Jumat, 20 Februari 2009

Perlukah Amandemen Kelima UUD 1945?

Perlukah Amandemen Kelima UUD 1945?[1]
Moh. Mahfud MD[2]


PENDAHULUAN: TIGA ARUS TENTANG PERUBAHAN UUD[3]
Judul makalah yang oleh Panitia dirumuskan dalam bentuk pertanyaan seperti di atas memang sangat relevan dengan wacana maupun gerakan politik yang ada saat ini. Sebab sampai sekarang kontroversi di seputar perubahan UUD 1945 masih berlangsung yang pada garis besarnya terpetakan atas tiga kelompok atau arus. Pertama, kelompok atau arus yang ingin kembali ke UUD 1945 yang asli;[4] Kedua, kelompok atau arus yang ingin mempertahankan UUD hasil amandemen[5] yang ada sekarang dan; Ketiga, kelompok atau arus yang ingin melakukan perubahan atau amandemen lanjutan yang di dalam Konvensi ini disebut Amandemen Kelima.[6]
Arus pertama digerakkan atau dikuti oleh beberapa tokoh terutama beberapa purnawirawan TNI yang dulunya memang telah bersumpah untuk menjadi Sapta Margais yang setia pada Pancasila dan UUD 1945.[7] Pendukung arus ini tidak banyak namun tetap ada, bahkan pada acara seminar yang diselenggarakan oleh Anggota Watimpres tanggal 3 April 2008 yang lalu masih ada yang menyesalkan perubahan UUD 1945 tersebut. Alasan pengikut arus ini perubahan UUD 1945 telah kebablasan, mengkhianati amanat dan hasil karya pada pendiri atau founding people, [8] emosional, terburu-buru, dan tidak menyerap aspirsi masyarakat atau disosialisasikan secara proporsional.
Arus kedua pada umumnya diikuti oleh (anggota-anggota) parpol yang memiliki kursi dominan di DPR dan MPR, terutama mereka yang dulunya menjadi anggota Pantia Ad Hoc I MPR yang bertugas menggodog perubahan UUD 1945 sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. Menurut mereka perubahan lanjutan itu tidak perlu dilakukan karena hasil amandemen yang ada sekarang sudah menyerap dan mengompromikan semua aspirasi yang berkembang di dalamm masyarakat ketika itu. Menurut mereka harus disadari bahwa melakukan perubahan atas UUD itu akan menguras energi yang sangat besar dan apa pun hasilnya pasti akan ada yang mepersoalkan juga; diubah lagi pun pasti kelak akan ada yang mempersoalkan atas hasil-hasilnya. Upaya mengubah kembali UUD berpotensi memancing konflik politik yang dapat mengganggu upaya atau konsentrasi kita menyelenggarakan pemerintahan untuk memperbaiki nasib rakyat. Maka bagi arus ini yang penting melaksanakan dulu isi UUD 1945 hasil amandemen dengan sebaik-baiknya. Harus dikemukakan juga bahwa karena kuatnya wacana perubahan lanjutan di dalam masyarakat, meski banyak anggotanya di MPR/DPR yang tak setuju namun parpol-parpol pada umumnya mengatakan bahwa perubahan lanjutan atas UUD 1945 dapat dilakukan tetapi timing-nya belum tepat jika dilakukan sebelum tahun 2009.
Arus ketiga merupakan arus yang paling kuat karena didukung oleh hampir semua akademisi hukum dan ilmuwan politik di perguruan tinggi , lembaga studi Konstitusi, LSM-LSM pegiat hukum dan Konstitusi, anggota-anggota Komisi Konstitusi, dan beberapa ormas besar. Alasan perlunya perubahan lanjutan menurut pengikut arus ini karena dalam kenyataanya UUD 1945 hasilperubahan memang mengandung beberapa kelemahan yang harus diperbaiki kembali sebagai tuntutan yang wajar.
Adanya perbedaan arus sikap yang dapat dikemukakan secara terbuka tanpa harus takut ditindak oleh penguasa, seperti ekspressi yang dilakukan oleh pengikut ketiga arus itu, harus dicatat sebagai kemajuan tersendiri dalam kehidupan berdemokrasi setelah dilakukannya perubahan atas UUD 1945. Kita tak dapat membayangkan dapat mempersoalkan UUD yang berlaku (yalni UUD 1945) pada dua orde sebelum reformasi yakni Orde Lama (1959-1967) dan Orde baru (1967-1998). Pada kurun waktu yang panjang itu UUD 1945 diberhalakan sedemikian rupa sehingga tak boleh dipersoalkan.[9]

PERLUNYA AMANDEMEN LANJUTAN
Pemakalah sendiri sependapat arus ketiga yakni perlunya perubahan atau amandemen lanjutan atas UUD 1945 hasil amandemen dengan tetap memberi catatan penting bahwa UUD 1945 hasil perubahan yang ada sekarang ini sudah membawa kemajuan dalam kehidupan ketatanegaraan kita.
Tak dapat dipungkiri, telah banyak kemajuan yang diraih dalam kehidupan ketatanegaraan kita berdasar UUD 1945 hasil amandemen itu. Kehidupan bernegara kita jauh menjadi lebih demokratis. Tak ada lagi sensor bagi pers, apalagi pembreidelan terhadap pers, proses pemilu berjalan demokratis, pemerintah tidak bisa lagi bersikap otoriter karena selalu dikontrol oleh pers, masyarakat, dan lembaga-lembaga politik lainnya.
Di antara yang perlu diberi catatan khusus tentang kemajuan ketatanegaraan kita adalah eksistensi dan prestasi Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga yudikatif baru. Pada masa lalu banyak sekali UU yang dibuat secara sepihak oleh pemerintah (dan DPR hanya dijadikan semacam rubber stamp) tanpa bisa dibatalkan meski isinya diindikasikan kuat melanggar UUD. Perubahan atas UU yang bermasalah pada masa lalu hanyalah dapat dilakukan melalui legislative review yang dalam praktiknya sangat ditentukan oleh pemerintah. Bahkan kasus perubahan RUU Penyiaran tahun 1997 menjadi noda hitam yang sulit dihapus dari sejarah perjalanan legislasi kita. Saat itu RUU Penyiaran sudah dibahas dan diperdebatkan dalam waktu yang lama di DPR sampai akhirnya Pemerintah dan DPR menyetujui untuk diundangkan. Tetapi begitu disampaikan kepada Presiden untuk ditandatangani dan diundangkan ternyata Presiden menolak dan meminta dibahas kembali untuk diubah sebagian isinya. Masalah inilah yang mendorong munculnya pasal 20 ayat (5) dalam UUD 1945 hasil amandemen sekarang ini.
Dengan adanya MK semua UU yang dinilai bertentangan dengan UUD dapat dimintakan judicial review (pengujian yudisial) untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 atau inkonstitusional sehingga tak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dapat dikemukakan bahwa MK telah tampil sebagai lembaga negara yang independen dan cukup produktif mengeluarkan putusan-putusan yang sangat mendukung bagi kehidupan ketatanegaraan yang demokratis.
Bayangkan saja, dalam usianya yang belum mencapai lima tahun (dibentuk bulan Agustus 2003) MK sudah melakukan dan memutus pengujian (judicial review) UU terhadap UUD sebanyak lebih dari 140 kali. UU yang diuji memang berjumlah 63 UU, tetapi banyak UU yang diuji lebih dari satu kali (bahkan ada yang diuji sampai tujuh kali, yaitu UU tentang KPK) dengan materi pengujian yang berbeda-beda. Memang dari sekian banyak putusan MK ada beberapa (sekitar empat atau lima) putusan yang kontroversial karena dianggap melampaui batas kewenangan dan melanggar atau masuk ke ranah legislatif. Pemakalah termasuk yang mengritik keras kenyataan-kenyataan tersebut.[10] Tetapi harus diingat bahwa adanya empat atau lima vonis yang kontroversial itu sangatlah kecil jika dibandingkan dengan keseluruhan vonis yang berjunlah lebih dari 140 vonis. Selain itu harus diingat pula bahwa sebuah vonis yang kontroversial itu belum tentu salah.

Sanggahan terhadap arus pertama
Seperti dikemukakan di atas pemakalah mengikuti arus yang menghendaki perubahan kembali UUD 1945 hasil amandemen dengan kontra argumen terhadap dua arus lainnya yakni terhadap arus yang ingin kembali terhadap UUD 1945 yang asli maupun terhadap arus yang ingin mempertahankan hasil amandemen yang ada sekarang ini.
Terhadap arus yang ingin kembali ke UUD 1945 pemakalah menyatakan bahwa tidak benar perubahan (1999-2002) itu telah mengkhianati amanat dan kesepakatan politik para pendiri negara tentang UUD. Sebelum UUD 1945 disahkan pada pada tanggal 18 Agustus 1945 Ketua PPKI Soekarno sendiri mengatakan bahwa UUD 1945 yang akan disahkan saat itu adalah UUD kilat, darurat, dan bersifat sementara yang perlu diperbaiki atau diubah kembali jika suasananya sudah kondusif. Dorongan untukmengubah kembali itu oleh para pendiri dituangkan juga di dalam UUD 1945 sendiri yakni di dalam Aturan Tambahan yang menyatakan:

(1) Dalam enam bulan setelah akhirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam Undang Undang Dasar ini.
(2) Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan Undang Undang Dasar.

Isi pidato Bung Karno tanggal 18 Agustus 1945 dan Aturan Peralihan itu jelas mendorong dilakukannya perubahan atas UUD 1945 oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu jika suasananya sudah kondusif . Memang istilah “menetapkan UUD” yang tercantum di akhir kalimat ayat (2) Aturan Peralihan itu bisa saja diartikan “menetapkan kembali” tetapi pengartian seperti menjadi kurang logis sebab kalau sekedar pemberlakuan UUD 1945 maka yang dilakukan oleh PPKI sudah sangat kuat dan tak perlu penetapan kembali oleh MPR jika ingin tetap diberlakukan. Dengan demikian isi pidato Bung Karno dan ketentuan Aturan Tambahan itu memang mendorong dilakukannya perubahan atas UUD 1945 (yang asli) itu dan karenanya perubahan yang dilakukan (1999-2002) oleh MPR bukanlah pengkhianatan terhadap kesepakatan para pendiri, apalagi modus vivendi atau kesepakatan luhurnya yakni “Pembukaan” UUD yang memuat Pancasila sebagai dasar Negara sama sekali tidak diubah.
Tidak benar juga jika dikatakan bahwa UUD 1945 hasil amandemen (1999-2002) dibuat secara terburu-buru dan tidak disosialisasikan untuk menyerap aspirasi dan bahan-bahan secara komprehensif. Dalam kenyataanya baik waktu maupun agenda perubahan-perubahannya sudah dilakukan jauh lebih lama dan lebih komprehensif jika dibandingkan dengan yang dilakukan oleh founding people.
Bahkan kalau dihitung secara matematis perubahan UUD 1945 periode 1999-2002 lebih lama 12 kali lipat waktunya jika dibandingkan dengan pembuatan yang asli. Jadi tidak dapat dikatakan perubahan itu sebagai pekerjaan yang terburu-buru. UUD 1945 yang asli hanya dibahas dalam masa sidang yang terputus-putus selama kira-kira 2 bulan dan 3 minggu (31 Mei – 18 Agustus 1945) dengan lama persidangan hanya 12 hari yakni Sidang Paripurna I BPUPKI selama 4 hari (29 Mei-1 Juni), Sidang Paripurna II BPUPKI 7 hari (10-16 Juli 1945), Sidang Paripurna PPKI yang membahas dan mengesahkan UUD 1945 selama 1 hari (18 Agustus 1945). Ada juga tambahan 1 hari sidang Panitia 9 yang oleh Soekarno dilaporkan sebagai sidang yang tidak memenuhi prosedur formalitet yaitu Sidang tanggal 22 Juni 1945 yang melahirkan Piagam Jakarta itu.[11]
Sedangkan UUD 1945 hasil amademen dibahas selama 2 tahun 10 bulan atau 34 bulan (10 Oktober 1999 s-d 10 Agustus 2002) dengan pembahasan yang hampir-hampir tanpa terputus-putus. Pembahasan selama 34 bulan itu mencakup sidang paripurna dan sidang-sidang PAH I MPR di luar bulan Agustus serta penyerapan aspirasi masyarakat ke berbagai daerah dan kampus-kampus, bahkan sampai ke beberapa negara.
Jadi proses amanndemen 1999-2002 sudah melibatkan pemikiran yang sangat komprehensif. Bahwa ada yang tak puas hal itu biasa saja sebab hasil amandemen adalah kesepakatan politik dari berbagai keinginan yang diagregasi dan disaring secara politik. Apa pun hasil penetapan dan amandemen, yang dulu maupun yang akan dating, pasti ada yang tidak puas sebab rakyat itu tidak monolitik. Yang penting agregasi dan penetapannya demokratis dan melalui prosedur yang benar atau konstitusional. Kalau mau menunggu semua orang puas takkan pernah ada penetapan maupun perubahan UUD.
Ada juga yang membantah pandangan pemakalah itu dengan mengatakan bahwa sebenarnya para pendiri bukan hanya bersidang 12 hari dalam kurun 81 hari sebab mereka sudah berpikir tentang itu sejak tahun 1928 saat Sumpah Pemuda dicanangkan. Tetapi pendapat ini pun sulit diterima karena pemikiran yang muncul sejak 1928 itu masih terpencar-pencar, tak ada bukti bahwa ada kesatuan ide untuk kemudian dituangkan di dalam sebuah konstitusi yang kemudian menjadi UUD 1945 yang asli itu. Kalau cara berpikir seperti itu diterima maka dapat pula dikatakan bahwa upaya mengamandemen UUD 1945 pun jauh lebih lama lagi, bahkan pemikiran untuk mengamandemen pun sudah dimulai pada hari UUD 1945 itu sendiri disahkan tanggal 18 Agustus 1945. Ini terbukti dari pidato Soekarno pada hari itu serta isi Aturan Tambahan UUD 1945 seperti yang dikemuakan di atas. Lagi pula perubahan UUD 1945 dalam praktik pun sudah dilakukan sebelum lewat tiga bulan Indonesia merdeka yang dilakukan melalui keluarnya Maklumat No. X tanggal 16 Oktober 1945.
Selain itu kita memiliki catatan sejarah yang jelas bahwa faktanya selama berlakunya UUD 1945 yang asli kehidupan ketatanegaraan kita tidak pernah melahirkan pemerintahan yang demokratis. Ini disebabkan oleh karena sistemnya yang tidak ketat membatasi kekuasaan dengan mekanisme checks and balances[12]. UUD `1945 yang asli lebih percaya pada semangat orang, padahal semangat orang itu bisa dikooptasi oleh kecenderungan kekuasaan yang korup seperti yang dikatakan oleh Lord Acton bahwa power tends to corrupt.
Meskipun begitu pemakalah harus menegaskan juga bahwa UUD 1945 yang asli merupakan produk resultante yang sangat baik pada saat dibuat; ia memenuhi kebutuhan poleksosbud ketika itu dan dapat dijadikan landasan politik dan ketatanegaraa yang bersih dan bermoral bagi para penyelenggara negara ketika itu. Kecocokan itu menjadi niscaya karena pada saat itu para pendiri negara dan politisi kita masih sangat idealis, berwatak negarawan, tantangan atau godaan material yang dihadapi belum banyak sehingga tidak banyak pula yang harus diperebutkan, dan pada saat itu para pimpinan negara kita memang mempunyai semangat membangun negara yang bersih karena baru berhasil melepaskan diri dari pemerintahan kolonial yang korup. Sejarawan Taufik Abdullah pernah mengatakan bahwa para pendiri negara kita itu sangat lurus dan lugu karena belum pernah berkuasa atau selalu diperintah oleh pemerintahan kolonial sehingga tidak tahu bahayanya kekuasaan yang karena itu pula mereka membuat UUD yang lebih percaya pada semangat orang daripada terhadap sistem ketatanegaraan yang ketat.[13]
Oleh karena kebutuhan saat ini sudah jauh berbeda, tantangan yang dihadapi juga sudah jauh lebih kompleks, watak manusia-manusianya juga sudah tidak seperti dulu maka UUD 1945 yang asli itu perlu diubah sesuai dengan kebutuhan.




Sanggahan terhadap arus kedua
Pemakalah juga menolak pandangan arus kedua yang menghendaki agar UUD 1945 hasil amandemen dipertahankan apa adanya dengan alasan hasil perubahan tersebut sudah maksimal dan ditempuh melalui kerja-kerja politik yang sangat melelahkan. Apalagi jika dikatakan bahwa upaya melakukan perubahan itu akan mengganggu kegiatan pemerintahan untuk memikirkan nasib rakyat agar keluar dari keterpurukan (terutama) ekonomi. Harus diingat bahwa proses perubahan itu bisa dilakukan secara sejajar (bersamaan) dengan pemerintahan sehari-hari tanpa harus saling mengganggu sebab keduanya ada di lapangan yang berbeda yang diurus oleh lembaga yang berbeda pula.
Alasan yang paling pokok dari penolakan pemakalah atas pandangan arus kedua ini adalah kenyataan bahwa UUD itu, di mana pun dan kapan pun, adalah resultante yang disepakati berdasar kebutuhan pada saat dibuat. Seperti dikemukakan oleh KC Wheare di dalam bukunya the Modern Constitutions konstitusi adalah resultante atau produk kesepakatan para pembuatnya berdasar situasi poleksosbud tertentu sehingga jika poleksosbudnya berubah maka resultante-nya juga dapat diubah. Oleh sebab itu rata-rata perubahan konstitusi di dunia berjalan paling lama setelah berlaku 30 tahun. Tak ada konstitusi yang tak berubah.
Memang UUD 1945 hasil perubahan yang ada sekarang harus diterima sebagai fakta yang telah membawa kemajuan bagi kehidupan ketatanegaraan kita. Dari sudut isi UUD hasil amandemen sudah jauh lebih maju dan membawa kemajuan bagi kehidupan konstitusional kita. Meski begitu harus diakui bahwa perubahan tetaplah diperlukan baik menyangkut substansi maupun struktur atau sistematikanya. Dari sudut struktur atau sistematika UUD 1945 hasilperubahan tampak tidak harmonis, ibarat tubuh yang ukuran tangan atau kakinya tidak seimbang. Hal ini merupakan akibat saja dari pilihan politik kita ketika akan mengamandemen UUD 1945 yang salah satu diantaranya melakukan perubahan dengan cara addendum.
Dalam kaitan ini haruslah diingat juga bahwa isi konstitusi itu adalah pilihan politik, bukan soal “benar” atau “salah” dan bukan soal “baik” atau “jelek.” Benar-salah dan baik-buruk adalah relatif, tergantung pada yang memandang dan kepentingan politik masing-masing. Namun terlepas dari soal “baik-buruk” dan “benar-salah” konstitusi yang sudah ditetapkan secara sah menjadi mengikat dan wajib dilaksanakan. Kalau di dalam kaidah ilmu ushul fiqh (jurisprudensi Islam) berlaku dalil “hukmul haakim yarfa’ul khilaaf,” keputusan pemerintah (lembaga yang berwenang) mengakhiri kontroversi soal benar atau salah dan soal baik atau jelek sehingga harus dilaksanakan. Oleh karena isi Konstitusi itu merupakan pilihan politik maka upaya mengubah konstitusi tidak harus selalu diartikan bahwa yang sudah ada itu salah atau jelek. Yang pokok dari upaya perubahan konstitusi itu adalah membuat kesepakatan politik (resultante) baru karena ada perkembangan baru atau karena ada hal-hal penting yang terlewatkan atau karena ditemukan masalah (kekuarangan) pada konstitusi yang sudah ada atau sedang berlaku. Dapat dicontohkan beberapa masalah dan tawaran solusi alternatif yang sekarang muncul, seperti bawah ini.

Resultante untuk reposisi DPD
Kehadiran DPD selama ini diangap bermasalah dan pemborosan konstitusional karena fungsi, hak, dan wewenangnya tidak mengikat. Maka wajar jika muncul gagasan untuk mencari resultante baru guna mereposisi DPD secara konstitusional di dalam sistem ketatanegaraan kita.
Saat ini memang ada yang bersikukuh mengatakan bahwa kedudukan dan fungsi DPD tidak perlu diubah karena sejak awal DPD memang tidak di-design sebagai Senat melainkan di-design seperti sekarang ini sebagai kelanjutan dari Utusan Daerah di masa lalu. Sebagai resultante pilihan MPR ketika itu pemosisian DPD yang seperti itu memang tidak salah, sebab di masa lalu Utusan Daerah itu hampir-hampir tak berfungsi, sekurang-kurangnya jauh di bawah fungsi dan kewenangan yang diberikan kepada DPD sekarang ini. Jadi kedudukan, fungsi, dan kewenangan DPD sekarang ini sudah jauh melampau cikal bakalnya sendiri yakni Utusan Daerah yang pernah ada sebelum UUD 1945 diamandemen.
Tetapi kalau itu alasannya tentu terlalu sepele. Sebab kalau mau proporsional kita dapat mempersoalkan dengan menanyakan : Apa salahnya kalau kita membuat resultante baru mengenai design DPD? Bukankah itu tergantung kesepakatan kita saja? Memang pertanyaan seperti ini bisa dijawab dengan pertanyaan balik: Apa perlunya membuat design baru bagi DPD? Tentu saja tak ada salah dari dua pertanyaan yang bertentangan tersebut. Tetapi sebagai pilihan politik pemakalah memandang bahwa DPD sekarang ini perlu direposisi agar lebih produktif, demokratis dan tidak menimbulkan pemborosan ketatanegaraan. Lembaga ini harus diperkuat agar menjadi bagian dari lembaga legislatif meski terbatas dalam hal-hal tertentu. Tidak ada larangan sama sekali untuk membuat resultante seperti itu.
Ada yang mengatakan bahwa pemosisian DPD secara kuat dan ikut menjadi bagian dari legislatif, apalagi disejajarkan dengan DPR seperti Senat di dalam sistem bikameral, adalah tidak sesuai dengan design teori negara kesatuan yang sudah disepakati sebagai bentuk negara kita. Pandangan ini tidak dapat diterima secara ilmiah karena dua alasan:
Pertama, sistem ketatanegaraan yang dimuat di dalam konstitusi suatu negara itu adalah hasil kesepakan bangsa yang membuatnya tanpa harus ikut teori atau tidak ikut teori tertentu serta sistem di negara lain. Apa pun yang dituangkan di dalam konstitusi, itulah yang berlaku. Jadi kita bisa membuat design berdasar kesepakatan politik kita tanpa harus ikut atau tidak ikut teori dari ahli politik dan konstitusi dan tanpa harus ikut atau tidak ikut sistem yang berlaku di negara lain.
Kedua, di dalam faktanya tidak ada satu teori baku tentang kaitan antara sistem bikameral dengan bentuk negara karena ternyata banyak negara kesatuan yang menganut bikameral maupun unikameral. Data di bawah ini mempertegas argumen tersebut:

Sistem Politik/Ketatanegaraan
Jumlah Negara Penganut Unicameral
Jumlah Negara Penganut Bicameral
Negara pada umumnya*
122
61 (+Indonesia)
Negara demokrasi (54)
22
32
Federal
-
Semua
Kesatuan
Separuh
Separuh
Penduduk besar
(Hanya Bangladesh)
Semua
Wilayah Luas
(Hanya Mozambique)
Semua
Parlementer (40)
32
8
Presidensial (10)
2
8
*)Data dari IPU (Inter Parliamentary Union); Selebihnya dari IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistants.

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)[14]
Jika disepakati parlemen atau lembaga legislatif kita menjadi dua kamar (bikameral) sebagai resultante baru seperti yang diusulkan di atas maka MPR dapat difungsikan sebagai lembaga legislatif (parlemen) yang dalam pelaksanaan jenis-jenis fungsi dan kewenangannya dapat dibedakan melalui kuorum dalam mekanisme pengambilan keputusan.
Ketika melaksanakan fungsi legislasi kuorum MPR cukup separuh ditambah satu pada masing-masing kamar (DPR dan DPD) yang disertai mekanisme checks and balances dengan Presiden, tetapi pada saat melakukan perubahan UUD dan pemberhentian Presiden/Wapres tetap menggunakan kuorum yang ada sekarang (Cq. Pasal 7, pasal 8, dan pasal 37). Kalau gagasan ini disetujui maka yang harus diubah atau disesuaikan, sekurang-kurangnya, adalah beberapa pasal yang menyangkut MPR, DPR, DPD, dan Presiden.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
DPR adalah lembaga perwakilan rakyat sebagai lembaga perwakilan politik yang anggota-anggotanya dipilih dari parpol melalui pemilu. Lembaga ini mempunyai fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran disertai hak-hak parlemen seperti hak angket, hak interpelasi, hak bertanya, dan sebagainya. Jika kita bersepakat untuk mnganut sitem bikameral yang umum maka DPR dijadikan salah satu kamar di MPR sebagai kamar perewakilan politik yang berdampingan dengan DPD sebagai kamar perwakilan territorial dengan kekuasaan legislatif atau membentuk UU, minimal dalam hal-hal tertentu yang berkaitan dengan hubungan antara Pusat dan Daerah dan/atau dalam masalah otonomi daerah.

Presiden dan Wakil Presiden
Berdasar UUD hasil amandemen Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Gagasan yang mendasari kedudukan dan fungsi Presiden dengan pemilihan langsung ini adalah untuk membangun sistem pemerintahan Presidensiil murni lembaga kepresidenan yang legitimated dan kuat. Namun ternyata sulit menemukan ukuran ‘murni’ dari sistem Presidensial ini. Jika contoh Amerika Serikat dianggap sebagai sistem yang murni maka sistem Presiensial kita ternyata bukanlah sistem yang murni sebab Presiden di Indonesia mempunyai hak legislasi bersama dengan DPR untuk menetapkan UU. Padahal dapat dikatakan bahwa sistem Presidensial pada umumnya mengikuti Amerika Serikat yang tidak memberikan hak legislasi kepada Presiden. Di Amerika Serikat hak legislasi sepenuhnya berada di tangan Kongres (Parlemen) tetapi Presiden mempunyai hak veto dalam rangka checks and balances. Jadi perbedaan sistem presidensial kita dengan sistem presidensisl yang ‘dianggap’ murni atau umum, Presiden Indonesia mempunyai hak legislasi bersama DPR sedangkan di dalam sistem presidensial murni Presiden tidak ikut menetapkan UU tetapi mempunyai hak veto melalui mekanisme checks and balances. Meskipun sebagai pilihan politik masalah ini tidak salah, tetapi kalau mau mengikuti sistem Presidensial seharusnya Presiden tidak ikut mempunyai kekuasaan legislasi atau menetapkan UU.


Potensi krisis konstitusi dan politik
Salah satu alasan perlunya amandemen kelima dalam kaitan dengan jabatan Presiden/Wakil Presiden adalah adanya potensi terjadinya krisis konstitusi dan politik berkaitan dengan ketentuan jika Presiden dan Wakil Presiden berhalangan tetap secara bersamaan. Seperti diketahui jika Presiden dan Wapres berhalangan tetap secara bersamaan, misalnya, karena keduanya dikenakan impeachment (yang berujung pada pemberhentian) atau meninggal atau menyatakan berhenti dalam waktu yang bersamaan maka cara pengisiannya diatur di dalam pasal 8 ayat (3). Namun pasal 8 ayat (3) UUD 1945 itu agak bermasalah karena isi pengaturannya kurang tuntas. Pasal dan ayat tersebut memang mengatur tentang ini tetapi tidak mengantisipasi sama sekali kalau ternyata tidak muncul pasangan-pasangan calon sampai waktu yang ditentukan.[15]
Pasal 8 ayat (3) mengatur bahwa bilamana Presiden dan Wakil Presiden berhalangan tetap secara bersamaan maka kekuasaannya dilakukan oleh triumvirat menteri dalam negeri, menteri luar negeri, dan menteri pertahanan namun dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari setelah itu MPR harus bersidang untuk memilih salah satu pasangan dari dua pasangan yang diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang pada pemilu presiden sebelumnya memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua. Persisnya pasal tersebut berbunyi:

(3) Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.

Persoalannya adalah, bagaimana jika sampai waktu yang ditentukan salah satu atau kedua parpol atau gabungan parpol yang berhak ternyata tidak mengajukan calon? MPR tentu tak dapat memaksa parpol atau gabungan parpol yang dimaksud untuk mengajukan calon-calonnya. Bisa juga terjadi gabungan parpol yang tadinya mengajukan pasangan Presiden/Wapres yang kemudian mengundurkan diri itu tidak lagi mau bersama-sama mengajukan pasangan calon karena perbedaan politik, misalnya, salah satu parpol yang tadinya bergabung itu ternyata tidak lagi mau bergabung tanpa bermaksud mengajukan calon sendiri.
Harus diingat bahwa hal itu sangat mungkin terjadi karena perhitungan politik dari parpol atau gabungan parpol yang berhak mengajukan pasangan calon. Salah satu perhitungan politik yang mungkin dipergunakan untuk tidak mengajukan pasangan calon adalah karena perimbangan hasil pilihan rakyat dan hasil pilihan MPR belum tentu sama. Pasangan yang dipilih dengan suara terbanyak dalam pemilihan langsung oleh rakyat belum tentu mendapat suara terbanyak juga jika dipilih oleh MPR.
Marilah kita simulasikan dengan kedudukan Presiden dan Wapres Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (SBY-JK) sekarang ini. Misalkan SBY-JK diberhentikan oleh MPR atau keduanya meninggal dunia atau keduanya mengundurkan diri (menyatakan berhenti) secara bersamaan. Dalam hal terjadi yang demikian maka menurut pasal 8 ayat (3) jabatan Presiden/Wapres dipegang oleh triumvirat (mendagri, menlu, dan menhan) dan dalam waktu 30 hari setelah itu MPR bersidang untuk memilih satu pasangan calon pengganti Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan yang diajukan oleh Partai Demokrat dan PDI-P dan koalisinya masing-masing. Dalam keadaan demikian bisa saja Partai Demokrat tidak mengajukan calon karena dengan jumlah kursi yang kecil di MPR lebih mungkin untuk kalah jika dibandingkan dengan PDI-P yang suara dan jaringannya lebih besar di MPR. Bahkan mungkin juga keduanya tidak mengajukan calon karena pertimbangan politik tertentu, misalnya karena waktunya terlalu pendek untuk mempertaruhkan reputasi partai atau tokoh yang akan diusung. Bagaimana jika hal itu terjadi? Inilah yang tidak diantisipasi oleh pembuat perubahan UUD 1945. [16]
Oleh sebab itu menjadi penting untuk dipikirkan adanya pengaturan yang jelas tentang ini. Pengaturan tersebut hanya dapat ditempatkan di dalam konstitusi karena masalahnya menyangkut muatan konstitusi yang tak dapat diatur dengan UU. Banyak alternatif yang harus dicari dan dapat dipertimbangkan untuk mengisi jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang berhalangan secara bersamaan. Berikut ini contoh alternatif yang dapat dipertimbangkan untuk simulasi.
1. Jika keadaan berhalangan tetap itu terjadi sebelum dua tahun berakhirnya masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang bersangkutan maka diadakan pemilihan kembali secara langsung oleh rakyat dengan memilih salah satu pasangan dari pasangan yang diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang mendapat dukungan minimal 35% suara hasil pemilu legislatif.
2. Jika dari persyaratan butir 1 ternyata hanya muncul satu pasangan calon yang memenuhi syarat maka MPR menetapkannya sebagai pasangan calon yang menggantikan Presiden dan Wakil Presiden yang berhalangan tetap secara bersamaan.
3. Jika keadaan berhalangan tetap itu terjadi setelah sisa masa jabatan kurang dari dua tahun maka penggantian Presiden dan Wakil Presiden dilakukan menurut ketentuan pasal 8 ayat (3).
4. Jika dari persyaratan seperti yang ditentukan pasal 8 ayat (3) hanya muncul satu pasangan calon maka hak pencalonan untuk satu pasangan calon berikutnya diberikan secara berturut-turut kepada parpol atau gabungan parpol yang pasangannya meraih urutan ketiga dan seterusnya pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebelumnya.
5. Jika gabungan parpol yang semula mengusung pasangan calon yang berhak mengajukan ternyata tidak dapat lagi bergabung untuk mengajukan pasangan calon secara bersama maka parpol yang mempunyai kursi terbanyak di DPR di anatara gabungan parpol itu yang berhak mengajukan pasangan calon sebagaimana diatur di dalam pasxal 8 ayat (3).
6. Jika berdasar persyaratan pada butir 4 tetap muncul hanya satu pasangan calon maka MPR menetapkan satu pasangan calon tersebut sebagai pengganti Presiden dan Wapres yang berhalangan tetap.
7. Jika keadaan berhalangan tetap itu terjadi setelah sisa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden kurang dari enam bulan maka jabatan Presiden dan Wakil Presiden dipegang oleh triumvirat sebagaimana dimaksud pasal 8 ayat (3) sampai habis masa jabatannya.
Alternatif tersebut dibuat untuk sekadar memancing dan mengembangkan gagasan untuk mengantisipasi terjadinya krisis politik karena buntunya pelaksanaan pasal 8 ayat (3). Berbagai alternatif lain dapat disimulasikan untuk pada akhirnya dicarikan baju hukum yang tepat penuangannya.

Mahkamah Agung (MA)
Kedudukan, fungsi, dan kewenangan MA sebagaimana diatur di dalam UUD 1945 hasil amandemen sudah tepat dan sesuai dengan sistem ketatanegaraan yang diinginkan. MA merupakan salah satu lembaga pemegang kekuasaan kehakiman yang menangani perkara-perkara konvensional dengan empat lingkungan peradilan yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Dalam bidang peraturan perundang-undangan MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi.
Namun agar ada jaminan konsistensi yang lebih kuat dalam pengujian peraturan perundang-undangan sebaiknya disatuatapkan di bawah MK, sedangkan beberapa wewenang MK yang sifatnya konvensional atau umum (yakni menangani konflik antara orang dan atau lembaga) dialihkan ke MA. Dengan demikian ada satu atap penanganan konflik antar orang dan atau lembaga oleh MA (peradilan umum-konvensional) dan penanganan konflik peraturan melalui judicial review oleh MK (peradilan ketatangeraan). Untuk itu perlu amandemen atas pasal 24, 24A dan 24C UUD 1945.

Mahkamah Konstitusi (MK)
Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga kekuasaan kehakiman di samping MA yang khusus menangani peradilan ketatanegaraan. Lembaga ini berwenang menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa antar lembaga negara yang kewenangannya diatur di dalam UUD, memutus sengketa hasil pemilu, dan memutus pembubaran parpol. Sedangkan kewajiban MK adalah memutus pendapat atau dakwaan (impeachment) DPR bahwa Presiden/Wakil Presiden telah melanggar hal-hal tertentu di dalam UUD 1945 atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden
Harus diakui kehadiran lembaga ini telah banyak memberi sumbangan bagi penyehatan sistem ketatanegaraan dan hukum kita. Memang adakalanya lembaga ini mendapat banyak sorotan karena beberapa putusannya yang kontroversial, tetapi pada umumnya sudah biasa jika putusan pengadilan ditanggapi secara kontroversial sebab yang menang merasa mendapat keadilan sedangkan yang kalah merasa diperlakukan tidak adil.
Terkait dengan eksistensi MK ini memang ada persoalan, yakni langkah-langkah adanya beberapa vonis MK yang dinilai melampaui batas kewenangan dan masuk ke ranah legislatif padahal putusannya bersifat final dan mengikat. Selain itu,seperti disebutkan di atas, pengaturan konstitusi tentang pengujian peraturan perundang-undangan telah sedikit merancukan konsentrasi kekuasaan kehakiman dalam penanganan antara konflik peraturan dan konflik orang dan atau lembaga.
Untuk masalah yang pertama, ada beberapa putusan MK yang bersifat ultra petita (tidak diminta) yang mengarah pada intervensi ke dalam bidang legislasi; ada juga putusan yang melanggar asas nemo judex in causa sua (larangan memutus hal-hal yang menyangkut dirinya sendiri), serta putusan yang cenderung mengatur atau putusan yang didasarkan pada pertentangan antara satu UU dengan UU lain padahal judicial review untuk uji materi yang dapat dilakukan oleh MK adalah bersifat vertikal yakni konstitusionalitas UU terhadap UUD, bukan masalah benturan antara satu UU dengan UU lainnya. Karena itu MK sering dinilai menjadikan dirinya sebagai lembaga yang super body karena dengan selalu berlindung di dalam ketentuan UUD bahwa putusannya bersifat final dan mengikat lembaga ini adakalanya membuat putusan-putusan yang justeru melampaui kewenangan konstitusionalnya. Contoh kasus yang sampai sekarang menjadi ganjalan adalah putusan MK yang menyatakan bahwa Hakim Konstitusi bukan termasuk hakim yang dapat diawasi oleh Komisi Yudisial sehingga tidak ada lembaga yang dapat mengawasi MK kecuali “Tuhan” atau masyarakat melalui pengawasan-pengawan yang tidak formal dan tidak melembaga .
Oleh sebab itu menjadi wajar jika ada gagasan agar ada amandemen UUD yang dapat membatasi kewenangan dan dapat mengontrol MK. Arahnya adalah larangan bagi MK agar tidak membuat ultra petita (putusan yang tak diminta oleh pemohon), putusan yang bersifat mengatur, dan putusan yang mengabulkan permohonan pembatalan atas hal-hal yang secara atributif diserahkan oleh UUD kepada lembaga legislatif. Arah lain dari amandemen atas ketentuan tentang MK ini adalah perlunya pengawasan eksternal yang dapat dilakukan oleh KY atas Hakim Konstitusi dengan memberi landasan konstitusional baru, larangan memutus hal-hal yang terkait dengan dirinya (asas nemo judex in causa sua). Selain itu arah amandemen juga perlu meletakkan pengujian semua peraturan perundang-undangan di bawah atap MK.

Komisi Yudisial (KY)
Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang dibentuk di dalam rumpun kekuasaan kehakiman, tetapi bukan lembaga pemegang kekuasaan kehakiman. Menurut putusan MK No. 005/2006 lembaga ini merupakan supporting institution yang khusus dibentuk sebagai lembaga pengawas eksternal bagi lembaga kekuasaaan kehakiman. Menurut UUD lembaga ini berhak mengusulkan calon hakim agung dan mempunyai wewenang lain untuk menjaga martabat, kehormatan, dan perilaku hakim.
Namun dalam pelaksanaan tugasnya ternyata langkah-langkah KY ditanggapi secara kontroversial. Bahkan kewenangan lembaga ini dipangkas melalui putusan judicial review oleh MK berdasar permohonan yang dialakukan oleh 30 orang hakim agung.
Banyaknya laporan masyarakat ke KY tentang perilaku hakim menyebabkan KY membaca vonis pengadilan bahkan memanggil hakim untuk diperiksa. Langkah ini dianggap dapat mengganggu kemandirian hakim dan dapat mempengaruhi proses perkara yang sedang berlangsung di pengadilan. Oleh sebab itu ada usulan agar KY hanya menangani perilaku hakim dalam hal-hal yang tak ada hubungannya dengan perkara, artinya KY hanya dapat menangani hal-hal yang terkait dengan etika saja sebab urusan perkara sudah sepenuhnya diawasi oleh MA. Bahkan ada yang mengusulkan agar KY ditempatkan di bawah MA, atau tetap mandiri tetapi ketuanya dirangkap secara ex-officio oleh Ketua MA.
Namun ada yang sebaliknya mengusulkan agar Ketua KY lah yang secara ex officio berada di atas ketua MA. Kontroversi tersebut sebenarnya lebih emosional daripada rasional.
Bagi pemakalah kedudukan dan fungsi KY sebagaimana diatur di dalam UUD sekarang sudah tepat, namun perlu penegasan kembali. Putusan MK bahwa KY hanyalah supporting institution dapat benar dalam kaitannya dengan kekuasaan kehakiman, tetapi dapat ditegaskan bahwa sebagai lembaga pengawas eksternal kedudukan KY bukan supporting malinkan dapat juga disebut sebagai main institution. Oleh sebab itu sebagai lembaga negara kedudukan KY sejajar dengan MK maupun MA.
Amandemen atas UUD 1945 perlu dilakukan untuk menegaskan fungsi-fungsi tersebut yang pada pokoknya mengarah pada penguatan KY sebagai lembaga pengawasan ekternal dalam kekuasaan kehakiman yang selain mengawasi Hakim Agung dan hakim-hakim di lingkungan MA juga mengawasi Hakim Konstitusi. Dengan pandangan ini maka pasal 24B yang mengatur KY perlu diamandemen dan disinkronkan kembali dengan npasal 24A dan pasal 24C.

PENUTUP: PERUBAHAN TENTANG CARA PERUBAHAN
Dari uraian di atas tampak jelas bahwa amandemen lanjutan atas UUD 1945 hasil perubahan yang ada sekarang ini memang diperlukan. Perlunya amandemen lanjutan itu bukan karena yang ada sekarang ini salah, sebab sebagai pilihan politik isi UUD itu tidak terkait dengan soal benar atau salah dan tidak terkait dengan soal baik atau jelek melainkan karena dua alasan:
Pertama, karena ada perkembangan baru sehingga diperlukan resultante baru. Termasuk dalam alasan ini karena terjadi perubahan poleksosbud di dalam masyarakat dan karena pelaksanaan atas isi UUD yang ada menimbulkan persoalan baru yang tadinya tidak diperkirakan padahal masalahnya adalah materi muatan konstitusi sehingga hanya bisa diperbaiki melalui amandemen konstitusi.[17]
Kedua, karena ada masalah-masalah yang tadinya terlewatkan untuk diatur di dalam konstitusi padahal masalah-masalah tersebut hanya dapat diatur di dalam konstitusi (sebagai muatan konstitusi) baik sebagai masalah yang berdiri sendiri maupun karena harus menjadi rangkaian dari ketentuan konstitusi yang sudah ada.
Meski dari uraian tdi atas tampak jelas bahwa ada keperluan untuk melakukan amandemen lanjutan atas UUD 1945 namun harus ada yang diperioritaskan lebih dulu yakni perubahan atas cara (prosedur) perubahan yang diatur di dalam pasal 37 UUD 1945 hasil perubahan yang ada sekarang ini. Mengapa?
Berbagai diskusi mendalam tentang amandemen lanjutan itu, seperti terlihat juga di dalam ToR yang dikirimkan oleh Panitia Konvensi ini kepada pemakalah, menghendaki dilakukannya perubahan lanjutan secara komprehensif. Padahal ketentuan pasal 37 UUD 1945 yang berlaku sekarang hampir tidak memungkinkan dilakukannya perubahan secara komprehensif. Prosedur perubahan yang ada sekarang menghendaki perubahan itu dilakukan dengan menunjuk pasal-pasal tertentu yang diusulkan untuk diubah disertai alasan dan perubahannya sehingga menyulitkan kita mengusulkan satu paket perubahan yang sistematis, saling terkait, dan komprehensif. Tepatnya problem tersebut dapat dilihat dari ketentuan pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi:
(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.

Ketentuan pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) tersebut jelas menentukan bahwa perubahan hanya dilakukan pada pasal-pasal yang dianggap perlu diubah dan tidak secara satu paket yang komprehensif. Oleh sebab itu jika kita menghendaki dilakukannya amandemen lanjutan secara komprehensif yang pertama-tama harus dilakukan adalah mengubah atau mengamandemen pasal 37 UUD 1945 hasil amandemen yang ada sekarang ini agar membuka peluang bagi dilakukannya perubahan secara komprehensif itu. Selama pasal 37 tersebut belum diamandemen hampir tak mungkin bagi kita mengagendakan amandemen lanjutan yang komprehensif.
Perubahan atas pasal 37 tentang cara perubahan itu haruslah mempertimbangkan berbagai alternatif tentang cara perubahan serta institusi yang melakukannya yang sekarang ini banyak dikemukakan oleh para pakar. Seperti diketahui ada yang mengusulkan agar perubahan dilakukan melalui pembentukan satu Komisi Negara yang netral yang khusus dibentuk untuk menyiapkan rancangan perubahan UUD yang hasilnya dapat ditetapkan oleh MPR melalui korum tertentu. Ada juga yang mengusulkan, misalnya yang tercantum sebagai salah satu alternetif yang ditawarkan oleh Komisi Kosntitusi, agar perubahan itu dilakukan melalui referendum (permintaan pendapat secara langsung kepada rakyat) atas sebuah rancangan UUD yang disiapkan dengan matang oleh sebuah Komisi Negara. Pengusul referendum beralasan bahwa UUD itu merupakan kontrak politik yang maha penting sehingga harus ditentukan sendiri oleh rakyat.
Dari berbagai alternatif tentang cara perubahan itu perubahan atas pasal 37 UUD 1945 hasil amandemen dapat diarahkan, misalnya, pada materi-materi sebagai berikut:
Pertama, Perubahan UUD ditetapkan oleh MPR dengan dukungan suara minimal separuh lebih satu dari seluruh anggota MPR tetapi naskahnya disiapkan oleh sebuah Komisi Negara yang khusus dibentuk untuk menyiapkan rancangan UUD. Dalam cara yang demikian MPR tinggal melakukan pemungutan suara tanpa membahas lagi rancangan yang telah disiapkan oleh Komisi Negara tersebut. Sedangkan anggota Komisi Negara harus terdiri dari negarawan atau tokoh-tokoh yang integritasnya dikenal luas serta tidak partisan. Komisi Negara dapat dibentuk oleh MPR yang anggota-anggotanya dapat diusulkan oleh Presiden, masayarakat, dan lembaga-lembaga lain yang dianggap perlu.
Kedua, Perubahan UUD dilakukan melalui referendum atas rancangan perubahan yang disiapkan oleh sebuah Komisi Negara yang dibentuk oleh Presiden. MPR harus mengesahkan hasil referendum tanpa pemungutan suara lagi. Jika alternatif ini yang dipilih maka bersamaan dengan perubahan atas pasal 37 harus pula diubah ketentuan pasal 2 ayat (3) yang menentukan bahwa “Segala putusan MPR ditetapkan dengan suara yang terbanyak” agar terbuka kemungkinan bahwa untuk perubahan UUD MPR tidak harus mendasarkan pada suara terbanyak melainkan langsung menyetujui hasil referendum.
Alternatif-alternatif lain tentang cara perubahan itu masih dapat bahkan perlu dikemukakan, yang penting pasal 37 yang berlaku sekarang harus diamandemen dulu agar kita dapat melakukan amandemen lanjutan secara komprehensif. Tanpa perubahan lebih dulu atas pasal 37 UUD 1945 hasil amandemen yang berlaku sekarang hampir tak mungkinlah kita dapat melakukan amandemen lanjutan atas atas UUD 1945 secara komprehensif.
Daftar Pustaka
Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, CV Mandar Maju, Bandung, 1995.
Carl J. Friedrich, Constitutional Government and Democracy: Theory and Practice in Europe and America, Weldham, Mass: Blaisdell Publishing Conmpany, 5th edition, 19673.
Edward S. Corwin dan JW Peltason, Understanding Constitution, Holt, Rinehart and Winston, Inc., New York, Chicago, San Fransisco, Toronto, London, 1967.
Erwin Chemerinsky, Constitusional Law: Principles and Policies, Aspen Law and Business, New York, 1997.
James A. Curry, Ricard B. Railey, dan Richard M. Battistoni, Constitutional Government, The American Experince (1989),
Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional di Bebagai Negara, Konstitusi Pers, Jakarta, 2005.
KC Wheare, the Modern Constitutions, Oxford University Press, 3rd Impression, London-New York, Toronto, 1975.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Setjen MPR-RI, Cet. III, Juni 2007.
Moh. Mahfud MD, Perkembangan Politik Hukum, Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Karakter Produk Hukum, disertasi Bidang Ilmu Hukum di Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1993.
Moh. Mahfud MD, Amandemen Konstitusi dalam Rangka Reformasi Tata Negara, UII Press, Yogyakarta, 1999.
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006..
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2007.
Moh. Mahfud MD, Hukum Tak Kunjung Tegak, PT Citra Aditya Bhkati, Bandung, 2007.
RAB Kusumah, Lahirnya UUD 1945, Penerbit Fakultas Hukum UI, Jakarta, 2004.
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, cet. IV. 1978.
Thomas Paine, Rights of Man (1792), Constitution Society http://www.constitution/ org/tp/rightsma2.htm 9 Maret 2003.











[1] Disampaikan pada Konvensi Hukum Nasional UUD 1945 Sebagai Landasan Konstitusional Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional – Departemen Hukum dan HAM di Jakarta tanggal 15-16 April 2008.
[2] Guru Besar Fakultas Hukum UII dan Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
[3] Substansi Bagian ini pernah disampaiakn dalam diskusi di Fraksi PKB MPR , tanggal 10 Januari 2008.
[4] Yang asli di sini dimaksudkan sebagai UUD yang ditetapkan pertama kali oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 yang kemudian diberlakukan lagi dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 setelah diantarai oleh berlakunya Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950.
[5] Istilah resminya adalah “perubahan” tetapi di dalam makalah ini istilah perubahan dipergunakan secara sama dengan istilah amandemen sebab secara istilah amandemen itu memang berarti perubahan.
[6] Pemakalah lebih setuju menggunakan istilah amandemen lanjutan sebab kenyataaanya meski secara formal memang benar UUD 1945 diubah empat kali, tetapi secara substansial sebenarnya hanya diubah satu kali tetapi disahkan secara bertahap empat kali. Perubahan UUD 1999-2002 itu merupakan satu rangkaian yang desain-nya disepakati pada Oktober 1999 sedangkan pembahasannya dilakukan secara terus menerus selama 3,5 tahun tetapi pengesahannya dilakukan setiap bulan Agustus sesuai dengan tahapan yang dicapai dari satu masa sidang ke masa sidang berikutnya. Jadi perubahan itu sebenarnya hanya satu rangkaian pelaksanaan ide (desain) yang formalitas pengesahannya dilakukan dalam empat tahap sidang. Kalau dilakukan perubahan empat kali berarti yang sudah diubah pada satu Sidang Tahunan MPR diubah lagi pada Sidang Tahunan MPR berikutnya; padahal tidak ada sama sekali perubahan atas perubahan sebab yang ada hanya kelanjutan dari suatu konsep yang ditetapkan sejak awal.Tetapi penggunaan istilah ini tidaklah substantif sehingga pemakalah tidak keberatan jika ada yang menggunakan istilah amandemen kelima karena yang dilakukan MPR (1999-2002) merupakan empat kali perubahan.
[7] Di sini Pancasila selalu dijadikan satu nafas dengan UUD 1945, padahal keduanya berbeda karena yang satu (pancasila) tidak dapat diubah sebagai modus vivendi dan staatsfundamentalnorms, sedangkan yang satunya (UUD 1945) bias diubah dengan resultante baru.
[8] Pemakalah lebih suka mengikuti pendapat Satjipto Rahardjo bahwa istilah founding fathers sebaiknya diganti dengan istilah founding people sebab anggota BPUPKI dan PPKI yang dianggap sebagai pendiri negara itu ada anggota wanitanya.
[9] Istilah diberhalakan atau pemberhalaan atas UUD 1945 ini pemakalah ambil dari ungkapan yang sering dikemukakan oleh mantan Ketua PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif.
[10] Saat fit and proper test untuk seleksi calon Hakim Konstitusi tanggal 12 Maret 2008 yang lalu pemakalah mengemuakan 10 rambu yang tidak boleh dilakukan oleh MK karena kesepuluh hal yang dirambukan tersebut melanggar ke ranah legislatif atau melampaui batas kewenangan MK sebagai lembaga yudisial.
[11] Lihat dalam RAB Kusumah, Lahirnya UUD 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004.
[12] Faktanya berlaku dalil Lord Acton bahwa kekuasaan itu cenderung korup, sehingga pejabat yang tadinya baik setelah berkuasa menjadi korup juga jika sistemnya tidak ketat menutup atau membatasi peluang-peluang korupsi itu.
[13] Pemakalah tidak dapat menyebut sumber kutipan ini secara persis karena pendapat Taufik Abdullah tersebut pemakalah baca di koran Media Indonesia dalam satu penerbangan dari Yogyakarta ke Jakarta sekitar akhir 1998 yang hari dan tanggalnya pemakalah lupa. Namun isinya sangat masuk akal.
[14] Bagian ini sampai beberapa bagian ke bawah disunting dari tulisan penulis yang disumbangkan dan dimuat di dalam buku “Menuju Sistem Presidensial yang Kuat” yang disusun oleh Tim Kajian Konstitusi Fraksi PKB MPR RI tahun 2007 yang pemakalah sendiri menjadi ketuanya.
[15] Pada pertengahan Maret 2007 pemakalah pernah mendiskusikan ini dengan Ketua MPR Hidayat Nurwahid tetapi sampai pada kesimpulan yang sama bahwa UUD 1945 hasil empat kali perubahan tidak mengantisipasi hal tersebut dan itu dapat menimbulkan krisis politik.
[16] Bisa juga terjadi kalau misalnya Partai Bulan Bintang yang tadinya (konon) ikut mengusung pasangan SBY-JK bersama Partai Demokrat ternyata tidak mau lagi ikut mengusung calon pasangan baru bersama Partai Demokrat.
[17] Misalnya adanya putusan MK yang ternyata salah atau menimbulkan problem padahal putusan tersebut bersifat final dan mengikat. Ada kasus sengketa hasil pemilu yang oleh MK gugatannya ditolak tetapi ternyata pelakunya dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan umum karena ternyata memang melakukan kecurangan. Contoh lain adalah putusan MK yang mengeluarkan Hakim Konstitusi dari lingkup atau cakupan pengawasan oleh Komisi Yudisial padahal kita, misalnya, menghendaki Hakim Konstitusi itu diawasi juga oleh KY. Karena masalah ini merupakan materi muatan konstitusi maka pembenahannya haruslah melalui amandemen konstitusi.

Selamat Datang

Selamat datang di komunitas dialektika hukum. Kami akan menemani anda menikmati etalase pemikiran hukum yang berkembang di Indonesia.