abstract
The implementation of the scheme of development of law, and the most significanil to be observed is the issue of legal and cultural awareness. The issue of legal awarenwss is actually more complicated. Because the Indonesian society as a pluralistic one involving a variety of awareness both individually and collectively. Therefore, there is no single or uniform legal awareness eventhough we have to admit that as a result of the comparative study are many identical awareness in a pluralistic society. The existing identical awareness has to be utilized to form a unification law, but the differences shall not be avoided, for sometimes it is related to the foundation of a system or a sub system. In composing law, the legal awareness should proportionately in place. Considering many regulation in Indonesia. Merely based on elementary normative consideration and not lean on preparation to empirical idea.
Keywords: legal awareness, society
Abstrak
Dalam melaksanakan perencanaan hukum, yang perlu mendapatkan perhatian utama adalah masalah kesadaran hukum masyarakat dan kebudayaan masyarakat tersebut. Masalah kesadaran hukum dalam masyarakat merupakan persoalan yang sebenarnya agak rumit. Hal ini disebabkan oleh karena masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk atau pluralistik, yang mencakup pelbagai kesadaran baik yang bersifat pribadi maupun kelompok. Dengan demikian terdapat kesadaran hukum yang tidak tunggal atau seragam, meski harus diakui bahwa atas dasar studi perbandingan, terdapat bermacam-macam persamaan di dalam masyarakat majemuk tersebut. Persamaan-persamaan yang ada hendaknya dimanfaatkan untuk dapat menyusun suatu unifikasi hukum, akan tetapi perbedaan-perbedaan yang ada tidak boleh diremehkan, oleh karena tidak jarang menyangkut dasar dari sistem atau sub sistem masyarakat yang bersangkutan. Oleh karenanya dalam menyusun peraturan perundang-undangan, kesadaran hukum seyogyanya mendapat tempat yang proporsional. Hal ini perlu, mengingat bahwa banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang disusun semata-mata atas dasar pemikiran normatif dan kurang disandarkan pada pasangannya, yakni pemikiran yang empiris. Untuk itu maka diperlukan peranan kegiatan penelitian agar pemikiran normatif tersebut bisa disandingkan secara proporsional dengan pemikiran yang empiris.
kata kunci: kesadaran hukum, masyarakat
A. Pendahuluan
Pembangunan biasanya diartikan secara sederhana sebagai upaya agar suatu keadaan yang sedang dialami oleh manusia atau suatu masyarakat diubah sehingga menjadi lebih menguntungkan bagi pihak yang membangun. Tetapi harus pula dipahami pemaknaan “pembangunan” secara lebih komperhensif. Pembangunan merupakan konsep yang lahir dari pertentangan yang panjang antara ideologi Kapitalisme dan Sosialisme, sebagaimana yang diungkapkan oleh Mansour Fakih; [3]
“Persaingan antara Kapitalisme dan Sosialisme telah mengambil bentuk perang ideologi dan teori. Lebih dari lima puluh tahun yang lalu, tepatnya 20 Januari 1949, pertama kali presiden Amerika Harry S Truman melontarkan kebijakan Amerika luar negerinya, dan untuk pertama kalinya diskursus “underdevelopment” digunakan. Saat itulah konsep development secara resmi dilontarkan, dengan tujuan utama dalam rangka membendung sosialisme di Dunia Ketiga.”
Sejak itu developmentalisme, yang kemudian diterjemahkan sebagai pembangunan , digunakan sebagai suatu ideologi yang menjanjikan harapan baru bagi perubahan nasib berjuta-juta rakyat Dunia Ketiga. Selanjutnya Mansour Fakih menjelaskan bahwa yang dimaksud konsep development tidak lebih merupakan refleksi paradigma Barat tentang perubahan sosial, yakni langkah-langkah menuju “higher modernity”. Modernitas diterjemahkan dalam bentuk teknologi dan pertumbuhan ekonomi mengikuti jejak negara-negara industri yang mengacu pada revolusi industri. Pembangunan selanjutnya lebih dimaksud demi peningkatan standar hidup , dan itu hanya bisa ditempuh melalui industrialisasi. Pemerintah dalam perspektif ini adalah sebagai subyek yang tugasnya mentransformasikan rakyat menjadi objects, recipients, clients atau participant[4].
Modernisasi selanjutnya menjadi dasar developmentalisme. Kata modernisasi juga berkonotasi sekularisasi, industrialisasi, persatuan nasional serta partisipasi massa. Asumsi dasar modernisasi adalah bahwa tradisi adalah “masalah” (yang harus diselesaikan) dan harus ditransformasi, seperti apa yang dialami Eropa dulu. Teori ini menggunakan beberapa argumen. Pertama, dengan metafora pertumbuhan organisme. Pembangunan dipahami secara evolusioner berjalan dari tradisional ke modern. Semua masyarakat berangkat dari keadaan yang sama, yaitu “tradisional” dan itulah Dunia Ketiga dan akan berubah seperti dialami barat yang akhirnya menjadi “modern”. Kedua, berpendapat bahwa jika etika protestan penyebab pertumbuhan ekonomi di Barat, maka perlu dicari faktor yang sama untuk pertumbuhan ekonomi di tempat lain, yang disebut sebagai the need for achievment (N Ach). Yang mereka gambarkan sebagai prototipe dari masyarkat berprestasi pada dasarnya adalah masyarakat kapitalis. Dalam kenyataannya modernisasi dan developmentalisme tidak berbeda dengan kapitalisme.[5]
Konsep developmentalisme semacam ini tentu tidak bisa begitu saja secara mentah-mentah diadopsi untuk diterapkan di Indonesia yang mempunyai sejarah dan struktur budaya yang berbeda dengan masyarakat Barat. Oleh karena itu bila konsep ini dipaksakan untuk tetap diterapkan maka akan menimbulkan konflik-konflik yang lebih rumit lagi. Agak sulit untuk berbicara mengenai “pembangunan” terlepas dari perdebatan ideology sebagaimana dipaparkan di atas, tetapi untuk sementara, agar mempermudah pembahasan makalah ini maka “pembangunan” yang dimaksud dimaknai secara sederhana saja sebagai upaya untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik.
B. Pembangunan Hukum
Meski bermaksud untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik, pada prakteknya pembangunan mempunyai dua sisi; satu sisi berfungsi untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, sedangkan pada sisi lainnya dapat memerosotkan kualitas hidup manusia.[6] Pembangunan memberikan kontribuasi perubahan yang bermakna positif, ataupun yang bermakna negatif. Oleh karena itu diperlukan perencanaan pembangunan dalam rangka penetapan desain pembangunan, termasuk perhitungan terhadap resiko dan cara mengatasi resiko pembangunan.[7] Pembangunan hukum, haruslah dilihat secara holistik sebagai upaya sadar, sistematis, dan berkesinambungan untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang semakin maju, sejahtera, aman, dan tenteram di dalam bingkai dan landasan hukum yang adil dan pasti.[8] Proses pembangunan hukum berkaitan erat dengan (i) proses pembuatan hukum atau perangkat peraturan perundang-undangan yang memungkinkan nilai-nilai normatif yang hidup di dalam masyarakat untuk diformulasikan sedemikian rupa dan kemudian dilegitimasikan oleh kekuasaan umum menjadi norma publik (law making process), (ii) proses pelaksanaan dan penegakan (law enforcement) yang memungkinkan hukum yang dibangun dan dikembangkan menjadi hidup dan dapat bekerja secara fungsional (living law in action), dan (iii) proses pembinaan dan pembangunan kesadaran hukum masyarakat yang memungkinkan hukum dan sistem hukum yang dibangun memperoleh dukungan sosial dalam arti luas (legal awareness).[9] Dengan perkataan lain, pembangunan hukum itu secara sistemik menyangkut (a) materi hukum dan prosedur-prosedurnya, (b) institusi, termasuk aparat yang terlibat di dalamnya, mekanisme kerja institusi hukum, serta sarana dan prasarana penunjang yang diperlukan untuk itu, serta menyangkut (c) kesadaran hukum dan budaya hukum masyarakat yang menjadi subyek hukum yang bersangkutan.[10]
Menurut Lily Rosyidi, komponen-komponen sistem hukum adalah:[11]
(1) masyarakat hukum, adalah himpunan berbagai kesatuan hukum (legal unity) yang satu sama lain terikat dalam suatu hubungan yang teratur. Kesatuan hukum yang membentuk masyarakat hukum itu dapat berupa individu, kelompok, organisasi atau badan hukum negara, dan kesatuan-kesatuan lainnya. Sedangkan alat yang dipergunakan untuk mengatur hubungan antar kesatuan hukum itu disebut hukum, yaitu kesatuan sistem hukum yang tersusun atas berbagai komponen. Pengertian ini merupakan refleksi dari kondisi obyektif berbagai kelas masyarakat hukum, yang secara umum dapat diklasifikasikan atas tiga golongan utama, yaitu: (a) masyarakat sederhana, (b) masyarakat negara, (c) masyarakat internasional.
(2) budaya hukum,
Istilah budaya hukum dalam bagian ini digunakan untuk menunjuk tradisi hukum yang digunakan untuk mengatur kehidupan suatu masyarakat hukum. Dalam masyarakat hukum yang sederhana, kehidupan masyarakat terikat ketat oleh solidaritas mekanis, persamaan kepentingan dan kesadaran, sehingga masyarakat lebih menyerupai suatu keluarga besar, maka hukum cenderung berbentuk tidak tertulis.
Bentuk hukum ini dikenal sebagai budaya hukum tidak tertulis (unwritten law) dan terdapat dalam masyarakat-masyarakat tradisional seperti pada masyarakat Anglo Saxon, Britania, dan masyarakat-masyarakat tradisional lainnya, seperti pada masyarakat eskimo, indian, dan masyarakat hukum adat di Indonesia.
Budaya hukum ini yang lebih dipandang sebagai budaya masyarakat Anglo Saxon, kemudian ditransformasi ke dalam bentuk hukum kebiasaan (customary law) atau kebiasaan hukum (legal customs). Dalam perkembangannya, budaya hukum Anglo Saxon berkembang menjadi tradisi common law, yang kemudian menjadi salah satu dari tradisi hukum besar dunia. Sedangkan hukum kebiasaan tetap ada dan berkembang dalam masyarakat-masyarakat sederhana.
Disamping itu ada budaya hukum tertulis. Pada mulanya budaya ini dianut oleh bangsa Prancis, dan masyarakat Eropa Kontinental pada umumnya, tetapi kemudian menyebar ke seluruh dunia dengan nama civil law system.
(3) Filsafat hukum
Umumnya diartikan sebagai hasil pemikiran yang mendalam tentang hukum. Diartikan juga sebagai nilai hukum yang dianut oleh suatu masyarakat hukum.
(4) Ilmu hukum,
Ilmu hukum dijabarkan sebagai pengujian, dan pengembangan teori-teori hukum yang berasal dari komponen filsafat hukum.
(5) konsep hukum,
Diartikan sebagai garis-garis dasar kebijaksanaan hukum yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum, yang pada hakekatnya merupakan pernyataan sikap suatu masyarakat hukum terhadap berbagai pilihan tradisi atau budaya hukum, filsafat atau teori hukum, design pembentukan, dan penyelenggaraan hukum yang hendak dipilihnya.
(6) pembentukan hukum,
Pembentukan hukum sangat ditentukan oleh konsep hukum yang dianut oleh suatu masyarakat hukum, serta oleh kualitas pembentuknya. Proses ini berbeda pada setiap kelas masyarakat.
(7) bentuk hukum,
Merupakan hasil dari proses pembentukan hukum. Secara umum diklasifikasikan dalam 2 golongan; tertulis dan tidak tertulis.
(8) penerapan hukum,
Meliputi 3 komponen utama, yaitu komponen hukum yang akan diterapkan, institusi yang akan menerapkannya, dan personil dari institusi penyelenggara ini. Umumnya meliputi lembaga-lembaga administratif dan judiciil.
(9) evalusi hukum.
Komponen ini merupakan konsekuensi dari pandangan ahli-ahli hukum Utilitarianis yang menyatakan bahwa kualitas hukum baru dapat diketahui setelah hukum itu diterapkan. Hukum yang buruk akan mengakibatkan akibat-akibat yang buruk. Dan hukum yang baik akan melahirkan akibat-akibat yang baik.
C. Perencanaan Pembangunan Hukum Secara Sistemik
Pada dasarnya hukum nasional adalah suatu system[12] yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen atau fungsi/variabel yang selalu pengaruh-mempengaruhi, terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas dan berinteraksi. Asas utama yang mengaitkan semua unsur atau komponen hukum nasional itu ialah Pancasila dan UUD 1945, di samping sejumlah asas-asas hukum yang lain, yang berlaku lokal, atau berlaku di dalam dan bagi disiplin hukum tertentu. Semua unsur/ komponen/ fungsi/ variabel itu terpaut dan terorganisasi menurut suatu struktur atau pola yang tertentu, sehingga senantiasa saling pengaruh mempengaruhi dan berinteraksi.
Untuk melaksanakan pembangunan dan pembaharuan hukum –yang merupakan suatu sistem- diperlukan perencanaan.[13] Perencanaan merupakan unsur manajemen yang sangat penting dalam mengelola organisasi[14]. Perencanaan merupakan suatu perumusan dari persoalan-persoalan tentang apa dan bagaimana suatu pekerjaan hendak dilaksanakan.[15] Perencanaan juga merupakan suatu persiapan (preparation) untuk tindakan-tindakan kemudian.[16] Perencanaan meliputi hal-hal yang akan dicapai, yang kemudian memberikan pedoman, garis-garis besar tentang apa yang akan dituju.[17]
Kekhususan sifat perencanaan ialah dominannya fungsi perencanaan untuk keberhasilan seluruh manajemen. Menurut pandangan politis strategis, jika keseluruhan manajemen mempunyai nilai strategis, dengan sendirinya perencanaan sebagai bagiannya tentunya juga mempunyai sifat dan strategis.[18] Dan bila perencanaan sebagai langkah awal manajemen, bernilai strategis, besar harapan bahwa keseluruhan manajemen akan bernilai strategis pula. Ini bermakna bahwa konsep dan upaya pengerahan dan pengarahan potensi dan sumberdaya ke dalam jalur kegiatan untuk mencapai tujuan harus direncanakan dengan konsisten. Menerapkan perencanaan strategis dalam kerangka kebijaksanaan politik pembangunan nasional, berarti menerapkan prinsip-prinsip manajemen dalam kegiatan perencanaan hukum itu melalui pendekatan sistem. Pada intinya merencanakan berarti mengambil keputusan tentang hal-hal yang akan dilakukan di masa depan dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Artinya, orientasi waktu perencanaan adalah masa depan yang secara implisit berarti proses perencanaan harus memperhitungkan faktor ketidakpastian yang akan dihadapi serta ketelitian melakukan analisis. Analisis yang dilakukan meliputi:[19]
1. Apa yang akan dikerjakan dan mengapa;
2. Dimana kegiatan tertentu akan dilaksanakan dan mengapa;
3. Waktu yang paling tepat untuk melaksanakan kegiatan terntentu dan apa alasannya;
4. Siapa yang paling tepat untuk melaksanakan dan dengan alasan apa;
5. Cara yang paling efisien untuk menyelenggarakan semua jenis kegiatan yang harus dilaksanakan berdasarkan pertimbangan apa.
Analisa yang demikian ini hanya mungkin dilakukan dengan terlebih dulu melakukan penelitian yang mendalam terhadap hal-hal yang dipertanyakan di atas.
Di dalam suatu masyarakat hukum, fungsi perencanaan dan penanggulangan itu dilakukan dengan memanfaatkan hukum;[20] Hal ini disebabkan karena;[21] pertama, hukum merupakan hasil penjelajahan ide dan pengalaman manusia dalam mengatur hidupnya. Hukum merupakan bentuk pengaturan kehidupan manusia yang paling tua, yang pada abad ke-20 telah diyakini sebagai design dan pengaturan hidup yang paling modern dan representatif. Hampir tidak terdapat satupun negara yang tidak berbentuk negara hukum.
Kedua, terbawa oleh hakekat pengadaan dan keberadaan hukum dalam suatu masyarakat, terutama untuk mengatur kehidupan masyarakat. Termasuk di dalamnya pengaturan terhadap perubahan yang terjadi atau yang hendak dilakukan oleh masyarakat.
Ketiga, fungsi mengatur itu telah didukung oleh potensi dasar yang terkandung dalam hukum, yang melampaui fungsi mengatur, yaitu juga berfungsi sebagai pemberi kepastian, pengaman, pelindung, dan penyeimbang, yang sifatnya dapat tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. Potensi hukum ini terdapat pada dua dimensi utama dari fungsi hukum, yaitu fungsi preventif dan represif. Preventif adalah fungsi pencegahan, fungsi ini dituangkan dalam bentuk pengaturan pencegahan (prevention regulation) yang hakekatnya merupakan design dari setiap tindakan yang hendak dilakukan oleh masyarakat. Design ini meliputi seluruh aspek tindakan manusia, termasuk resiko, dan pengaturan prediktif terhadap bentuk penanggulangan resiko itu. Sedangkan represif adalah fungsi penanggulangan. Fungsi ini dituangkan dalam bentuk penyelesaian sengketa atau pemulihan terhadap kerusakan keadaan yang diakibatkan oleh resiko tindakan yang terlebih dahulu telah ditetapkan dalam perencanaan tindakan itu. Dimensi fungsi ini menunjukkan bahwa hukum merupakan instrumen yang tidak hanya potensial untuk mengatur dan menjaga harmonisasi kehidupan masyarakat, melainkan juga potensial untuk merekayasa masyarakat.
Keempat, dalam isu pembangunan global itu hukum telah dipercaya untuk mengemban misinya yang paling baru, yaitu sebagai sarana perubahan sosial atau sarana pembangunan. Kepercayaan ini didasarkan pada hakekat dan potensi hukum sebagai inti kehidupan masyarakat.
Fungsi baru itu berarti perkembangan dan beban baru bagi hukum. Rasio pembangunan hukum itu terletak dalam perspektif ini. Untuk mengemban fungsi barunya, hukum membutuhkan peningkatan kapasitas dalam bentuk pembangunan dan pembaharuan terhadapnya. Pembangunan dan pembaharuan ini dapat berbentuk rekonstruksi, intensifikasi fungsi, atau pengembangan fungsi. Rekonstruksi itu dapat berbentuk penggantian, penataan, pengelolaan dan pengembangan hukum.[22] Penggantian hukum dilakukan terhadap hukum yang telah kekurangan atau kehabisan daya dukungannya. Penataan hukum dilakukan terhadap hukum yang berada dalam kondisi mis-koordinasi, berbatas substansi tidak jelas, atau yang bertumpang tindih fungsi dan substansi. Pengelolaan hukum dilakukan terhadap hukum yang daya dukungnya telah memadai dan pengembangan hukum dilakukan terhadap hukum yang daya dukungnya telah baik, berdasarkan kebutuhan kondisi. Hal penting yang perlu ditegaskan dalam kaitan dengan pembahasan terakhir ini adalah bahwa makna hukum ditempatkan tidak hanya pada makna hukum normatif, melainkan terutama dalam konteks makna hukum sebagai suatu sistem.[23]
Hukum sebagai sarana perubahan sosial dan sarana pembangunan ini kemudian berkembang lebih jauh dengan melihat bahwa sebelumnya hukum harus mampu menjadi sarana perubahan bagi birokrasi sebagai kaki tangan utama pembangunan. Konsep ini dikenal dengan konsep hukum sebagai “bureucratic and social engineering”. Konsep hukum “Beureucratic and Social Engineering” harus diartikan penyelenggara birokrasi memberikan dan melaksanakan keteladanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan diharapkan masyarakat mematuhi dan mengikuti langkah-langkah penyelenggara birokrasi tersebut.[24] Hal ini dapat dilaksanakan secara efektif jika penyelenggara birokrasi telah memahami fungsi dan peranan serta posisi hukum sebagaimana berikut:[25]
1. Hukum dipandang bukan sebagai perangkat yang harus dipatuhi oleh masyarakat saja melainkan juga harus dipandang sebagai sarana yang harus dapat membatasi perilaku aparat penegak hukum dan pejabat publik;
2. Hukum bukan hanya diakui sebagai a tool of social engineering semata-mata tetapi juga harus diakui sebagai a tool of social control and beureucratic engineering;
3. Kegunaan atau kemanfaatan hukum tidak lagi hanya dilihat dari kacamata kepentingan pemegang kekuasaan melainkan harus juga dikaji dari prospektif dan perspektif kepentingan stakeholder;
4. Fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan sosial dan birokrasi dalam kondisi masyarakat yang bersifat vulnerable dan transitional, tidak dapat dilaksanakan secara optimal hanya menggunakan pendekatan preventif dan represif semata-mata melainkan juga memerlukan pendekatan restoratif, dan rehabilitatif;
5. Agar fungsi dan peranan hukum dapat dilaksanakan secara optimal maka hukum tidak semata-mata dipandang sebagai wujud dari komitmen politik, melainkan harus dipandang sebagai sarana untuk merubah sikap (attitude) dan perilaku (behavior).
Telah menjadi anggapan umum sekarang ini, bahwa hukum itu terdapat di seluruh dunia, asal ada masyarakat manusia, seperti adegium “ubi societas, ibi ius”.[26] Dalam masyarakat yang sederhana, hukum yang dibutuhkan masih sederhana, karena kebutuhannya masih sederhana. Tetapi dalam masyarakat modern hukumnya pun harus lebih sempurna, mengingat kebutuhannya yang semakin beraneka ragam.[27] Masyarakat ini tidaklah statis, tetapi terus-menerus berkembang, sehingga hukum pun harus terus-menerus dikembangkan dan diperbaharui sesuai dengan perkembangan masyarakat. Hukum adalah sistem norma yang dinamis.[28]
Dalam era global seperti sekarang ini misalnya, pembangunan hukum nasional tidak lagi dapat melepaskan diri dari pengaruh sekelilingnya[29]. Pengaruh itu dapat berasal dari sistem hukum yang ada di seluruh dunia maupun fenomena sosiologis yang terjadi. Persoalannya adalah bagaimana membangun hukum yang berstruktur sosial Indonesia tanpa meninggalkan trends globalisasi yang melingkupinya.[30]
Pemikiran tentang pembaharuan hukum ini terutama bergantung pada konservatif atau tidaknya golongan yang berkuasa.[31] Negara-negara otokratis yang dikuasai oleh golongan yang ekslusif cenderung untuk menolak perubahan dan hanya melihat hukum sebagai sarana untuk menjaga keamanan dan ketertiban, sementara negara-negara maju yang telah mencapai suatu keseimbangan dalam kehidupan politik, ekonomi dan kemasyarakatan juga akan cenderung untuk konservatif dalam pemikirannya tentang hukum.[32] Hal ini juga akan berpengaruh pada politik hukum yang akan dijalankan[33]. Secara sederhana pertentangan antara dua konsepsi pemikiran hukum merupakan pertentangan antara legisme (termasuk aliran positivisme) dan aliran mazhab sejarah.[34]
Aliran legisme menyamakan hukum dengan undang-undang dan menyangka bahwa segala pembuatan hukum (termasuk pebaharuannya) dapat begitu saja dilakukan dengan undang-undang. Sebaliknya, mahzab sejarah menentang perundang-undangan (legislation) sebagai suatu cara untuk membuat (dan memperbaharui) hukum karena hukum itu tidak mungkin dibuat, melainkan (harus) tumbuh sendiri dari kesadaran hukum masyarakat.[35]
Namun sebenarnya pertentangan ini bisa didamaikan dengan mengakomodasi keduanya. Artinya, Indonesia yang sudah terlanjur menganut sistem hukum civil law, yang berarti lebih menekankan hukum sebagai undang-undang, selayaknya melakukan pembaharuan hukum lewat pembaharuan peraturan perundang-undangan (termasuk undang-undang). Hanya saja pembaharuan peraturan perundang-undangan ini harus memperhatikan kesadaran hukum masyarakat.
Di dalam dunia pemikiran (atau filsafat) hukum, sikap ini dianjurkan oleh Eugen Erlich, pemuka dari aliran Sociological Jurisprudence.[36] Yang menjadi konsepsi dasar dari pemikirannya di bidang hukum adalah apa yang ia namakan sebagai living law. Hukum positif yang baik (dan karenanya efektif) adalah hukum yang sesuai dengan living law yang merupakan inner order dari masyarakat yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya.
D. Penutup
Dalam melaksanakan perencanaan hukum, yang perlu mendapatkan perhatian utama adalah masalah kesadaran hukum masyarakat dan kebudayaan masyarakat tersebut. Masalah kesadaran hukum dalam masyarakat merupakan persoalan yang sebenarnya agak rumit. Hal ini disebabkan oleh karena masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk atau pluralistik, yang mencakup pelbagai kesadaran baik yang bersifat pribadi maupun kelompok.[37] Dengan demikian terdapat kesadaran hukum yang tidak tunggal atau seragam, meski harus diakui bahwa atas dasar studi perbandingan, terdapat bermacam-macam persamaan di dalam masyarakat majemuk tersebut.[38]
Persamaan-persamaan yang ada hendaknya dimanfaatkan untuk dapat menyusun suatu unifikasi hukum, akan tetapi perbedaan-perbedaan yang ada tidak boleh diremehkan, oleh karena tidak jarang menyangkut dasar dari sistem atau sub sistem masyarakat yang bersangkutan. Oleh karenanya dalam menyusun peraturan perundang-undangan, kesadaran hukum seyogyanya mendapat tempat yang proporsional. Hal ini perlu, mengingat bahwa banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang disusun semata-mata atas dasar pemikiran normatif dan kurang disandarkan pada pasangannya, yakni pemikiran yang empiris.[39] Untuk itu maka diperlukan peranan kegiatan penelitian agar pemikiran normatif[40] tersebut bisa disandingkan secara proporsional dengan pemikiran yang empiris.[41]
Teori hukum idealistis mengemukakan bahwa apabila ingin diketahui ada dan berkembangnya hukum di tengah masyarakat, maka yang pertama kali harus dipahami adalah kebudayaan dari masyarakat tersebut, sehingga menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara nilai, norma, dan hukum.[42] Banyak ahli yang berpendapat bahwa hukum akan terdapat di tengah masyarakat yang berbudaya. Oleh karena itu Kohler menunjukkan bahwa (law is considered) (a) as to the past a product of civilization; (b) as the present as a means of maintaining civilization; (c) as the future as a means of furthering civilization.[43]
Pembuatan peraturan perundang-undangan (legislasi), dalam rangka pembangunan dan pembaharuan hukum, merupakan tugas yang tidak mudah, bahkan sulit dan berat karena program yang akan disusun itu akan turut menentukan kehidupan seluruh bangsa di masa sekarang juga di masa depan. Oleh karenanya maka perlu dilakukan perencanaan yang matang dalam memulai proses ini, meski pembaharuan hukum itu tidak seluruhnya dapat direncanakan.[44] Perencanaan yang matang dapat diwujudkan dengan terlebih dulu melakukan penelitian yang mendalam terhadap permasalahan yang ingin diselesaikan sehingga dapat diketahui apakah suatu ketentuan hukum yang sudah ada atau ketentuan hukum yang akan dibuat sesuai atau tidak dengan kesadaran hukum masyarakat.
Dalam melakukan penelitian sosiologis dikenal beberapa jenis penelitian, yaitu:[45] pertama, penelitian murni, bertujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan secara teoritis; kedua, penelitian yang terpusatkan pada masalah, bertujuan untuk memecahkan masalah yang timbul dalam perkembangan teori; ketiga, penelitian terapan, yang bertujuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat atau pemerintah.
Dalam pembaharuan hukum, jenis penelitian terapan merupakan jenis penelitian yang sering dijadikan sebagai pilihan diantara jenis-jenis penelitian yang lain. Namun demikian, selain jenis-jenis penelitian di atas, masih banyak sekali jenis-jenis penelitian yang ada dan biasa digunakan, yang terbagi-bagi menurut bidang yang diteliti, kegunaan, maupun metodenya.[46] Tetapi tidak akan diperdebatkan di sini tentang jenis penelitian mana yang paling tepat karena penelitian yang dilakukan biasanya merupakan kombinasi dari berbagai jenis penelitian dan metode penelitian. Metode-metode penelitain yang dikombinasikan itu tergantung pada:[47] subyek penelitian (materi penelitian), tujuan penelitian, besar kecilnya dana penelitian, sarana penelitian yang tersedia, tenaga peneliti yang tersedia, waktu yang tersedia dan lingkungan/tempat penelitian dilakukan.
Penelitian hukum untuk menyusun suatu naskah akademik RUU, atau penyusunan RUU dan untuk menemukan kebijaksanaan apa yang diperlukan untuk pembangunan, atau untuk perencanaan hukum harus merupakan penelitian interdisipliner agar benar-benar berbobot dan hasilnya dapat dilaksanakan.
Setelah dilakukan penelitian, maka akan dapat diinventarisir berbagai permasalahan dan berbagai alternatif penyelesaiannya yang digali dari kesadaran hukum masyarakat. Ini merupakan data yang bisa dipakai untuk membuat suatu perencanaan pembaharuan hukum yang aspiratif dan pada akhirnya akan membentuk produk hukum yang responsif.[48] Namun demikian, oleh karena masyarakat kita berubah dengan cepat -minimal dalam lima tahun terjadi perubahan yang signifikan- maka kita juga harus memperhatikan nilai-nilai dan kebutuhan masyarakat di masa yang akan datang (futurologi) sebagaimana yang dikatakan oleh August Comte, “savoir pour previor, previor pour prevenir”.[49]
[1] Tulisan ini diambil dari Jurnal Hukum PropatriaVol.II No.2 September 2008 – Februari 2009
[2] Dosen Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
[3] Mansour Fakih, Tinjauan Kritis Terhadap Revolusi Hijau, dalam Hatta Sunanto et.all, Menggeser Pembangunan Memperkuat Rakyat, Emansipasi dan Demokrasi Mulai dari Desa, (Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2000), hal 4
[4] ibid
[5] ibid
[6] Lili Rasjidi dan IB Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju, 2003) hal.178
[7] ibid
[8] Jimly Asshiddiqie, Agenda Pembangunan Hukum Nasional Di Abad Globalisasi, (Jakarta: PT Balai Pustaka, 1998) hal.28
[9] ibid, hal.29-30
[10] ibid
[11] Lili Rasjidi dan IB Wyasa Putra, opcit hal. 152-167
[12] BPHN, Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional Serta Rencana Pembangunan Hukum Jangka Panjang, (Jakarta: BPHN, 1995/1996) hal.19
[13] Dalam UU No.25 Tahun 2004 pada pasal 1 angka 1, perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
[14] George R Terry merumuskan elemen-elemen manajemen adalah; planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), actuating (penggerakan), dan controlling (pengendalian/pengawasan). Lebih jauh tentang ini bisa dilihat di Maringan Masri Simbolon, Dasar-dasar Administrasi dan Manajemen, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hal.36.
[15] ibid
[16] ibid
[17] ibid
[18] BPHN, Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional Serta Rencana Pembangunan Hukum Jangka Panjang, op.cit, hal.111
[19]Sondang Siagian, Manajemen Abad 21, (Jakarta: Bumi Aksara, 1998) hal. 130
[20] Lili Rasjidi dan IB Wyasa Putra, op.cit
[21] ibid
[22] ibid
[23]Komponen-komponen sistem hukum adalah; (1) masyarakat hukum, (2) budaya hukum, (3) filsafat hukum, (4) ilmu hukum, (5) konsep hukum, (6) pembentukan hukum, (7) bentuk hukum, (8) penerapan hukum, (9) evalusi hukum. Lebih jauh tentang ini lihat Lili Rasjidi, ibid. hal. 152-167
[24] Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, (Jakarta: Prenada Media, 2003) hal.20-21
[25] ibid
[26] Sunaryati Hartono, Tentang Cara-cara Pembentukan Hukum, Dalam, Himpunan Bahan Penataran Latihan Tenaga Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan, tanggal 1 s/d 20 Juni 1981, (Jakarta: BPHN, 1982) hal. 122
[27] ibid
[28] Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, diterjemahkan oleh Somardi, (Jakarta: Rimdi Press, 1995) hal.115.
[29] Anthony Giddens bahkan menyebut era global ini dengan “pemerintahan global”, karena ia melihat mulai sangat besarnya pengaruh dari lembaga-lembaga dunia seperti PBB, IMF dan World Bank. Di samping itu pembentukan Uni Eropa mengindikasikan makin menguatnya kemungkinan untuk terciptanya pemerintahan global. Lebih jauh tentang ini lihat Anthony Giddens, The Third Way, Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, diterjemahkan oleh Ketut Arya Mahardika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002) hal.168
[30] Zudan Arif Fakrullah, Membangun Hukum Yang Berstruktur Sosial Indonesia Dalam Kancah Trends Globalisasi, Dalam Wajah Hukum Di Era Reformasi: Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 70 Tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., (Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 2000) hal.51
[31] C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1991) hal.82
[32] ibid
[33] Menurut Satjipto Raharjo, politik hukum yaitu adanya keharusan untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan maupun cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan tersebut. Lihat Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1986) hal. 34. Padmo Wahyono mengartikan politik hukum sebagai suatu kebijaksanaan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Lihat Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasar Atas Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986) hal. 60. Sedangkan menurut Teuku Mohamad Radie, politik hukum adalah pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai kemana hukum hendak dikembangkan. Lihat Tunggul Anshari Setia Negara, Politik Hukum Nasional Terhadap Hukum Administrasi Negara, dalam S.F. Marbun (ed), Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2001) hal.162
[34] Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung: Alumni, 2002) hal.77
[35] ibid
[36]ibid, hal.78
[37] Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum Dalam Masyarakat, Dalam, Himpunan Bahan Penataran Latihan Tenaga Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan, tanggal 1 s/d 20 Juni 1981, (Jakarta: BPHN, 1982) hal. 285
[38] ibid, hal.286
[39] ibid
[40] Pemikiran normatif adalah pemikiran yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Pemikiran normatif didasarkan pada penelitian yang mencakup (1)asas-asas hukum, (2) sistematik hukum, (3) taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal, (4)perbandingan hukum, (5)sejarah hukum. Lebih jauh tentang ini lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, edisi 1, cet.v, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hal,13-14. Lihat juga Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di Dalam Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979) hal.15
[41]Pemikiran empiris adalah pemikiran yang dilakukan dengan cara meneliti data-data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari masyarakat. Pemikiran empiris ini disebut juga pemikiran sosiologis. Lebih jauh tentang ini lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, ibid
[42] Hermayulis, Terbentuknya Hukum: Suatu Pemikiran Dalam Reformasi Hukum Di Indonesia, dalam, EKM Masinambow (editor), Hukum dan Kemajuan Budaya: Sumbangan Karangan Untuk Menyambut Ulang Tahun ke-70 Prof. DR. T.O. Ihromi, edisi ke-2, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003) hal. 88-89
[43] ibid
[44] Sunaryati Hartono, Penyusunan Perundang-undangan Dalam Repelita III, Dalam, Himpunan Bahan Penataran Latihan Tenaga Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan, tanggal 1 s/d 20 Juni 1981, (Jakarta: BPHN, 1982) hal. 102
[45] ibid, hal.457
[46] berbagai jenis penelitian ini bisa dilihat dari berbagai buku tentang metodologi penelitian.
[47] C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Alumni, 1994) hal.121
[48] Nonet-Selznick membagi beberapa tipe hukum, yaitu; Hukum Represif, Hukum Otonom, dan Hukum Responsif. Lebih jauh tentang ini baca Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif: Pilihan Di Masa Tranasisi, (Jakarta: HuMa, 2003) hal.23, 43 dan 59.
[49] C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Alumni, 1994) hal.103
A. Pendahuluan
Pembangunan biasanya diartikan secara sederhana sebagai upaya agar suatu keadaan yang sedang dialami oleh manusia atau suatu masyarakat diubah sehingga menjadi lebih menguntungkan bagi pihak yang membangun. Tetapi harus pula dipahami pemaknaan “pembangunan” secara lebih komperhensif. Pembangunan merupakan konsep yang lahir dari pertentangan yang panjang antara ideologi Kapitalisme dan Sosialisme, sebagaimana yang diungkapkan oleh Mansour Fakih; [3]
“Persaingan antara Kapitalisme dan Sosialisme telah mengambil bentuk perang ideologi dan teori. Lebih dari lima puluh tahun yang lalu, tepatnya 20 Januari 1949, pertama kali presiden Amerika Harry S Truman melontarkan kebijakan Amerika luar negerinya, dan untuk pertama kalinya diskursus “underdevelopment” digunakan. Saat itulah konsep development secara resmi dilontarkan, dengan tujuan utama dalam rangka membendung sosialisme di Dunia Ketiga.”
Sejak itu developmentalisme, yang kemudian diterjemahkan sebagai pembangunan , digunakan sebagai suatu ideologi yang menjanjikan harapan baru bagi perubahan nasib berjuta-juta rakyat Dunia Ketiga. Selanjutnya Mansour Fakih menjelaskan bahwa yang dimaksud konsep development tidak lebih merupakan refleksi paradigma Barat tentang perubahan sosial, yakni langkah-langkah menuju “higher modernity”. Modernitas diterjemahkan dalam bentuk teknologi dan pertumbuhan ekonomi mengikuti jejak negara-negara industri yang mengacu pada revolusi industri. Pembangunan selanjutnya lebih dimaksud demi peningkatan standar hidup , dan itu hanya bisa ditempuh melalui industrialisasi. Pemerintah dalam perspektif ini adalah sebagai subyek yang tugasnya mentransformasikan rakyat menjadi objects, recipients, clients atau participant[4].
Modernisasi selanjutnya menjadi dasar developmentalisme. Kata modernisasi juga berkonotasi sekularisasi, industrialisasi, persatuan nasional serta partisipasi massa. Asumsi dasar modernisasi adalah bahwa tradisi adalah “masalah” (yang harus diselesaikan) dan harus ditransformasi, seperti apa yang dialami Eropa dulu. Teori ini menggunakan beberapa argumen. Pertama, dengan metafora pertumbuhan organisme. Pembangunan dipahami secara evolusioner berjalan dari tradisional ke modern. Semua masyarakat berangkat dari keadaan yang sama, yaitu “tradisional” dan itulah Dunia Ketiga dan akan berubah seperti dialami barat yang akhirnya menjadi “modern”. Kedua, berpendapat bahwa jika etika protestan penyebab pertumbuhan ekonomi di Barat, maka perlu dicari faktor yang sama untuk pertumbuhan ekonomi di tempat lain, yang disebut sebagai the need for achievment (N Ach). Yang mereka gambarkan sebagai prototipe dari masyarkat berprestasi pada dasarnya adalah masyarakat kapitalis. Dalam kenyataannya modernisasi dan developmentalisme tidak berbeda dengan kapitalisme.[5]
Konsep developmentalisme semacam ini tentu tidak bisa begitu saja secara mentah-mentah diadopsi untuk diterapkan di Indonesia yang mempunyai sejarah dan struktur budaya yang berbeda dengan masyarakat Barat. Oleh karena itu bila konsep ini dipaksakan untuk tetap diterapkan maka akan menimbulkan konflik-konflik yang lebih rumit lagi. Agak sulit untuk berbicara mengenai “pembangunan” terlepas dari perdebatan ideology sebagaimana dipaparkan di atas, tetapi untuk sementara, agar mempermudah pembahasan makalah ini maka “pembangunan” yang dimaksud dimaknai secara sederhana saja sebagai upaya untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik.
B. Pembangunan Hukum
Meski bermaksud untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik, pada prakteknya pembangunan mempunyai dua sisi; satu sisi berfungsi untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, sedangkan pada sisi lainnya dapat memerosotkan kualitas hidup manusia.[6] Pembangunan memberikan kontribuasi perubahan yang bermakna positif, ataupun yang bermakna negatif. Oleh karena itu diperlukan perencanaan pembangunan dalam rangka penetapan desain pembangunan, termasuk perhitungan terhadap resiko dan cara mengatasi resiko pembangunan.[7] Pembangunan hukum, haruslah dilihat secara holistik sebagai upaya sadar, sistematis, dan berkesinambungan untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang semakin maju, sejahtera, aman, dan tenteram di dalam bingkai dan landasan hukum yang adil dan pasti.[8] Proses pembangunan hukum berkaitan erat dengan (i) proses pembuatan hukum atau perangkat peraturan perundang-undangan yang memungkinkan nilai-nilai normatif yang hidup di dalam masyarakat untuk diformulasikan sedemikian rupa dan kemudian dilegitimasikan oleh kekuasaan umum menjadi norma publik (law making process), (ii) proses pelaksanaan dan penegakan (law enforcement) yang memungkinkan hukum yang dibangun dan dikembangkan menjadi hidup dan dapat bekerja secara fungsional (living law in action), dan (iii) proses pembinaan dan pembangunan kesadaran hukum masyarakat yang memungkinkan hukum dan sistem hukum yang dibangun memperoleh dukungan sosial dalam arti luas (legal awareness).[9] Dengan perkataan lain, pembangunan hukum itu secara sistemik menyangkut (a) materi hukum dan prosedur-prosedurnya, (b) institusi, termasuk aparat yang terlibat di dalamnya, mekanisme kerja institusi hukum, serta sarana dan prasarana penunjang yang diperlukan untuk itu, serta menyangkut (c) kesadaran hukum dan budaya hukum masyarakat yang menjadi subyek hukum yang bersangkutan.[10]
Menurut Lily Rosyidi, komponen-komponen sistem hukum adalah:[11]
(1) masyarakat hukum, adalah himpunan berbagai kesatuan hukum (legal unity) yang satu sama lain terikat dalam suatu hubungan yang teratur. Kesatuan hukum yang membentuk masyarakat hukum itu dapat berupa individu, kelompok, organisasi atau badan hukum negara, dan kesatuan-kesatuan lainnya. Sedangkan alat yang dipergunakan untuk mengatur hubungan antar kesatuan hukum itu disebut hukum, yaitu kesatuan sistem hukum yang tersusun atas berbagai komponen. Pengertian ini merupakan refleksi dari kondisi obyektif berbagai kelas masyarakat hukum, yang secara umum dapat diklasifikasikan atas tiga golongan utama, yaitu: (a) masyarakat sederhana, (b) masyarakat negara, (c) masyarakat internasional.
(2) budaya hukum,
Istilah budaya hukum dalam bagian ini digunakan untuk menunjuk tradisi hukum yang digunakan untuk mengatur kehidupan suatu masyarakat hukum. Dalam masyarakat hukum yang sederhana, kehidupan masyarakat terikat ketat oleh solidaritas mekanis, persamaan kepentingan dan kesadaran, sehingga masyarakat lebih menyerupai suatu keluarga besar, maka hukum cenderung berbentuk tidak tertulis.
Bentuk hukum ini dikenal sebagai budaya hukum tidak tertulis (unwritten law) dan terdapat dalam masyarakat-masyarakat tradisional seperti pada masyarakat Anglo Saxon, Britania, dan masyarakat-masyarakat tradisional lainnya, seperti pada masyarakat eskimo, indian, dan masyarakat hukum adat di Indonesia.
Budaya hukum ini yang lebih dipandang sebagai budaya masyarakat Anglo Saxon, kemudian ditransformasi ke dalam bentuk hukum kebiasaan (customary law) atau kebiasaan hukum (legal customs). Dalam perkembangannya, budaya hukum Anglo Saxon berkembang menjadi tradisi common law, yang kemudian menjadi salah satu dari tradisi hukum besar dunia. Sedangkan hukum kebiasaan tetap ada dan berkembang dalam masyarakat-masyarakat sederhana.
Disamping itu ada budaya hukum tertulis. Pada mulanya budaya ini dianut oleh bangsa Prancis, dan masyarakat Eropa Kontinental pada umumnya, tetapi kemudian menyebar ke seluruh dunia dengan nama civil law system.
(3) Filsafat hukum
Umumnya diartikan sebagai hasil pemikiran yang mendalam tentang hukum. Diartikan juga sebagai nilai hukum yang dianut oleh suatu masyarakat hukum.
(4) Ilmu hukum,
Ilmu hukum dijabarkan sebagai pengujian, dan pengembangan teori-teori hukum yang berasal dari komponen filsafat hukum.
(5) konsep hukum,
Diartikan sebagai garis-garis dasar kebijaksanaan hukum yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum, yang pada hakekatnya merupakan pernyataan sikap suatu masyarakat hukum terhadap berbagai pilihan tradisi atau budaya hukum, filsafat atau teori hukum, design pembentukan, dan penyelenggaraan hukum yang hendak dipilihnya.
(6) pembentukan hukum,
Pembentukan hukum sangat ditentukan oleh konsep hukum yang dianut oleh suatu masyarakat hukum, serta oleh kualitas pembentuknya. Proses ini berbeda pada setiap kelas masyarakat.
(7) bentuk hukum,
Merupakan hasil dari proses pembentukan hukum. Secara umum diklasifikasikan dalam 2 golongan; tertulis dan tidak tertulis.
(8) penerapan hukum,
Meliputi 3 komponen utama, yaitu komponen hukum yang akan diterapkan, institusi yang akan menerapkannya, dan personil dari institusi penyelenggara ini. Umumnya meliputi lembaga-lembaga administratif dan judiciil.
(9) evalusi hukum.
Komponen ini merupakan konsekuensi dari pandangan ahli-ahli hukum Utilitarianis yang menyatakan bahwa kualitas hukum baru dapat diketahui setelah hukum itu diterapkan. Hukum yang buruk akan mengakibatkan akibat-akibat yang buruk. Dan hukum yang baik akan melahirkan akibat-akibat yang baik.
C. Perencanaan Pembangunan Hukum Secara Sistemik
Pada dasarnya hukum nasional adalah suatu system[12] yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen atau fungsi/variabel yang selalu pengaruh-mempengaruhi, terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas dan berinteraksi. Asas utama yang mengaitkan semua unsur atau komponen hukum nasional itu ialah Pancasila dan UUD 1945, di samping sejumlah asas-asas hukum yang lain, yang berlaku lokal, atau berlaku di dalam dan bagi disiplin hukum tertentu. Semua unsur/ komponen/ fungsi/ variabel itu terpaut dan terorganisasi menurut suatu struktur atau pola yang tertentu, sehingga senantiasa saling pengaruh mempengaruhi dan berinteraksi.
Untuk melaksanakan pembangunan dan pembaharuan hukum –yang merupakan suatu sistem- diperlukan perencanaan.[13] Perencanaan merupakan unsur manajemen yang sangat penting dalam mengelola organisasi[14]. Perencanaan merupakan suatu perumusan dari persoalan-persoalan tentang apa dan bagaimana suatu pekerjaan hendak dilaksanakan.[15] Perencanaan juga merupakan suatu persiapan (preparation) untuk tindakan-tindakan kemudian.[16] Perencanaan meliputi hal-hal yang akan dicapai, yang kemudian memberikan pedoman, garis-garis besar tentang apa yang akan dituju.[17]
Kekhususan sifat perencanaan ialah dominannya fungsi perencanaan untuk keberhasilan seluruh manajemen. Menurut pandangan politis strategis, jika keseluruhan manajemen mempunyai nilai strategis, dengan sendirinya perencanaan sebagai bagiannya tentunya juga mempunyai sifat dan strategis.[18] Dan bila perencanaan sebagai langkah awal manajemen, bernilai strategis, besar harapan bahwa keseluruhan manajemen akan bernilai strategis pula. Ini bermakna bahwa konsep dan upaya pengerahan dan pengarahan potensi dan sumberdaya ke dalam jalur kegiatan untuk mencapai tujuan harus direncanakan dengan konsisten. Menerapkan perencanaan strategis dalam kerangka kebijaksanaan politik pembangunan nasional, berarti menerapkan prinsip-prinsip manajemen dalam kegiatan perencanaan hukum itu melalui pendekatan sistem. Pada intinya merencanakan berarti mengambil keputusan tentang hal-hal yang akan dilakukan di masa depan dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Artinya, orientasi waktu perencanaan adalah masa depan yang secara implisit berarti proses perencanaan harus memperhitungkan faktor ketidakpastian yang akan dihadapi serta ketelitian melakukan analisis. Analisis yang dilakukan meliputi:[19]
1. Apa yang akan dikerjakan dan mengapa;
2. Dimana kegiatan tertentu akan dilaksanakan dan mengapa;
3. Waktu yang paling tepat untuk melaksanakan kegiatan terntentu dan apa alasannya;
4. Siapa yang paling tepat untuk melaksanakan dan dengan alasan apa;
5. Cara yang paling efisien untuk menyelenggarakan semua jenis kegiatan yang harus dilaksanakan berdasarkan pertimbangan apa.
Analisa yang demikian ini hanya mungkin dilakukan dengan terlebih dulu melakukan penelitian yang mendalam terhadap hal-hal yang dipertanyakan di atas.
Di dalam suatu masyarakat hukum, fungsi perencanaan dan penanggulangan itu dilakukan dengan memanfaatkan hukum;[20] Hal ini disebabkan karena;[21] pertama, hukum merupakan hasil penjelajahan ide dan pengalaman manusia dalam mengatur hidupnya. Hukum merupakan bentuk pengaturan kehidupan manusia yang paling tua, yang pada abad ke-20 telah diyakini sebagai design dan pengaturan hidup yang paling modern dan representatif. Hampir tidak terdapat satupun negara yang tidak berbentuk negara hukum.
Kedua, terbawa oleh hakekat pengadaan dan keberadaan hukum dalam suatu masyarakat, terutama untuk mengatur kehidupan masyarakat. Termasuk di dalamnya pengaturan terhadap perubahan yang terjadi atau yang hendak dilakukan oleh masyarakat.
Ketiga, fungsi mengatur itu telah didukung oleh potensi dasar yang terkandung dalam hukum, yang melampaui fungsi mengatur, yaitu juga berfungsi sebagai pemberi kepastian, pengaman, pelindung, dan penyeimbang, yang sifatnya dapat tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. Potensi hukum ini terdapat pada dua dimensi utama dari fungsi hukum, yaitu fungsi preventif dan represif. Preventif adalah fungsi pencegahan, fungsi ini dituangkan dalam bentuk pengaturan pencegahan (prevention regulation) yang hakekatnya merupakan design dari setiap tindakan yang hendak dilakukan oleh masyarakat. Design ini meliputi seluruh aspek tindakan manusia, termasuk resiko, dan pengaturan prediktif terhadap bentuk penanggulangan resiko itu. Sedangkan represif adalah fungsi penanggulangan. Fungsi ini dituangkan dalam bentuk penyelesaian sengketa atau pemulihan terhadap kerusakan keadaan yang diakibatkan oleh resiko tindakan yang terlebih dahulu telah ditetapkan dalam perencanaan tindakan itu. Dimensi fungsi ini menunjukkan bahwa hukum merupakan instrumen yang tidak hanya potensial untuk mengatur dan menjaga harmonisasi kehidupan masyarakat, melainkan juga potensial untuk merekayasa masyarakat.
Keempat, dalam isu pembangunan global itu hukum telah dipercaya untuk mengemban misinya yang paling baru, yaitu sebagai sarana perubahan sosial atau sarana pembangunan. Kepercayaan ini didasarkan pada hakekat dan potensi hukum sebagai inti kehidupan masyarakat.
Fungsi baru itu berarti perkembangan dan beban baru bagi hukum. Rasio pembangunan hukum itu terletak dalam perspektif ini. Untuk mengemban fungsi barunya, hukum membutuhkan peningkatan kapasitas dalam bentuk pembangunan dan pembaharuan terhadapnya. Pembangunan dan pembaharuan ini dapat berbentuk rekonstruksi, intensifikasi fungsi, atau pengembangan fungsi. Rekonstruksi itu dapat berbentuk penggantian, penataan, pengelolaan dan pengembangan hukum.[22] Penggantian hukum dilakukan terhadap hukum yang telah kekurangan atau kehabisan daya dukungannya. Penataan hukum dilakukan terhadap hukum yang berada dalam kondisi mis-koordinasi, berbatas substansi tidak jelas, atau yang bertumpang tindih fungsi dan substansi. Pengelolaan hukum dilakukan terhadap hukum yang daya dukungnya telah memadai dan pengembangan hukum dilakukan terhadap hukum yang daya dukungnya telah baik, berdasarkan kebutuhan kondisi. Hal penting yang perlu ditegaskan dalam kaitan dengan pembahasan terakhir ini adalah bahwa makna hukum ditempatkan tidak hanya pada makna hukum normatif, melainkan terutama dalam konteks makna hukum sebagai suatu sistem.[23]
Hukum sebagai sarana perubahan sosial dan sarana pembangunan ini kemudian berkembang lebih jauh dengan melihat bahwa sebelumnya hukum harus mampu menjadi sarana perubahan bagi birokrasi sebagai kaki tangan utama pembangunan. Konsep ini dikenal dengan konsep hukum sebagai “bureucratic and social engineering”. Konsep hukum “Beureucratic and Social Engineering” harus diartikan penyelenggara birokrasi memberikan dan melaksanakan keteladanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan diharapkan masyarakat mematuhi dan mengikuti langkah-langkah penyelenggara birokrasi tersebut.[24] Hal ini dapat dilaksanakan secara efektif jika penyelenggara birokrasi telah memahami fungsi dan peranan serta posisi hukum sebagaimana berikut:[25]
1. Hukum dipandang bukan sebagai perangkat yang harus dipatuhi oleh masyarakat saja melainkan juga harus dipandang sebagai sarana yang harus dapat membatasi perilaku aparat penegak hukum dan pejabat publik;
2. Hukum bukan hanya diakui sebagai a tool of social engineering semata-mata tetapi juga harus diakui sebagai a tool of social control and beureucratic engineering;
3. Kegunaan atau kemanfaatan hukum tidak lagi hanya dilihat dari kacamata kepentingan pemegang kekuasaan melainkan harus juga dikaji dari prospektif dan perspektif kepentingan stakeholder;
4. Fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan sosial dan birokrasi dalam kondisi masyarakat yang bersifat vulnerable dan transitional, tidak dapat dilaksanakan secara optimal hanya menggunakan pendekatan preventif dan represif semata-mata melainkan juga memerlukan pendekatan restoratif, dan rehabilitatif;
5. Agar fungsi dan peranan hukum dapat dilaksanakan secara optimal maka hukum tidak semata-mata dipandang sebagai wujud dari komitmen politik, melainkan harus dipandang sebagai sarana untuk merubah sikap (attitude) dan perilaku (behavior).
Telah menjadi anggapan umum sekarang ini, bahwa hukum itu terdapat di seluruh dunia, asal ada masyarakat manusia, seperti adegium “ubi societas, ibi ius”.[26] Dalam masyarakat yang sederhana, hukum yang dibutuhkan masih sederhana, karena kebutuhannya masih sederhana. Tetapi dalam masyarakat modern hukumnya pun harus lebih sempurna, mengingat kebutuhannya yang semakin beraneka ragam.[27] Masyarakat ini tidaklah statis, tetapi terus-menerus berkembang, sehingga hukum pun harus terus-menerus dikembangkan dan diperbaharui sesuai dengan perkembangan masyarakat. Hukum adalah sistem norma yang dinamis.[28]
Dalam era global seperti sekarang ini misalnya, pembangunan hukum nasional tidak lagi dapat melepaskan diri dari pengaruh sekelilingnya[29]. Pengaruh itu dapat berasal dari sistem hukum yang ada di seluruh dunia maupun fenomena sosiologis yang terjadi. Persoalannya adalah bagaimana membangun hukum yang berstruktur sosial Indonesia tanpa meninggalkan trends globalisasi yang melingkupinya.[30]
Pemikiran tentang pembaharuan hukum ini terutama bergantung pada konservatif atau tidaknya golongan yang berkuasa.[31] Negara-negara otokratis yang dikuasai oleh golongan yang ekslusif cenderung untuk menolak perubahan dan hanya melihat hukum sebagai sarana untuk menjaga keamanan dan ketertiban, sementara negara-negara maju yang telah mencapai suatu keseimbangan dalam kehidupan politik, ekonomi dan kemasyarakatan juga akan cenderung untuk konservatif dalam pemikirannya tentang hukum.[32] Hal ini juga akan berpengaruh pada politik hukum yang akan dijalankan[33]. Secara sederhana pertentangan antara dua konsepsi pemikiran hukum merupakan pertentangan antara legisme (termasuk aliran positivisme) dan aliran mazhab sejarah.[34]
Aliran legisme menyamakan hukum dengan undang-undang dan menyangka bahwa segala pembuatan hukum (termasuk pebaharuannya) dapat begitu saja dilakukan dengan undang-undang. Sebaliknya, mahzab sejarah menentang perundang-undangan (legislation) sebagai suatu cara untuk membuat (dan memperbaharui) hukum karena hukum itu tidak mungkin dibuat, melainkan (harus) tumbuh sendiri dari kesadaran hukum masyarakat.[35]
Namun sebenarnya pertentangan ini bisa didamaikan dengan mengakomodasi keduanya. Artinya, Indonesia yang sudah terlanjur menganut sistem hukum civil law, yang berarti lebih menekankan hukum sebagai undang-undang, selayaknya melakukan pembaharuan hukum lewat pembaharuan peraturan perundang-undangan (termasuk undang-undang). Hanya saja pembaharuan peraturan perundang-undangan ini harus memperhatikan kesadaran hukum masyarakat.
Di dalam dunia pemikiran (atau filsafat) hukum, sikap ini dianjurkan oleh Eugen Erlich, pemuka dari aliran Sociological Jurisprudence.[36] Yang menjadi konsepsi dasar dari pemikirannya di bidang hukum adalah apa yang ia namakan sebagai living law. Hukum positif yang baik (dan karenanya efektif) adalah hukum yang sesuai dengan living law yang merupakan inner order dari masyarakat yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya.
D. Penutup
Dalam melaksanakan perencanaan hukum, yang perlu mendapatkan perhatian utama adalah masalah kesadaran hukum masyarakat dan kebudayaan masyarakat tersebut. Masalah kesadaran hukum dalam masyarakat merupakan persoalan yang sebenarnya agak rumit. Hal ini disebabkan oleh karena masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk atau pluralistik, yang mencakup pelbagai kesadaran baik yang bersifat pribadi maupun kelompok.[37] Dengan demikian terdapat kesadaran hukum yang tidak tunggal atau seragam, meski harus diakui bahwa atas dasar studi perbandingan, terdapat bermacam-macam persamaan di dalam masyarakat majemuk tersebut.[38]
Persamaan-persamaan yang ada hendaknya dimanfaatkan untuk dapat menyusun suatu unifikasi hukum, akan tetapi perbedaan-perbedaan yang ada tidak boleh diremehkan, oleh karena tidak jarang menyangkut dasar dari sistem atau sub sistem masyarakat yang bersangkutan. Oleh karenanya dalam menyusun peraturan perundang-undangan, kesadaran hukum seyogyanya mendapat tempat yang proporsional. Hal ini perlu, mengingat bahwa banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang disusun semata-mata atas dasar pemikiran normatif dan kurang disandarkan pada pasangannya, yakni pemikiran yang empiris.[39] Untuk itu maka diperlukan peranan kegiatan penelitian agar pemikiran normatif[40] tersebut bisa disandingkan secara proporsional dengan pemikiran yang empiris.[41]
Teori hukum idealistis mengemukakan bahwa apabila ingin diketahui ada dan berkembangnya hukum di tengah masyarakat, maka yang pertama kali harus dipahami adalah kebudayaan dari masyarakat tersebut, sehingga menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara nilai, norma, dan hukum.[42] Banyak ahli yang berpendapat bahwa hukum akan terdapat di tengah masyarakat yang berbudaya. Oleh karena itu Kohler menunjukkan bahwa (law is considered) (a) as to the past a product of civilization; (b) as the present as a means of maintaining civilization; (c) as the future as a means of furthering civilization.[43]
Pembuatan peraturan perundang-undangan (legislasi), dalam rangka pembangunan dan pembaharuan hukum, merupakan tugas yang tidak mudah, bahkan sulit dan berat karena program yang akan disusun itu akan turut menentukan kehidupan seluruh bangsa di masa sekarang juga di masa depan. Oleh karenanya maka perlu dilakukan perencanaan yang matang dalam memulai proses ini, meski pembaharuan hukum itu tidak seluruhnya dapat direncanakan.[44] Perencanaan yang matang dapat diwujudkan dengan terlebih dulu melakukan penelitian yang mendalam terhadap permasalahan yang ingin diselesaikan sehingga dapat diketahui apakah suatu ketentuan hukum yang sudah ada atau ketentuan hukum yang akan dibuat sesuai atau tidak dengan kesadaran hukum masyarakat.
Dalam melakukan penelitian sosiologis dikenal beberapa jenis penelitian, yaitu:[45] pertama, penelitian murni, bertujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan secara teoritis; kedua, penelitian yang terpusatkan pada masalah, bertujuan untuk memecahkan masalah yang timbul dalam perkembangan teori; ketiga, penelitian terapan, yang bertujuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat atau pemerintah.
Dalam pembaharuan hukum, jenis penelitian terapan merupakan jenis penelitian yang sering dijadikan sebagai pilihan diantara jenis-jenis penelitian yang lain. Namun demikian, selain jenis-jenis penelitian di atas, masih banyak sekali jenis-jenis penelitian yang ada dan biasa digunakan, yang terbagi-bagi menurut bidang yang diteliti, kegunaan, maupun metodenya.[46] Tetapi tidak akan diperdebatkan di sini tentang jenis penelitian mana yang paling tepat karena penelitian yang dilakukan biasanya merupakan kombinasi dari berbagai jenis penelitian dan metode penelitian. Metode-metode penelitain yang dikombinasikan itu tergantung pada:[47] subyek penelitian (materi penelitian), tujuan penelitian, besar kecilnya dana penelitian, sarana penelitian yang tersedia, tenaga peneliti yang tersedia, waktu yang tersedia dan lingkungan/tempat penelitian dilakukan.
Penelitian hukum untuk menyusun suatu naskah akademik RUU, atau penyusunan RUU dan untuk menemukan kebijaksanaan apa yang diperlukan untuk pembangunan, atau untuk perencanaan hukum harus merupakan penelitian interdisipliner agar benar-benar berbobot dan hasilnya dapat dilaksanakan.
Setelah dilakukan penelitian, maka akan dapat diinventarisir berbagai permasalahan dan berbagai alternatif penyelesaiannya yang digali dari kesadaran hukum masyarakat. Ini merupakan data yang bisa dipakai untuk membuat suatu perencanaan pembaharuan hukum yang aspiratif dan pada akhirnya akan membentuk produk hukum yang responsif.[48] Namun demikian, oleh karena masyarakat kita berubah dengan cepat -minimal dalam lima tahun terjadi perubahan yang signifikan- maka kita juga harus memperhatikan nilai-nilai dan kebutuhan masyarakat di masa yang akan datang (futurologi) sebagaimana yang dikatakan oleh August Comte, “savoir pour previor, previor pour prevenir”.[49]
[1] Tulisan ini diambil dari Jurnal Hukum PropatriaVol.II No.2 September 2008 – Februari 2009
[2] Dosen Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
[3] Mansour Fakih, Tinjauan Kritis Terhadap Revolusi Hijau, dalam Hatta Sunanto et.all, Menggeser Pembangunan Memperkuat Rakyat, Emansipasi dan Demokrasi Mulai dari Desa, (Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2000), hal 4
[4] ibid
[5] ibid
[6] Lili Rasjidi dan IB Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju, 2003) hal.178
[7] ibid
[8] Jimly Asshiddiqie, Agenda Pembangunan Hukum Nasional Di Abad Globalisasi, (Jakarta: PT Balai Pustaka, 1998) hal.28
[9] ibid, hal.29-30
[10] ibid
[11] Lili Rasjidi dan IB Wyasa Putra, opcit hal. 152-167
[12] BPHN, Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional Serta Rencana Pembangunan Hukum Jangka Panjang, (Jakarta: BPHN, 1995/1996) hal.19
[13] Dalam UU No.25 Tahun 2004 pada pasal 1 angka 1, perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
[14] George R Terry merumuskan elemen-elemen manajemen adalah; planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), actuating (penggerakan), dan controlling (pengendalian/pengawasan). Lebih jauh tentang ini bisa dilihat di Maringan Masri Simbolon, Dasar-dasar Administrasi dan Manajemen, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hal.36.
[15] ibid
[16] ibid
[17] ibid
[18] BPHN, Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional Serta Rencana Pembangunan Hukum Jangka Panjang, op.cit, hal.111
[19]Sondang Siagian, Manajemen Abad 21, (Jakarta: Bumi Aksara, 1998) hal. 130
[20] Lili Rasjidi dan IB Wyasa Putra, op.cit
[21] ibid
[22] ibid
[23]Komponen-komponen sistem hukum adalah; (1) masyarakat hukum, (2) budaya hukum, (3) filsafat hukum, (4) ilmu hukum, (5) konsep hukum, (6) pembentukan hukum, (7) bentuk hukum, (8) penerapan hukum, (9) evalusi hukum. Lebih jauh tentang ini lihat Lili Rasjidi, ibid. hal. 152-167
[24] Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, (Jakarta: Prenada Media, 2003) hal.20-21
[25] ibid
[26] Sunaryati Hartono, Tentang Cara-cara Pembentukan Hukum, Dalam, Himpunan Bahan Penataran Latihan Tenaga Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan, tanggal 1 s/d 20 Juni 1981, (Jakarta: BPHN, 1982) hal. 122
[27] ibid
[28] Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, diterjemahkan oleh Somardi, (Jakarta: Rimdi Press, 1995) hal.115.
[29] Anthony Giddens bahkan menyebut era global ini dengan “pemerintahan global”, karena ia melihat mulai sangat besarnya pengaruh dari lembaga-lembaga dunia seperti PBB, IMF dan World Bank. Di samping itu pembentukan Uni Eropa mengindikasikan makin menguatnya kemungkinan untuk terciptanya pemerintahan global. Lebih jauh tentang ini lihat Anthony Giddens, The Third Way, Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, diterjemahkan oleh Ketut Arya Mahardika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002) hal.168
[30] Zudan Arif Fakrullah, Membangun Hukum Yang Berstruktur Sosial Indonesia Dalam Kancah Trends Globalisasi, Dalam Wajah Hukum Di Era Reformasi: Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 70 Tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., (Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 2000) hal.51
[31] C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1991) hal.82
[32] ibid
[33] Menurut Satjipto Raharjo, politik hukum yaitu adanya keharusan untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan maupun cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan tersebut. Lihat Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1986) hal. 34. Padmo Wahyono mengartikan politik hukum sebagai suatu kebijaksanaan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Lihat Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasar Atas Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986) hal. 60. Sedangkan menurut Teuku Mohamad Radie, politik hukum adalah pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai kemana hukum hendak dikembangkan. Lihat Tunggul Anshari Setia Negara, Politik Hukum Nasional Terhadap Hukum Administrasi Negara, dalam S.F. Marbun (ed), Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2001) hal.162
[34] Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung: Alumni, 2002) hal.77
[35] ibid
[36]ibid, hal.78
[37] Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum Dalam Masyarakat, Dalam, Himpunan Bahan Penataran Latihan Tenaga Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan, tanggal 1 s/d 20 Juni 1981, (Jakarta: BPHN, 1982) hal. 285
[38] ibid, hal.286
[39] ibid
[40] Pemikiran normatif adalah pemikiran yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Pemikiran normatif didasarkan pada penelitian yang mencakup (1)asas-asas hukum, (2) sistematik hukum, (3) taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal, (4)perbandingan hukum, (5)sejarah hukum. Lebih jauh tentang ini lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, edisi 1, cet.v, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hal,13-14. Lihat juga Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di Dalam Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979) hal.15
[41]Pemikiran empiris adalah pemikiran yang dilakukan dengan cara meneliti data-data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari masyarakat. Pemikiran empiris ini disebut juga pemikiran sosiologis. Lebih jauh tentang ini lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, ibid
[42] Hermayulis, Terbentuknya Hukum: Suatu Pemikiran Dalam Reformasi Hukum Di Indonesia, dalam, EKM Masinambow (editor), Hukum dan Kemajuan Budaya: Sumbangan Karangan Untuk Menyambut Ulang Tahun ke-70 Prof. DR. T.O. Ihromi, edisi ke-2, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003) hal. 88-89
[43] ibid
[44] Sunaryati Hartono, Penyusunan Perundang-undangan Dalam Repelita III, Dalam, Himpunan Bahan Penataran Latihan Tenaga Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan, tanggal 1 s/d 20 Juni 1981, (Jakarta: BPHN, 1982) hal. 102
[45] ibid, hal.457
[46] berbagai jenis penelitian ini bisa dilihat dari berbagai buku tentang metodologi penelitian.
[47] C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Alumni, 1994) hal.121
[48] Nonet-Selznick membagi beberapa tipe hukum, yaitu; Hukum Represif, Hukum Otonom, dan Hukum Responsif. Lebih jauh tentang ini baca Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif: Pilihan Di Masa Tranasisi, (Jakarta: HuMa, 2003) hal.23, 43 dan 59.
[49] C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Alumni, 1994) hal.103