Selasa, 03 Februari 2009

Geliat


Yang membuatku berpindah profesi dari menjadi seorang penjual bunga menjadi seorang wartawan adalah rasa penasaran yang amat sangat atas musibah yang menimpa tetanggaku. Aku masih belum bisa mengerti bagaimana orang yang kukenal berbudi pekerti luhur, banyak beramal untuk masyarakat, bisa terperangkap di balik jeruji besi kantor polisi yang letaknya tak jauh dari rumahku.
Aku masih ingat betul ketika Pak Sasongko, tetanggaku yang budiman itu membagi-bagikan sembako dan uang untuk masyarakat kampung saat menjelang lebaran. Aku juga ingat di bulan puasa kemarin ia masih sempat mengundang anak-anak yatim, pengemis dan gelandangan di sekitar kampung untuk diajak berbuka puasa bersama, dan setelah itu disisipi amplop yang berisi uang lima puluh ribuan di masing-masing kantong mereka.
“Itu uang hasil korupsi Bung…” begitu kata Mas Beni, yang biasa nongkrong di pos ronda di kampungku. Mas Beni dulu adalah aktivis mahasiswa di Era 90an, yang setelah lulus dari FISIPOL menjadi pengusaha pupuk. Aku tak percaya begitu saja dengan ucapan Mas Beni, aku hanya percaya apa yang terlihat oleh mataku. Aku ingat waktu masih kecil dulu, aku mendengar nasihat dari ayahku bahwa jangan pernah menyalahkan orang hanya berdasarkan praduga. Harus ada fakta yang diperkuat oleh saksi. Bahkan jika saksi itu hanya satu, masih tak boleh kita menjatuhkan vonis. “Satu saksi bukan saksi” begitu kata ayahku dulu.
Aku tak terbiasa mengkonfrontir pendapat orang, aku hanya tersenyum kecut mendengar ucapan Mas Beni itu. Lebih baik aku melanjutkan menggunting dan menyiram bunga-bunga dagangan di taman depan rumahku.
Tapi berita masuknya Pak Sasongko ke penjara, membuatku harus mencari Mas Beni untuk mencari tahu lebih jauh apa yang terjadi, sekaligus membeli pupuk.
“Bagaimana Mas Beni bisa tahu kalau Pak Sasongko Korupsi?”
“Ha…ha…ha….. itu mudah saja Bung… semua orang di kota ini tahu. Kau kemana saja? Ha…ha…ha…” tawa Mas Beni begitu kuat hingga aku harus menarik mundur tubuhku, menjauhkan telingaku dari hantaman suara tawa yang menggelegar.
Tak ada yang harus ditanggapi. Aku memang terlalu asyik dengan bunga-bungaku. Bagiku, keindahan hidup ini adalah ketika aku menata bunga-bunga di tamanku, menghirup aroma yang dikeluarkan berbagai ragam bunga, dan kemudian ada seseorang yang ikut terusik keindahan itu dan membelinya. Itu saja.
Meski begitu, harus aku akui, bunga-bunga itu bisa indah mewangi harum semerbak, adalah atas jasa Mas Beni sebagai penjual pupuk. Tanpa pupuk Mas Beni, aku pun tak bisa menikmati keindahan bunga-bungaku.
“Sebelum menjadi pengusaha pupuk, aku pernah bekerja selama sepuluh tahun dengan Pak Sasongko. Aku tahu betul bagaimana ia bisa dengan mudah mendapatkan tender-tender besar. Aku tahu seberapa besar Pak Sasongko harus memberikan amplop yang berisi jutaan rupiah kepada banyak pejabat yang berkuasa atas disetujui atau tidaknya tender-tender yang ada di Ibukota. Akulah orang yang mengantarkan amplop-amplop itu pada mereka.”
“Bukankah wajar kita memberikan sesuatu pada orang lain untuk menjaga hubungan baik?” Aku masih tak mengerti.
“Ha…ha…ha…..” tawa Mas Beni makin menggelegar. “Tak selamanya yang terlihat oleh mata kita adalah sebuah fakta Bung….!” Suara Mas Beni mulai meninggi.
Aku tak percaya, bagiku, fakta adalah apa yang tertangkap oleh mataku. Tapi aku diam saja. Tak ada keberanian untuk berbeda pendapat dengan Mas Beni secara frontal. Aku takut kalau ia tersinggung dan tak mau menjual pupuknya kepadaku. Kalau itu sampai terjadi, bunga-bungaku pasti tak bisa mekar semerbak mewangi, tak ada lagi keindahan.
Setelah berterima kasih atas pupuk yang amat menyuburkan dari Mas Beni, aku segera pamit pulang. Tapi kekagumanku pada Pak Sasongko membuatku terus berpikir di sepanjang perjalanan pulang.
Aku harus mencari tahu lebih serius apa yang terjadi. Keindahan bunga-bungaku semakin tak terasa, terkalahkan oleh kerisauan mencari jawaban atas apa yang sebenarnya menjadi penyebab dipenjarakannya Pak Sasongko. Tapi itu bukan pekerjaan mudah. Pasti membutuhkan dana besar untuk bisa menelusuri satu-persatu informasi yang berkaitan dengan sepak terjang Pak Sasongko.
Tuhan Maha Mendengar. Seniorku sewaktu aku kuliah dulu tiba-tiba menelponku dan mengajakku untuk bergabung dengan Media Massa yang dipimpinnya. Sewaktu kuliah aku memang pernah bergabung dengannya menjadi wartawan di Media Penerbitan Kampus. Aku langsung menerimanya. Mungkin ini memang jalanku untuk bisa mengungkap apa yang terjadi dengan Pak Sasongko. Sementara waktu aku harus meninggalkan bunga-bunga kesayanganku….sampai jumpa bunga-bungaku.

Selamat Datang

Selamat datang di komunitas dialektika hukum. Kami akan menemani anda menikmati etalase pemikiran hukum yang berkembang di Indonesia.