Porong, di Yogyakarta dan di Sumedang (peristiwa IPDN).
Hal ini membuktikan, bahwa betapa pun masih belum sekuat sebagaimana kita harapkan, namun bangsa Indonesia semakin melebur menjadi satu.
Begitu pula semakin banyak keluarga terdapat anggota keluarga dari suku-suku bangsa dan/atau keturunan yang berbeda-beda, akibat perkawinan antar-suku, sehingga (seandainya ada Daerah yang akan memisahkan diri dari NKRI) maka hal tersebut akan mengakibatkan keretakan dalam kehidupan keluarga, karena anak atau cucu akan merasa lebih “krasan” di Daerah yang satu (yang tetap merupakan bagian dari NKRI) dari pada Daerah yang ingin memisahkan diri.
Oleh sebab itu mau tidak mau, dan sebagai amanah orang tua dan pahlawan bangsa yang telah mengorbankan jiwa raganya untuk kita, maupun demi hari depan anak cucu kita (agar mereka tetap memiliki “a place to belong”), kesatuan da persatuan bangsa itu tidak hanya merupakan konsekuensi dan akibat sejarah yang tidak mungkin kita ubah atau hapus, tetapi juga merupakan tuntutan bagi kebaikan dan kebahagiaan serta kelangsungan hidup cucu kita secara turun-temurun.
Menjadi pertanyaan apakah dan di manakah asas[6] ketunggalan atau kesatuan politik dan kesatuan hukum itu dapat kita temukan? Tidak lain, dalam Pembukaan Undang-undang Dasar yang mengakui kebenaran-kebenaran yang berikut :
Alinea pertama menyebut sejarah bangsa yang pernah dijajah dan karena itu menjunjung tinggi asas Kemerdekaan sebagai hak segala bangsa.
Alinea kedua menyebut bahwa kemerdekaan itu tidak dihadiahkan, tetapi dicapai melalui perjuangan yang panjang.
Alinea ketiga menyebut bahwa Kemerdekaan itu sebagai rahmat Allah yang Maha Kuasa, karena bangsa Indonesia ingin mendirikan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur (alinea kedua).
Akhirnya alinea keempat menyebut dibentuknya :
- (satu) Pemerintahan Negara Indonesia, yang berkedaulatan,
- yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah (wilayah) Indonesia,
- dan menganut filsafah (politik dan hukum)
KeTuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan bearadab,
Persatuan Indonesia,
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Peradilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh (jadi bukan untuk sebagian, catatan dari penulis, SH) rakyat Indonesia.
Prinsip dan kebenaran-kebenaran yang disebut di dalam Pembukaan UUD 1945 itulah yang mempersatukan bangsa Indonesia, dan karena itu harus pula mengarahkan Pembentukan dan Pembangunan seluruh Sistem Hukum Indonesia untuk abad ke-21 dan selanjutnya.
Kesimpulan
Oleh karena itu, betapa pun ada keinginan-keinginan atau keharusan untuk memberi tempat pada pluralisme hukum atau politik yang dituntut masyarakat dari waktu ke waktu, namun keyakinan dan pengaduan bangsa Indonesia yang tercetus dan diproklamasikan sejak Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan dan Pembukaan UUD 1945. Wajib dihormati sebagai “a truth or proposition so clear that it cannot be proved or contradicted” atau “that which constitutes the essence of a body”.[7] Betapa pun sudah ada 4 (empat) kali amandemen terhadap “batang tubuh” UUD 1945 itu.
Dengan lain perkataan : setiap perubahan dalam pasal-pasal UUD 1945 tidak boleh terlihat terlepas dari Pembukaan UUD itu sendiri, tetapi senantiasa harus ditafsirkan dengan latar belakang filsafah hukum Indonesia yang tercantum dan tersirat di dalam Undang-undang Dasar kita. Lagi pula setiap penafsiran pasal-pasal Undang-undang Dasar itu sendiri (ataupun perubahan pasal-pasalnya sekali pun) tidak boleh melanggar prinsip-prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah diakui oleh para perintis Kemerdekaan, para pahlawan bangsa maupun para pendiri atau founding fathers (and mothers) kita.
Inilah kiranya menjadi kewajiban Mahkamah Konstitusi, maupun MPR, DPR, Pemerintah, Peradilan dan semua sarjana hukum Indonesia, bahkan setiap warga negara Indonesia untuk menjaga keutuhan filsafah bernegara dan filsafah hukum yang sudah diikrarkan melalui Pembukaan UUD 1945 kita, dan untuk menjaga keutuhan amanah “orang tua” kami bersama.
Sebagai kesimpulan, akhirnya dapat diketahui, bahwa betapa pun pluralisme hukum menjadi tantangan bagi Pembangunan Hukum Nasional maupun kebutuhan bangsa Indonesia di masa kini, namun dengan tetap berpegangan pada prinsip-prinsip filsafah dan hukum yang tertera maupun tersimpul di dalam Pembukaan UUD kita, niscaya keutuhan bangsa dan kehidupan bernegara dan berbangsa kita tidak akan salah arah, karena di segala bidang kita akan berpegangan dan melaksanakan atau mengimplementasikan asas-asas hukum yang tetap akan mempersatukan kita dan menjadi kesadaran hukum Indonesia modern di millennium ketiga ini. Oleh sebab itu, berapa banyak pun amandemen yang akan diadakan pada UUD kita di masa yang akan datang, namun Pembukaan UUD hendaknya tetap utuh dan eksis sebagaimana dirumuskan di tahun 1945.
Inilah menurut pendapat saya makna Bhinneka Tunggal Ika. Bukan hanya sebagai motto negara, tetapi – dan inilah yang lebih penting – sebagai filsafah mengenai tujuan Hukum dan asas (pembentukan penegakan, pembaharuan dan pembangunan) Hukum Nasional. Dengan lain perkataan : Bhinneka Tunggal Ika hendaknya mulai sekarang juga harus kita akui sebagai asas Hukum Nasional yang terpenting dalam rangka Reformasi Hukum.
Semoga pemikiran ini dapat diterima dengan baik.
Terima kasih.
Makassar, 2 Mei 2007
[1] Lihat John Naisbitc : “Mindset! Reset your thinking and see the future”, Collins, New York, 2006.
[2] Sunaryati Hartono : “Bhinneka Tunggal Ika sebagai Asas Hukum bagi Pembangunan Hukum Nasional”, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, Bab IV, h. 41-65.
[3] Mengikuti Alvin Toffler dalam buku “The Third Wave”, 1980 yang sekarang telah disusul oleh Mehrtens,cs dengan buku “The Fourth Wave”.
[4] Lihat Lampiran.
[5] Lihat Lampiran 2.
[6] Menurut Black’s Law Dictionary (edisi 1991), asas atau principle itu berarti : A fundamental truth or doctrine, as of law; a comprehensive rule or doctrine which furnishes a basis or origin for others; a setteld rule of action, [procedure, or legal determination. Bahkan dikutip juga asas latin Priciplum est potissima pars cujaque rei (The principle of anything is its most powerfull part).
[7] Black’s Law Distionary, 1991, h. 1193 (di bawah kata “principle”).
Jumat, 20 Februari 2009
Selamat Datang
Selamat datang di komunitas dialektika hukum. Kami akan menemani anda menikmati etalase pemikiran hukum yang berkembang di Indonesia.