PENGARUH POLITIK HUKUM NASIONAL TERHADAP
PEMBANGUNAN HUKUM DI DAERAH (*
Oleh: Juajir Sumardi (**
A. PENDAHULUAN
Studi mendalam dan sistematik tentang pengaruh politik hukum[1] nasional terhadap pembangunan hukum di daerah hingga saat ini dirasakan belum mendapat perhatian yang memadai, padahal dengan dilakukannya Amandemen terhadap UUD-1945 dan dalam konstelasi keberlakuan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, secara faktual telah membawa Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, Kota, bahkan Desa memasuki era otonomi pemerintahan di daerah yang sangat berbeda dengan era sebelumnya. Era otonomi daerah yang berada dalam kecenderungan perubahan global saat ini, secara konseptual menuntut adanya perubahan paradigma pemerintahan daerah. Tuntutan perubahan paradigma baru di era otonomi daerah pada akhirnya juga menuntut kemampuan kreativitas, inovasi, dan strategi pemerintah daerah dalam mendorong percepatan pembangunan di daerah.
Salah satu program pembangunan daerah yang berada dalam rangkaian proses pembangunan daerah yang memiliki peran strategis adalah program pembangunan hukum di daerah melalui sistem legislasi daerah (prolegda), bahkan dengan keberlakuan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan Undang-Undang No. 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Desa, telah membuka peluang bagi daerah untuk menumbuhkembangkan perangkat legislasi daerah dan desa yang berbasis pada kearifan lokal masing-masing.
Urgensi pembangunan hukum di daerah pada dasarnya sebuah konsekuensi logis dari bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di bangun di atas landasan hukum. Dalam kaitan ini, Ismail Saleh[2] dengan merujuk pada hukum konstitusional Indonesia, telah mengatakan bahwa:
“...RI adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat). Hal ini mengandung makna bahwa di negara yang berdasarkan atas hukum, maka hukum harus menampilkan peranannya secara mendasar sebagai titik sentral dalam seluruh kehidupan orang-perorangan, kehidupan masyarakat, maupun kehidupan berbangsa dan bernegara”.
Menyadari adanya kedudukan hukum yang strategis dalam segala peri kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut, maka pembinaan dan pembangunan hukum secara terus menerus menjadi mutlak untuk dilakukan di dalam kerangka Politik Hukum Nasional Indonesia.[3] Pembinaan hukum ini seyogianya tidak lagi berpijak pada paradigma lama yang menitikberatkan pada sentralisme keinginan politik pemerintah pusat, akan tetapi harus mampu menangkap denyut nadi pembangunan daerah dalam bingkai pluralisme kearifan lokalnya masing-masing.[4] Untuk itu, Politik Hukum Nasional harus dapat memberi pengaruh bagi pembangunan hukum secara progresif di daerah untuk mendorong kehidupan hukum yang harmonis antara keinginan pemerintah Pusat di satu sisi dengan tuntutan masyarakat di daerah di sisi lain.
B. PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM
DI INDONESIA
Sejarah perkembangan politik hukum di Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari retasan sejarah hukum yang dimulai sejak pada jaman kolonialisme Belanda. Politik hukum yang terjadi ketika itu menunjukkan adanya upaya untuk mentransplantasikan hukum Eropa (baca Belanda) secara penuh ke dan untuk penduduk negeri di Hindia Belanda. Hal itu dilakukan secara konsisten dan konsekuen dengan dedikasi yang sangat doktriner melalui pemaksaan konsep unifikasi dan kodifikasi hukum. Namun dalam prakteknya upaya secara tegas dan terus menerus untuk memaksakan unifikasi dan kodifikasi hukum pada daerah jajahan di Hindia Belanda (baca: Indonesia saat ini) untuk masyarakat pribumi mengalami kegagalan, sehingga pada akhirnya timbul kesadaran di kalangan pemerintah kolonial pada saat itu bahwa hukum rakyat pribumi yang berkedudukan mayoritas tidak dapat diabaikan begitu saja.[5]
Belajar dari sejarah perkembangan hukum Indonesia pada jaman kolonial tersebut, menunujukkan bahwa potensi daya dukung hukum masyarakat pribumi tidak dapat digeser begitu saja melalui suatu proses transplantasi hukum Eksternal (hukum Belanda). Kekuatan yang terkandung pada hukum-hukum lokal ketika itu telah menyadarkan pemerintah Kolonial harus memberlakukan dualisme hukum di daerah jajahan Hindia Belanda. Hal ini mengharuskan Pemerintah Kolonial Belanda ketika itu mengundangkan Indische Staatsregeling 1925, di mana pada Pasal 131 IS merupakan ketentuan yang sering disebut-sebut sebagai ketentuan yang mengukuhkan keberlakuan hukum adat, dan dengan demikian juga memantapkan kesinambungan kebijakan dualisme di bidang hukum, namun juga dilain pihak tetap memungkinkan progresivisme dalam perkembangan dan pengembangan hukum untuk orang-orang pribumi.
Merujuk pada ketentuan yang termuat dalam Pasal 131 ayat 2 huruf b Indische Staatsregeling, maka dapat dikemukakan bahwa sejak diundangkannya Indische Staatsregeling 1925, pemerintah Kolonial Belanda sesungguhnya telah meninggalkan niat-niat dan kebijakan-kebijakan lamanya untuk memberlakukan hukum privat Barat lewat perundang-undangan kepada golongan penduduk pribumi.[6]
Kenyataan-kenyataan sejarah perkembangan hukum Indonesia dalam rezim pemerintahan Kolonial Belanda menunjukkan bahwa, walaupun berulangkali telah dicoba dilakukan unifikasi hukum oleh Pemerintah Kolonial Belanda, namun apapun hasilnya orang-orang dari golongan penduduk pribumi masih tetap saja berada di bawah yurisdiksi hukum lokalnya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa pluralisme hukum rupanya tak hanya menunjukkan kenyataan objektif, akan tetapi juga termaknakan dan menjadi refleksi pengakuan subjektif pemerintah kolonial pada masa-masa akhir kekuasaannya, bahwa ada kebutuhan hukum yang beragam dan berbeda-beda di kalangan penduduk.
Kehadiran rezim pemerintahan Kolonial Jepang yang menggantikan pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia pada tahun 1942, juga tidak merubah eksistensi hukum pribumi yang mendapat pengakuan oleh pemerintah Kolonial Belanda melalui Pasal 131 Indische Staatsregeling 1925, di mana hukum-hukum yang berlaku bagi masyarakat pribumi kembali mendapat pengakuan dan penguatan oleh Pemerintah Kolonial Jepang. Kondisi ini menunjukkan bahwa baik pemerintah Kolonial Belanda maupun pemerintah Kolonial Jepang tetap memberikan ekpressi yang positif bagi perkembangan hukum-hukum masyarakat pribumi.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekannya pada tahun 1945, pemuka-pemuka Indonesia mencoba membangun hukum Indonesia dengan berusaha sedapat-dapatnya melepaskan diri dari ide hukum kolonial, muncul keyakinan ketika itu bahwa substansi hukum rakyat yang selama ini terjajah akan dapat diangkat dan dikembangkan secara penuh menjadi substansi hukum nasional, akan tetapi dalam kenyataannya tidak mudah untuk dilakukan,[7] maka pilihannya adalah memberlakukan hukum lama (baca: hukum-hukum kodifikasi Belanda) melalui Aturan Peralihan Pasal II Undang-Undang Dasar 1945 dengan alasan demi menjaga agar tidak terjadi kevakuman hukum.
Pada tahun 1949, saat keberlakuan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat, eksistensi hukum rakyat kembali mendapat penguatan konstitusional yakni pengaturan yang terdapat pada Pasal 24 ayat (2) UUD RIS yang menyatakan bahwa “perbedaan dalam kebutuhan masyarakat dan kebutuhan hukum golongan rakyat akan diperhatikan”. Sebagai konsekuensi dari ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD RIS tersebut maka di beberapa daerah, peradilan desa sebagai upaya perdamaian atas dasar kewibawaan para kepala desa tetap berlangsung terus tanpa perubahan apapun.
Periode setelah tahun 1950-an, khususnya pada saat keberlakuan Undang-Undang Dasar Sementara hingga tahun 1959, terdapat ketentuan yang substansinya tetap menghendaki agar kebutuhan hukum golongan-golongan rakyat tetap diperhatikan, ketentuan ini tertuang di dalam Pasal 25 Undang-Undang Dasar Sementara. Hal ini menunjukkan adanya pengakuan terhadap eksistensi hukum golongan masyarakat yang dapat dikategorikan sebagai hukum lokal (local law). Namun setelah keberlakuan kembali UUD-1945 melalui Dekrit Presiden tahun 1959, kebijakan untuk merealisasikan unifikasi hukum kolonial tampaknya berlanjut dalam pembangunan hukum nasional era pasca kolonial. Di satu pihak para perancang sistem hukum nasional yang berwawasan nasionalisme menghendaki tetap dikukuhkannya “kepribadian bangsa” (baca: nilai-nilai masyarakat Indonesia); namun sementara di lain pihak dituntut untuk bersikap realistik, para perancang hukum nasional ini juga amat mempertimbangkan kenyatan betapa globalisasi ekonomi, politik, dan budaya juga harus dapat tertransformasikan ke dalam hukum nasional, sehingga hal ini kian mempersulit upaya-upaya mentransformasikan hukum rakyat lokal yang dirasakan kurang dapat mengakomodasi perkembangan globalisasi ekonomi dan politik dunia untuk kepentingan nasional.
Sejak keberlakuan kembali Undang-Undang Dasar 1945 melalui Dekrit Presiden tahun 1959, politik hukum nasional Indonesia secara tidak langsung telah berhasil merealisasikan cita-cita awal pemerintah Kolonial Belanda yang dimulai sejak tahun 1840 yaitu upaya untuk melakukan unifikasi hukum melalui suatu proses kodifikasi. Walaupun keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria sering dianggap sebagai wujud dari refleksi pengakuan terhadap hukum adat, akan tetapi jika dikaji secara substansial ketentuan-ketentuan yang terkandung di dalamnya, tampaknya UU Pokok Agraria Tahun 1960 masih mengabaikan banyak sekali kaidah-kaidah hukum adat lokal. Walaupun Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan dengan gamblang bahwa hak-hak atas tanah yang baru didasarkan pada kaidah-kaidah hukum adat Indonesia, namun sebagian besar dari hak-hak itu sebenarnya adalah hak-hak yang dapat dikenali sebagai hak-hak yang pernah ada menurut ketentuan-ketentuan yang pernah ada dalam Burgelijk Wetboek, justru hak-hak yang terdapat dalam UU Pokok Agraria tidak sekuat dan semutlak hak-hak lama serupa yang dijamin oleh hukum Eropa, di mana hak-hak yang terdapat dalam UU Pokok Agraria kini dibatasi oleh apa yang disebut “fungsi sosial”, bahkan UU Pokok Agraria secara aktual meniadakan kemungkinan adanya hak ulayat menurut hukum adat. [8]
Periode pemerintah Orde Baru yang dimulai sejak tahun 1966 telah menimbulkan perubahan yang cukup besar bagi keberlakuan politik hukum Nasional pada saat itu. Politik Hukum Nasional dalam periode Pemerintahan Presiden Soeharto memiliki beberapa karakter, yakni mengakomodasikan kekuasaan politik, kelompok kepentingan, dan penerapan mekanisme liberal. Berbeda dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintahan Soekarno yang menjargonkan politik sebagai panglima, maka pemerintahan Soeharto jargon yang dominan adalah “ekonomi sebagai panglima” sehingga paradigma pertumbuhan ekonomi menjadi pilihan utamanya dalam proses pembangunan bangsa. Kondisi objektif ini telah mempengaruhi arah Politik Hukum Nasional ketika itu, bahwa kebijakan pembangunan hukum dikonsentrasikan pada perundang-undangan yang dapat memberikan konstribusi bagi pembangunan ekonomi, untuk itu pada tahun 1967 dibuat Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang dilanjutkan dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.
Politik Hukum Nasional yang dipraktekkan pada rezim pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto dalam prakteknya kurang memberi tempat bagi hukum adat, bahkan kekuatan hukum nasional digunakan untuk melindungi kepentingan-kepentingan ekonomi kelompok tertentu yang pada akhirnya tidak memberdayakan kearifan lokal yang terdapat pada masyarakat hukum adat. Kebijakan mengenai tata niaga cengkeh melalui ketentuan hukum merupakan praktik monopoli dan monopsoni yang telah menyengsarakan masyarakat petani cengkeh. Berbagai produk perundang-undangan yang dibuat sebagian besar berdimensi kekuasan sehingga melahirkan konsep teknokratik-birokratik, politik, dan klientilistik. Kebijakan yang didukung oleh peraturan perundang-undangan tersebut telah memunculkan beberapa perusahaan raksasa multiusaha atau konglomerat yang cenderung mendominasi ekonomi Indonesia, di mana perusahaan-perusahaan yang dimunculkan tersebut umumnya mempunyai hubungan khusus dengan penguasa sehingga memunculkan istilah birokrat-pengusaha, pengusaha klien, dan pengusaha Cina.[9]
Setelah rezim pemerintahan Soeharto dilengserkan oleh rakyat Indonesia pada tahun 1997, maka Indonesia telah memasuki satu periode baru yang disebut sebagai periode reformasi. Dalam periode ini bangsa Indonesia sedang mengalami perubahan besar sebagai konsekuensi dari tuntutan reformasi, di mana keinginan untuk melakukan perubahan dan pembaruan menjangkau berbagai aspek kehidupan masyarakat, politik, ekonomi, dan hukum. Tantangan utama yang dihadapi oleh pemerintahan orde reformasi adalah upaya mengatasi krisis ekonomi, memberdayakan ekonomi rakyat, memperkuat kelembagaan ekonomi, mendorong persaingan sehat, sampai pada pemberantasan praktek-praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) dalam kegiatan ekonomi-bisnis.
Konsekuensi dari pilihan ekonomi perspektif sloganisme kerakyatan pada rezim pemerintahan orde reformasi telah dibentuk beberapa undang-undang yang dimaksudkan untuk mendorong kegiatan ekonomi yang efisien dan sehat, undang-undang yang dimaksud antara lain; undang-undang perbankan, undang-undang kepailitan, undang-undang perlindungan konsumen, undang-undang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, undang-undang Bank Indonesia, undang-undang lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar, undang-undang larangan pencucian uang hasil kejahatan, undang-undang yang berkaitan dengan hak atas kepemilikan intelektual, undang-undang penanaman modal, dan berbagai undang-undang lainnya. Dengan dibentuknya sederetan peraturan perundang-undangan sebagaimana diuraikan tersebut, tampaknya politik hukum nasional Indonesia pasca pemerintahan Orde Baru banyak tertuju pada pembangunan di bidang hukum ekonomi.
Sesuatu yang sangat monumental yang terjadi dalam periode pasca Orde Baru adalah dilakukannya Amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, yang pada rezim Orde Baru tidak akan dapat tersentuh sama sekali oleh ide-ide perubahan. Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil Amandemen yang dilakukan, kembali terdapat penguatan terhadap eksistensi hukum lokal (hukum adat dan/atau hukum daerah), hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 18B UUD-1945 sebagai berikut:
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang;
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan hukum konstitusi Republik Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas, maka nafas pluralisme hukum kembali mendapat angin segar sehingga memungkinkan untuk menumbuhkembangkan hukum-hukum lokal (hukum adat dan hukum daerah) yang sesuai dengan kearifan lokal masing-masing daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, upaya penguatan hukum-hukum lokal (pembangunan hukum di daerah) harus terus dibina dan diarahkan pada upaya untuk meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat sehingga keberadaan hukum dapat memberikan konstribusi yang signifikan bagi pembangunan ekonomi daerah dan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
C. PEMBANGUNAN HUKUM DI DAERAH
Pembangunan hukum di daerah pada dasarnya adalah segala usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah bersama-sama dengan masyarakat berkenaan dengan bagaimana hukum dibentuk, dikonseptualisasikan, diimplementasikan, dan dilembagakan dalam suatu proses politik. Pembangunan hukum dapat meliputi pembentukan hukum yang baru, pembaruan hukum yang telah ada, dan penguatan terhadap hukum-hukum masyarakat lokal (hukum adat).
Dengan keberlakuan UUD-1945 hasil Amandemen I, II, III, dan IV yang mengakui eksistensi hukum masyarakat adat, dan diundangkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, keberlakuan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan keberlakuan Undang-Undang No. 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Desa, telah membuka peluang bagi daerah untuk melakukan pembangunan hukum di daerah sesuai dengan muatan lokal masing-masing daerah.
Di dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, ditegaskan bahwa:
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a. Peraturan daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan rakyat daerah Provinsi bersama dengan Gubernur;
b. Peraturan daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh dewan Perwakilan Rakyat daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
Dengan memperhatikan ketentuan yang terkandung dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dikemukakan di atas, maka dalam rangka pembangunan hukum di daerah terdapat 3 bentuk peraturan hukum yang dapat dikembangkan di daerah, yaitu: (1) Peraturan Daerah Provinsi; (2) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota; dan (3) Peraturan Desa. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tidak menyinggung samasekali Hukum Adat dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia, padahal di dalam UUD-1945 hasil Amandemen khususnya pada Pasal 18B ayat (2) secara tegas mengakui eksistensi hukum adat, yaitu sebagai berikut:
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Dengan tidak disebutnya ketentuan hukum adat dalam tata urutan perundang-undangan di dalam UU No. 10 Tahun 2004, lalu bagaimanakah eksistensi hukum adat yang ada di daerah dalam kerangka pembangunan hukum di daerah? Untuk menjawab pertanyaan ini, dapat dikemukakan ketentuan yang diatur di dalam Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 sebagai berikut:
Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi.
Penafsiran yang dapat diajukan atas ketentuan Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 selain yang tertuang pada penjelasan atas undang-undang tersebut adalah, bahwa jenis peraturan perundang-undangan yang dimaksud dapat saja berupa peraturan yang terkandung di dalam hukum adat selain peraturan desa tentunya. Oleh karena itu, untuk memberikan penguatan terhadap peraturan hukum adat di daerah diperlukan adanya suatu bentuk peraturan perundang-undangan yang disebut dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004, dalam hal ini dapat saja berupa Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.[10]
1. Strategi Pembangunan Hukum Di Daerah
Jika kita melihat dari sudut perspektif sejarah berkaitan dengan strategi pembangunan hukum, tidak dapat disangkali bahwa pembangunan hukum merupakan hasil dari suatu proses politik yang terjadi di dalam masyarakat. Strategi yang digunakan dalam proses pembangunan hukum yang berlangsung terdiri dari: (a) strategi pembangunan hukum ortodok; dan (b) strategi pembangunan hukum responsif.
Strategi pembangunan hukum ortodok dicirikan dengan adanya peranan mutlak dari lembaga-lembaga negara (pemerintah dan parlemen) dalam menentukan arah perkembangan hukum dalam suatu masyarakat, sehingga hukum yang dihasilkan dari strategi ini menjadi bersifat positifis instrumentalis, dan keberadaan hukum difungsikan sebagai instrumen yang ampuh bagi pelaksanaan idiologi dan program dari negara.[11] Strategi pembangunan hukum yang responsif dicirikan dengan adanya peranan yang besar dari lembaga-lembaga peradilan, dan partisipasi yang luas dari kelompok sosial atau individu dalam masyarakat untuk menentukan arah perkembangan hukum, sehingga peranan lembaga negara (pemerintah dan parlemen) dalam menentukan arah perkembangan hukum menjadi lebih relatif.[12]
Strategi pembangunan hukum sebagaimana dikemukakan di atas dalam sistem hukum dunia telah melahirkan tiga bentuk tradisi hukum, yaitu Civil Law Tradition, Common Law Tradition, dan Socialist Law Tradition. Strategi apakah yang sesuai untuk digunakan dalam pembangunan hukum di Indonesia? Merespon bentuk strategi dalam pembangunan hukum sebagaimana dikemukakan di atas, maka menurut hemat penulis strategi pembangunan hukum yang perlu dilakukan dalam rangka pembangunan hukum di daerah adalah strategi Kuasi-Responsif. Strategi kuasi-responsif dimaksudkan agar peranan negara dalam proses pembangunan hukum di daerah memberikan respon positif bagi kondisi situasional masyarakat daerah. Strategi kuasi-responsif menurut hemat penulis akan menghasilkan Sistem Hukum Indonesia dengan ciri keindonesiannya, dalam rangka membangun tradisi hukum Indonesia untuk mewujutkan Model Hukum Kooperatif-Koordinatif .
Model Hukum kooperatif-koordinatif menurut hemat penulis harus dikembangkan sebagai wujud dari kondisi objektif Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus mengakomodasi dan menghormati tradisi-tradisi hukum masyarakat adat yang dibangun berdasarkan kearifan lokalnya masing-masing. Namun demikian, agar Sistem Hukum Indonesia dapat mewujudkan keadilan hukum, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum dalam mewujudkan hakikat cita hukum dalam realitas kehidupan masyarakatnya, dan dalam pergaulannya dengan sistem-sistem hukum lainnya pada masyarakat global, maka strategi pembangunan hukum di daerah harus diarahkan pada upaya untuk merespon secara positif muatan hukum lokal dalam nafas kooperatif-koordinatif antara hukum lokal, hukum Nasional dan Hukum Global, untuk selanjutnya diletakkan di dalam wadah perundang-undangan daerah sehingga eksistensinya akan memenuhi hakikat sebuah hukum yang dikehendaki oleh Hukum Nasional untuk kemajuan masyarakat.
2. Model Pembangunan Hukum Di Daerah
Pembangunan hukum pada dasarnya adalah sebuah mekanisme manajemen dalam menghadirkan sebuah produk yang disebut sistem hukum.[13] Oleh karena itu, model pembangunan hukum di daerah seyogianya diletakkan dalam kerangka manajemen pembangunan hukum (Development Law Management) yang memenuhi unsur-unsur manajemen pada umumnya, yaitu unsur perencanaan (legal planning), pembentukan (legal creating), pengorganisasian (legal organizing), pelaksanaan (legal implementing), pengawasan (legal controlling), dan peninjauan (legal reviewing).
Kelima unsur-unsur manajemen hukum sebagaimana dikemukakan tersebut harus mendapat perhatian secara seksama agar produk sistem hukum di daerah yang dibangun dapat memenuhi sasaran dan tujuan yang akan dicapai. Membangun sebuah produk hukum di daerah, baik dalam rangka pembentukan hukum baru, pembaruan hukum yang ada, maupun dalam rangka penguatan terhadap hukum yang ada (hukum adat), maka proses manajemen pembangunan hukum di daerah dapat diarahkan pada penggunaan model pendekatan sistemik tanpa mengabaikan variabel-variabel dinamis yang ada di tengah-tengah masyarakatnya (muatan hukum adat). Untuk memberikan gambaran umum tentang model sistemik pembangunan hukum di daerah, dapat dikemukakan skema sederhana berikut ini:
I N P U T
- Tuntutan Pembangunan Nasional;
- Tuntutan pembangunan daerah;
- Tuntutan masyara-kat adat
Nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen
P R O S E S
SUBJEK OBJEK METODE
- DPRD - Substansi - Pembentuk-
- Gubernur Hukum an Hukum
- Bupati - Struktur - Pembaruan
- Walikota Hukum Hukum
- Masyarakat - Kultur - Penguatan
- Perguruan Hukum Hukum Adat
Tinggi
OUTPUT
Hukum Lokal (Peraturan Daerah dan Peraturan Desa) yang bersifat kooperatif-koordinatif yang dapat mengakomo-dasi pemba- ngunan daerah dan masyarakat adat
LINGKUNGAN EKSTERNAL
Hukum Nasional, Hukum Global, Pembangunan Nasional, dan Global
FEED BACK Pendekatan sistemik dalam proses pembangunan hukum di daerah, menghasilkan suatu sistem integral yang mempunyai komponen struktural dan fungsional. Di dalam model pembangunan hukum dengan pendekatan sistemik akan menghasilkan suatu proses transformasi nilai tambah yang mengubah input menjadi output yang ditetapkan sebelumnya, atau yang dicita-citakan sehingga produk hukum yang dihasilkan dari proses pembangunan hukum dengan pendekatan sistemik ini akan dapat mengakomodasi prinsip-prinsip kooperatif-koordinatif untuk menghindari terjadinya konflik muatan hukum antara Hukum Nasional dengan Hukum Daerah.
Proses transformasi nilai tambah dari input menjadi output dalam sistem pembangunan hukum yang menggunakan pendekatan sistemik akan selalu melibatkan komponen struktural dan fungsional. Dalam kaitan ini, minimal terdapat 4 (empat) ciri atau karakteristik dari sistem pembangunan hukum yang diajukan yaitu:
1. Mempunyai komponen-komponen atau elemen-elemen yang saling berkaitan satu sama lain dan membentuk satu kesatuan yang utuh. Hal ini berkaitan dengan komponen struktural yang membangun sistem pembangunan hukum yang digunakan.
2. Mempunyai tujuan yang mendasari keberadaannya, yaitu menghasilkan produk hukum berkualitas yang dapat mengakomodasi kepentingan nasional dan daerah.
3. Mempunyai aktivitas, berupa proses transformasi nilai tambah input menjadi output secara efektif dan efisien.
4. Mempunyai mekanisme yang mengendalikan pengoperasiannya, berupa optimasi pengalokasian sumber-sumber daya.
Dengan menggunakan model pendekatan sistemik dalam proses pembangunan hukum di daerah, maka pembangunan hukum di daerah tidak akan lepas dari kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, model pembangunan hukum dengan pendekatan sistemik sebagaimana yang penulis kemukakan di atas dapat menciptakan Sistem Hukum Indonesia yang melahirkan bentuk Hukum Kooperatif-Koordinatif antara Hukum Nasional di satu sisi dengan Hukum Daerah di sisi lain.
Dengan menempatkan Hukum Nasional dan Hukum Global dalam lingkungan eksternal yang mempengaruhi proses pembangunan hukum di daerah, maka pembangunan hukum di daerah akan memiliki sikap adaptif terhadap perkembangan hukum Nasional dan Global untuk menghasilkan hukum lokal yang dapat mendorong terbentuknya tatanan masyarakat yang sejahtera dan produktif tanpa harus mengabaikan nilai-nilai lokal dan kearifan lokal masing-masing daerah.
D. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBANGUNAN
HUKUM DI DAERAH
Dewasa ini, kita menghadapi dampak utama globalisasi yaitu berubahnya konsep daya dukung keunggulan bangsa dari bentuk comparative advantage menjadi competitive advantage. Munculnya kecenderungan semakin kuatnya persaingan yang didasarkan pada competitive adventage, maka upaya menciptakan efisiensi dan efektivitas dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan menjadi kebutuhan utama.
Pemanfaatan berbagai instrumen yang dapat menunjang terciptanya keunggulan kompetitif suatu bangsa telah dilakukan. Salah satu instrumen yang dianggap memiliki daya kerja yang kuat untuk menciptakan keunggulan kompetitif tersebut adalah instrumen hukum. Oleh karena itu, pembangunan hukum suatu bangsa (termasuk hukum di daerah dalam skala Indonesia) harus diarahkan untuk menciptakan keunggulan kompetitif dari bangsa tersebut. Hal ini harus disadari secara bersama-sama oleh setiap komponen bangsa Indonesia apabila ingin meningkatkan harkat dan martabat bangsa di tengah pergaulan bangsa-bangsa lain. Permasalahannya adalah, apakah proses pembangunan hukum di daerah sejauh ini berjalan sesuai dengan harapan yang ingin dicapai? Apakah proses pembangunan hukum yang berlangsung di daerah mampu meningkatkan nilai keunggulan kompetitif bagi bangsa dan daerah?
Untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang diajukan berkaitan dengan proses pembangunan hukum di daerah yang dapat meningkatkan keunggulan kompetitif bangsa secara umum dan daerah secara khusus, maka perlu mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses pembangunan hukum di daerah. Dalam kaitan dengan upaya untuk mengidentifikasi faktor-faktor berpengaruh dalam proses pembangunan hukum di daerah, maka menurut hemat penulis ada baiknya apabila model pendekatan sistemik dalam proses pembangunan hukum di daerah sebagaimana yang telah diajukan di atas menjadi fokus arahan untuk mengenali faktor-faktor berpengaruhnya. Dengan memperhatikan model pendekatan sistemik dalam proses pembangunan hukum di daerah, maka terdapat 2 (dua) faktor utama yang berpengaruh dalam proses pembangunan hukum di daerah, yaitu:
a. Faktor internal; yaitu faktor-faktor yang terdapat di dalam sistem proses pembangunan hukum yang berlangsung, di mana faktor-faktor tersebut dapat meliputi:
- subjek yang terlibat dalam pembangunan hukum di daerah;
- objek yang menjadi sasaran dari proses pembangunan hukum yang dilakukan; dan
- metode yang digunakan di dalam proses pembangunan hukum di daerah.
b. Faktor eksternal; yaitu faktor-faktor yang terdapat diluar sistem proses pembangunan hukum akan tetapi secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi proses yang berlangsung, faktor-faktor tersebut dapat meliputi:
- politik hukum nasional;
- peraturan perundang-undangan Nasional yang ada;
- ketentuan hukum internasional;
- kecenderungan pembangunan daerah, nasional, dan global; serta
- struktur sosial masyarakat di daerah;
Faktor subjek yang terlibat di dalam proses pembangunan hukum di daerah, indikator-indikator yang harus dibenahi agar dapat memberikan pengaruh yang positif bagi proses pembangunan hukum di daerah meliputi:
a. Kualitas keinginan politik (political will quality) dari Gubernur, Bupati/Walikota untuk memprioritaskan program pembangunan hukum daerah melalui program legislasi daerah (prolegda) yang terencana dan terukur;
b. Kualitas anggota DPRD dalam merespon dan memahami proses pembangunan hukum untuk mendukung program pembangunan hukum di daerah;
c. Kualitas partisipasi masyarakat dalam mendukung dan merespon program pembangunan hukum di daerah, khususnya dalam memberikan masukan di dalam proses perencanaan, pembentukan, dan pelaksanaan hukum di daerah;
d. Peran serta masyarakat perguruan tinggi dalam proses perencanaan dan pembentuk hukum di daerah, khususnya memberikan masukan pada perencanaan pembangunan hukum di daerah, pembuatan kajian akademis terhadap rancangan hukum yang akan diajukan, dan memberikan technical assistance bagi pemerintah daerah dalam proses pembangunan hukum di daerah.
Berkaitan dengan faktor objek yang akan di bangun, maka keberhasilan proses pembangunan hukum akan turut ditentukan pada pilihan objek hukum yang akan menjadi sasaran pembangunan. Untuk itu, objek hukum yang akan dibangun harus diarahkan pada sinkronisasi substansi hukum dengan ketentuan perundang-undangan Nasional yang ada sehingga hukum yang dibangun dapat memenuhi muatan dari hukum-hukum di daerah yang bersifat kooperatif-koordinatif.
Dalam rangka mengarahkan proses pembangunan hukum di daerah agar menghasilkan produk hukum daerah yang dapat merespon tuntutan pembangunan daerah dalam nafas otonomi daerah yang berlangsung, maka pembangunan hukum di daerah seyogianya menitikberatkan pada produk-produk hukum daerah yang dapat mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi di daerah, peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat di daerah, dan terjadinya pemerataan kesempatan yang seimbang dalam mengakses potensi pembangunan daerah yang ada.
Faktor metode yang diterapkan dalam proses pembangunan hukum di daerah juga akan mempengaruhi keberhasilan pembangunan hukum yang dilakukan. Pilihan dalam penggunaan metode pembentukan hukum, pembaruan hukum, dan penguatan terhadap hukum-hukum masyarakat adat yang ada, akan menentukan arahan dan ritme pembangunan hukum di daerah. Dalam kaitan ini, penguasaan metode yang dapat digunakan dalam rangka pembangunan hukum harus dilakukan dengan keterlibatan perguruan tinggi untuk berpartisipasi dalam mendukung proses penguatan aparat eksekutif dan legislatif dalam pemahaman terhadap metode pembangunan hukum tersebut.
Faktor politik hukum nasional, hukum nasional, hukum global, kecenderungan pembangunan daerah-nasional-internasional, serta struktur sosial masyarakat daerah, dalam pendekatan sistemik merupakan faktor-faktor yang berada dalam lingkungan eksternal dari sistem pembangunan hukum di daerah. Faktor-faktor eksternal tersebut memiliki potensi pengaruh yang cukup besar terhadap proses pembangunan hukum di daerah yang berlangsung. Adanya tuntutan sinkronisasi hukum-hukum di daerah yang dibentuk dengan hukum nasional yang ada, maka keberadaan hukum nasional akan menjadikan pembangunan hukum di daerah tidak terlepas dari bingkai pembangunan hukum dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, politik hukum nasional seyogianya dapat mengarahkan proses pembangunan hukum di daerah berjalan sesuai dengan ritme pembangunan daerah dan pembangunan nasional, di samping juga harus tetap memperhatikan hukum internasional yang berlaku sebagai konsekuensi bagian masyarakat internasional dan dalam pergaulan masyarakat bangsa-bangsa yang beradab. Oleh karena itu, hukum-hukum yang dikembangkan di daerah tetap tidak boleh melepaskan diri dari prinsip-prinsip umum hukum internasional yang ada.
E. PENGARUH POLITIK HUKUM NASIONAL TERHADAP
PEMBANGUNAN HUKUM DI DAERAH
Sejak berakhirnya rezim pemerintahan Orde Baru, bangsa Indonesia telah memasuki suatu perubahan yang sangat drastis di dalam tata atur dan tata kelola kehidupan negara. Masyarakat bangsa Indonesia menyebut pasca orde baru sebagai Orde Reformasi, keinginan untuk melakukan reformasi bergulir ke segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak terkecualikan di dalamnya adalah Reformasi Bidang Hukum.
Keinginan menegakkan supremasi hukum dalam orde reformasi saat itu hingga kini secara faktual masih merupakan jalan yang cukup panjang yang penuh dengan liku-liku permasalahan sehingga belum juga tercapai secara penuh. Oleh karena itu, masih dibutuhkan suatu kemauan politik yang kuat untuk mengatasi berbagai persoalan rumit dalam sistem hukum nasional, seperti pelanggaran hak-hak azasi manusia, kejahatan ekonomi, gangguan keamanan, pengembangan hukum-hukum lokal yang kondusif mendukung percepatan pembangunan di daerah, dan sebagainya. Dengan demikian, program reformasi hukum tidak bisa tidak harus digulirkan terus secara bersama-sama oleh seluruh komponen pemerintahan dan legislatif serta segenap anggota masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat di daerah.
Menyadari akan pentingnya program reformasi hukum untuk digulirkan secara terus menerus, dalam tataran Politik Hukum Nasional telah dibentuk satu lagi kelembagaan yang menangani program pengembangan hukum nasional selain lembaga Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang telah ada sebelumnya, lembaga baru yang diberikan tugas untuk memikirkan dan menangani pengembangan dan pembaruan hukum nasional adalah Komisi Hukum Nasional (KHN) yang pembentukannya didasarkan pada Keppres No. 15 Tahun 2000.[14]
Di dalam upaya menjalankan tugas dan kewenangannya dalam program reformasi hukum nasional, Komisi Hukum Nasional (KHN) telah memfokuskan enam program induk, yaitu:
a. Program untuk meningkatkan kemampuan sistem peradilan;
b. Program untuk membangun sistem pemerintahan yang layak dan melakukan reformasi hukum administrasi;
c. Program untuk meningkatkan peran legislasi Dewan Perwakilan Rakyat;
d. Program untuk pendidikan hukum lanjutan, pengujian dan penegakan disiplin profesi;
e. Program untuk pengembangan hukum dalam rangka pemulihan ekonomi;
f. Program untuk meningkatkan sistem peradilan pidana terpadu.
Selain enam program utama yang menjadi agenda reformasi hukum dari Komisi Hukum Nasional (KHN), maka dalam rangka pembangunan hukum nasional telah ditetapkan pula suatu Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang menjadi prioritas dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas). Di samping itu, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Hukum dan HAM juga tidak mau ketinggalan dalam mengupayakan program reformasi hukum sehingga BPHN juga mengagendakan program legislasi nasionalnya sebagai wujud dari perannya dalam proses pembinaan dan pembangunan hukum nasional.
Di dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2000, khususnya pada sektor Program Reformasi Hukum, telah ditetapkan suatu Program Legislasi Nasional dengan skala prioritas sebagai berikut:
a. Menyusun undang-undang yang mengatur tata cara penyusunan peraturan perundang-undangan yang membuka kemungkinan untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat dengan tetap mengakui dan menghargai hukum agama dan hukum adat;
b. Menyempurnakan mekanisme hubungan pemerintah dan DPR dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai konsekuensi amandemen Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945; dan
c. Meningkatkan peran program legislasi nasional (prolegnas).
Selain program legislasi nasional sebagaimana dikemukakan di atas, pada Propenas juga ditetapkan pengembangan sektor desentralisasi dan otonomi daerah, serta sektor Alternatif Dispute Resolution (penyelesaian sengketa alternatif). Ketiga sektor prioritas diantara prioritas program reformasi hukum lainnya yang ditetapkan dalam Propenas, telah menghasilkan perangkat peraturan perundang-undangan, antara lain: Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 32 Tahun 2004), Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 10 Tahun 2004), dan Undang-Undang Penyelesaian Sengketa Alternatif (UU No. 30 Tahun 1999). Ketiga undang-undang tersebut tidak dapat disangkali merupakan salah satu wujud dari Politik Hukum Nasional Indonesia yang berlangsung pasca pemerintahan Orde Baru, yang secara aktual telah berpengaruh signifikan bagi pembangunan hukum di daerah.
Seperti yang telah dikemukakan pada awal tulisan ini, bahwa dengan keberlakuan undang-undang otonomi daerah, maka pemerintah daerah dituntut untuk menjalankan pemerintahannya dalam bingkai tata kelola pemerintahan yang baik (good government). Untuk itu, Pemerintah Daerah dituntut menggali sumber-sumber potensial bagi pendapatan daerah. Tuntutan untuk meningkatkan Pendapan Asli Daerah (PAD) dalam suasana otonomi daerah yang berlangsung dewasa ini ternyata telah melahirkan suatu sindrom pemerintahan di daerah yang dapat dikatakan sebagai “Sindrom PAD”. Hal inilah yang seringkali mendorong Pemerintah Daerah secara menerabas dengan pendekatan fragmatis membangun hukum-hukum daerah yang justru memberikan beban baru bagi masyarakatnya. Phenomena ini menunjukkan adanya denyut pembangunan hukum di daerah dengan ritme yang cepat, sehingga seringkali percepatan ritme pembangunan hukum di daerah yang dimungkinkan oleh iklim Politik Hukum Nasional menghadirkan hukum-hukum di daerah yang tidak singkron dengan ketentuan hukum Nasional. Bahkan niat untuk meningkatkan PAD melalui pengundangan Peraturan Daerah justru menjadi kontra produktif dan mengakibatkan terjadinya ekpnomi biaya tinggi (high cost economy).
Dengan adanya Politik Hukum Nasional yang memberikan penguatan kepada pembangunan hukum di daerah termasuk di dalamnya penguatan terhadap hukum adat sebagaimana yang ditetapkan di dalam skala prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagai bagian dari Program Pembangunan Nasional (Propenas), dan dengan diundangkannya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undang, maka Politik Hukum Nasional telah memberikan ruang gerak bagi masyarakat dan Pemerintah Daerah untuk membangun hukum daerah berbasis “content local”-nya masing-masing. Apalagi dengan keberadaan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif, maka pembangunan hukum di daerah yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa perdata seyogianya dapat memberikan ruang gerak yang lapang bagi bentuk-bentuk penyelesaian sengketa alternatif dan lembaga perdamaian yang banyak dijumpai dan dikenal di dalam masyarakat desa.
Untuk membangun hukum di daerah, dan dalam rangka terwujudnya hukum-hukum lokal (peraturan daerah dan peraturan desa serta penguatan hukum adat) yang berada dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka perlu membangun kesamaan visi dan misi pembangunan hukum di daerah dalam kerangka politik pembangunan hukum Nasional. Kesamaan visi dan misi dalam proses pembangunan hukum di daerah dengan pembangunan hukum Nasional akan membawa proses pembangunan hukum di daerah mengahasilkan hukum daerah yang “kooperatif-koordinatif” sehingga pembangunan hukum yang dilakukan di daerah dapat memberikan penguatan terhadap hukum-hukum Nasional.
Dalam rangka pembangunan hukum di daerah yang berbasis pada “content local”-nya masing-masing, maka pembangunan hukum di daerah harus diarahkan pada upaya untuk menghidupkan dan menegakkan “supremasi hukum” dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan di daerah. Dalam kaitan ini, keberadaan hukum-hukum daerah harus diarahkan pada upaya untuk menciptakan secara maksimal keadilan hukum, kepastian hukum, kemanfaatan hukum dengan sasaran utama pada pembangunan daerah yang dapat memberikan porsi lebih pada pertumbuhan ekonomi di daerah, kesejahteraan masyarakatnya, dan pemerataan kesempatan yang seimbang.
F. PENUTUP
Dalam rangka penguatan terhadap pembangunan hukum di daerah, Politik Hukum Nasional harus menempatkan pembangunan hukum di daerah sebagai salah satu prioritas dalam Program Reformasi Hukum yang harus dilakukan. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari pelaksanaan Otonomi Daerah, bahkan Otonomi Desa yang telah mendapat landasan yuridis melalui keberlakuan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 72 Tahun 2005.
Dengan diundangkannya UU No. 10 Tahun 2004, pembangunan hukum di daerah harus ditempatkan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu, pembangunan hukum di daerah seyogianya mengadopsi strategi pembangunan hukum yang kuasi-responsif sehingga dapat menghadirkan hukum daerah yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakatnya (living law) akan tetapi mengambil bentuk yang memenuhi unsur kepastian hukum (hukum positif). Oleh karena pembangunan hukum di daerah harus ditempatkan dalam wadah NKRI, maka pembangunan hukum di daerah harus melahirkan hukum daerah yang bersifat “kooperatif-koordinatif” dalam rangka singkronisasi dengan hukum Nasional yang ada.
Makassar, 2 Mei 2007
Juajir Sumardi
*) Paper ini diajukan dalam Pertemuan Nasional yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Indonesia pada bulan Mei 2007.
**) Dr. Juajir Sumardi, SH.MH. adalah staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.
[1] Studi tentang Perkembangan Politik Hukum di Indonesia telah ditulis oleh Moh. Mahfud MD dalam Disertasinya pada Program Doktor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1993, namun sejak tahun 1997 Politik Hukum Nasional mengalami perubahan yang sangat mendasar seiring dengan tuntutan Era Reformasi pasca tumbangnya rezim pemerintahan Orde Baru. Kebijakan pembangunan sentralistik yang secara faktual telah menafikan kekuatan-kekuatan daya dukung daerah dalam proses pembangunan termasuk pembangunan hukum, sejak memasuki era Reformasi digugat untuk kembali memberikan keberpihakannya kepada daerah. Keberlakuan Otonomi Daerah melalui Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan Desa merupakan wujud dari perubahan drastis dan progressif dari Politik Hukum Nasional Indonesia Pasca Orde Baru.
[2] Moh. Mahfud MD, 1993, Perkembangan Politik Hukum: Studi tentang Pengaruh Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, hal. 2.
[3] Tuntutan pembinaan dan pembangunan hukun secara terus menerus di dalam kerangka Politik Hukum Nasional harus diarahkan pada upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran dan ketertiban dalam Negara Hukum Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD-1945 dengan tujuan untuk mewujudkan tata hukum Nasional yang mengabdi pada kepentingan Nasional Indonesia.
[4] Patut disadari, sesungguhnya eksistensi hukum adalah refleksi dari kenyataan kehidupan masyarakatnya. Kehidupan hukum pada hakikatnya harus merespon kebutuhan masyarakat tempat keberlakuan hukum. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Eugen Ehrlich, bahwa hukum yang baik adalah apabila hukum tersebut dapat merespon dan sejalan dengan hukum yang hidup di tengah masyarakat. Dalam kaitan dengan iklim otonomi daerah saat ini, maka pembinaan dan pembangunan hukum Nasional tidak lagi berpijak pada konsep unifikasi hukum semata-mata, akan tetapi dapat memberikan ruang gerak bagi daerah untuk mengembangkan iklim pembangunan hukumnya melalui perangkat legislasi daerah yang merespon tingkat kebutuhan lokal masyarakat daerah.
[5] Kegagalan merealisasikan unifikasi hukum dan kodifikasi hukum perdata untuk semua golongan rakyat di Hindia Belanda tidak dapat mengabaikan jasa seorang pakar etnografi hukum dari Universitas Leiden, seorang partikularis yang gigih dan konsekuen, yaitu Cornelis van Vollenhoven, namun sebenarnya bukan semata-mata adanya pandangan Vollenhoven yang tidak berkehendak untuk mengabaikan hukum rakyat pribumi, akan tetapi memang rakyat pribumi telah menyatu dengan bangunan system hukum adatnya sehingga upaya unifikasi hukum Barat pada penduduk pribumi mengalami kegagalan. Hal ini secara bijak menunjukkan pembelajaran bagi upaya membangun sistem Hukum Nasional Indonesia yang berada dalam pluralisme budaya dan masyarakatnya.
[6] Berkaitan dengan perubahan niat untuk tidak lagi memaksakan bentuk unifikasi hukum oleh Pemerintah Kolonial Belanda dapat dilihat lebih jauh dalam uraian Soetandyo Wignyosoebroto dalam bukunya yang berjudul Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional yang diterbitkan oleh PT. Raja Grafindo Persada pada tahun 1995. Dalam buku tersebut terungkap bahwa pada tahun 1927 sebuah undang-undang ketenagakerjaan yang mencakup persoalan luas diundangkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, undang-undang ini ternyata hanya dinyatakan berlaku buat orang-orang Eropa saja, dan tidak untuk orang-orang pribumi. Dengan demikian unifikasi di bidang hukum perburuhan yang pernah diwujudkan sejak tahun 1879, maka terhitung tahun 1927 berdasarkan Pasal 131 Indische Staatsregeling lalu tidak lagi terunifikasikan.
[7] Kesulitan untuk mengangkat hukum masyarakat ke dalam substansi hukum nasional timbul bukan hanya karena keragaman hukum rakyat yang umumnya tidak terumus secara eksplisit saja, akan tetapi juga karena sistem pengelolaan hukum yang modern yang meliputi tata organisasi, prosedur-prosedur dan asas-asas doctrinal dan penegakannya telah terlanjur tercipta sepenuhnya sebagai warisan kolonial yang tidak mudah untuk dirombak begitu saja dalam waktu singkat.
[8] Seringkali dengan alasan “fungsi sosial” atas tanah sebagaimana yang tertuang di dalam Undang-Undang Pokok Agraria, hak-hak mesyarakat lokal (adat) harus terpinggirkan demi kepentingan pemerintah melalui perijinan yang diterbitkannya dengan berlindung dibalik alasan demi kepentingan “pembangunan”. Praktek perijinan terhadap pemanfaatan tanah yang diberikan oleh pemerintah pusat tanpa mengikutsertakan masyarakat adat sekitar telah memberangus hak-hak masyarakat adat, bahkan perijinan pemanfaatan tanah yang diberikan oleh pemerintah pusat tidak jarang justru memarjinalkan masyarakat adat di sekitar tanah-tanah yang dimanfaatkan, diantaranya telah menikmati kemiskinan di atas kekayaan sumberdaya alamnya sendiri.
[9] Juajir Sumardi, Hukun Sebagai Sarana Untuk Meningkatkan Produktivitas Usaha (Suatu Kajian Hukum Ekonomi), Disertasi Doktor pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar, Mei 2005, hal.227.
[10] Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana diatur bahwa materi muatan Peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan adanya muatan tentang “menampung kondisi khusus daerah”, kalimat ini dapat ditafsirkan bahwa dalam rangka memberikan perlindungan terhadap hukum adapt yang masih diikuti secara penuh oleh masyarakatnya, maka pemerintah daerah dapat membentuk peraturan daerah untuk memberikan penguatan atas keberlakuan hukum adat di daerah masing-masing.
[11] Dalam kaitan dengan hukum yang dihasilkan dari sebuah strategi pembangunan hukum, dalam retasan sejarah dikenal adanya tiga tradisi hukum yang menurut John Henry Marryman dalam bukunya berjudul The Civil Law Tradition yang diterbitkan oleh Stanford University Press California, ketiga tradisi hukum tersebut adalah (i) tradisi hukum continental (civil law), (ii) tradisi hukum adat (common law), dan (iii) tradisi hukum sosialis (socialist law). Civil law tradition dan Socialist law pada dasarnya dapat dikelompokkan hasil dari pembangunan hukum yang menggunakan strategi ortodok.
[12] Dalam tradisi hukum adat, kita dapat menyaksikan peranan substansial dari lembaga peradilan (dalam konteks Indonesia adalah lembaga penyelesaian sengketa adat) dan partisipasi luas dari berbagai kelompok social dan individu dalam menentukan arah perkembangan hukum di dalam masyarakat.
[13] Dalam kaitan dengan sistem hukum ini, Laurence M. Friedman mengemukakan bahwa dalam sebuah sistem hukum terdapat tiga sub-sistem hukum, yaitu: substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum. Untuk membangun sebuah sistem hukum maka ketiga sub sistem hukum tersebut harus mendapat porsi yang seimbang sehingga akan menghasilkan hukum yang ideal.
[14] Patut disayangkan dalam program-program yang dilakukan oleh Komisi Hukum Nasional, tampaknya pada tataran aplikasinya dirasakan belum memberikan keberpihakan bagi daerah dalam proses pengembangan dan pembangunan hukum di daerah, yang sebenarnya Pemerintah Daerah sangat membutuhkan partisipasi KHN dalam rangka mendorong akselerasi pembangunan hukum di daerah.
Jumat, 20 Februari 2009
Selamat Datang
Selamat datang di komunitas dialektika hukum. Kami akan menemani anda menikmati etalase pemikiran hukum yang berkembang di Indonesia.