Jumat, 20 Februari 2009

ARAH PENGEMBANGAN KEKUASAAN

ARAH PENGEMBANGAN KEKUASAAN
KEHAKIMAN KE DEPAN
Oleh :
Harifin A. Tumpa



I. Pendahuluan
Di dalam pasal 24 UUD 1945 yang kemudian dipertegas di dalam UU No.4 Tahun 2004 dinyatakan bahwa :
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Konsekwensi dari ketentuan ini, maka terjadi perubahan yang mendasar dengan adanya sistem satu atap (one roof system). Sistem ini semula menimbulkan kekhawatiran karena dianggap tidak ada lagi yang mengawasi hakim, sehingga dikhawatirkan terbuktinya dalil, bahwa kekuasaan tanpa pengawasan akan terjadi kesewenang-wenangan bahkan ada yang mengkhawatirkan terjadinya tirani monoritas yang dilakukan pengadilan.
Kekhawatiran ini berlebihan :
Pertama : Satu atap tidak terkait dengan fungsi yudisial, karena sistem satu atap hanya menyangkut organisasi, administrasi dan keuangan. Ketiga fungsi ini tadinya berada ditangan eksekutif (Departemen Kehakiman), sedangkan fungsi yudisial, sejak dahulu memang sudah satu atap. Hal ini sesuai dengan asas yang berlaku di dalam negara hukum, segala campur tangan kekuasaan kehakiman dilarang. Ketua Mahkamah Agung sekalipun tidak dapat mencampuri wewenang Hakim atau Majelis Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara.
Kedua : Hubungan antar Hakim dengan pencari keadilan adalah hubungan yang bersifat kedinasan. Hakim sebagai pemberi keputusan hukum dan pencari keadilan sebagai pihak yang harus menerima keputusan hukum itu. Hakim di dalam memberi keputusan hukum terikat atas hukum baik hukum materil maupun hukum acara, yang dapat dikoreksi secara berjenjang melalui upaya hukum, banding dan kasasi bahkan dengan upaya hukum luar biasa atau peninjauan kembali. Jadi disini tidak ada hubungan antara minoritas dan mayoritas. Sistem satu atap adalah merupakan sebuah harapan bahwa kalau urusan pengadilan diurus sendiri oleh pengadilan maka tentunya akan dilakukan dengan penuh perhatian sesuai apa yang di cita-citakannya. Harapan ini tentunya baru merupakan satu asumsi yang harus dibuktikan bahwa satu atap lebih baik dari dua atap dan bukan sebaliknya.
Harapan yang diharapkan dengan sistem satu atap itu adalah :
1. Pengelolaan kekuasaan kehakiman oleh pengadilan sendiri, akan menunjukkan kemandirian lembaga peradilan dan hukum ;
2. Pengelolaan administrasi, keuangan, organisasi dan personalia yang dilakukan sendiri akan lebih efektif dan efisien dan menghindari birokrasi yang berbelit-belit ;
3. Perencanaan dan peningkatan anggaran akan disesuaikan kebutuhan pengadilan secara spesifik, sehingga tugas pokok sebagai badan yudikatif berjalan sebagaimana mestinya.
Faktor satu atap yang dimaksud di atas, dimaksudkan agar tugas pokok lembaga peradilan sebagai benteng terakhir dari keadilan akan dapat berjalan sesuai dengan harapan masyarakat. Lembaga peradilan sebagai penegak hukum memerlukan penanganan yang serius dan sungguh-sungguh, karena citra penegak hukum termasuk Hakim saat ini masih sangat rendah.

II. Kondisi Lembaga Peradilan Saat Ini
Permasalahan pokok yang dihadapi lembaga peradilan saat ini adalah rendahnya kepercayaan sebagian orang terhadap lembaga penegak hukum pada umumnya dan khususnya lembaga peradilan. Saya katakan bahwa tingkat kepercayaan itu hanya untuk sebagian orang, dan biasanya hal inilah yang ditonjolkan dan diekspos media massa. Namun memang tidak dapat disangkal bahwa masih ada oknum-oknum pengadilan termasuk Hakim melakukan hal-hal yang tidak terpuji misalnya jual beli perkara yang berarti jual beli keadilan atau memutar balikkan hukum karena faktor-faktor tertentu.
Untuk menghadapi opini-opini yang negatif tersebut, Mahkamah Agung terus membenahi diri. Langkah-langkah yang diambil dapat digambarkan dibawah ini :
1. Pembenahan Manajemen Perkara.
Keluhan selama ini adalah berperkara di pengadilan memerlukan kesabaran karena kadang-kadang memerlukan waktu yang panjang. Namun hal ini telah diusahakan agar waktu yang panjang tersebut dapat dikurangi. Mahkamah Agung telah menginstruksikan kepada Hakim-hakim tingkat Pertama dan tingkat Banding, bahwa satu perkara sudah harus diputus dalam waktu 6 bulan. Hal ini dalam beberapa tahun terakhir ini telah berjalan dengan baik, yang masih terkendala adalah perkara yang dimohonkan kasasi dan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Sampai saat ini Mahkamah Agung belum dapat menentukan berapa lama suatu perkara di Mahkamah Agung dapat diselesaikan. Ada Majelis Hakim Agung yang memang cepat memeriksa perkara tetapi ada juga Hakim Agung yang lambat memeriksa dan memutus perkara.
Ada beberapa sebab terjadinya kendala tersebut, antara lain :
a. Masih banyaknya tunggakan perkara.
Perbandingan antara perkara yang masuk dan putus tidak seimbang. Hal ini disebabkan karena hukum acara kita tidak membatasi perkara yang dapat dimohonkan kasasi. Sebagai gambaran bahwa rata-rata perkara yang masuk setiap tahun adalah 8.000 sampai 10.000 perkara, sedangkan yang dapat diputus hanya ± 6.000 sampai 7.000 perkara setiap tahun. Namun selama 2 tahun terakhir ini tunggakan perkara tersebut sedikit demi sedikit dapat dikikis.
Sebagai gambaran terlihat data-data sebagai berikut :
Pada akhir tahun 2004 jumlah perkara tunggakan di Mahkamah Agung adalah sebesar ± 20.000 perkara. Pada tahun 2005 perkara yang masuk 7.235 perkara, sedangkan yang dapat diputus adalah 11.807 perkara , artinya terdapat pengikisan perkara ± 2.500 berkas perkara, sisa perkara akhir tahun 2005 adalah 15.909 perkara. Perkara yang masuk dari Januari 2006 s/d Maret 2007 10.460 perkara, sedangkan yang berhasil diputus s/d Maret 2007 adalah 15.245 perkara, artinya pengikisan hampir 5.000 perkara. Tunggakan pada tanggal 31 Maret 2007 adalah ± 9.000 perkara, kalau produktifitas Hakim Agung tetap konsisten maka diharapkan 2 tahun kedepan Mahkamah Agung tidak dibebani lagi tunggakan perkara sehingga Mahkamah Agung dapat menentukan waktu penyelesaian perkara yang sama dengan pengadilan tingkat Pertama dan tingkat Banding.
b. Masih lambatnya minutasi perkara.
Pemutusan perkara yang cepat tidak diimbangi dengan minutasi yang cepat, karena beberapa faktor antara lain, tenaga operator yang kurang dan tidak terampil, uang insentif yang tidak memadai.

2. Pengembangan Transparansi Putusan Hakim.
Walaupun di dalam setiap putusan mulai dari tingkat Pertama sampai tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali, selalu dicantumkan diputuskan dan diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum, namun hal ini tidak menjamin sepenuhnya transparansi, karena pada umumnya putusan pengadilan tingkat Banding maupun Kasasi dan Peninjauan Kembali tidak dihadiri oleh publik. Akibatnya adalah kadang-kadang terjadi penyalahgunaan kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari situasi yang tidak dihadiri oleh pihak-pihak dan publik. Untuk mengatasi hal tersebut, Mahkamah Agung sedang mengembangkan Web Site yang dapat diakses oleh publik. Perkara yang telah diputus dapat segera diketahui oleh pihak-pihak dan publik melalui Web Site Mahkamah Agung (www.Mahkamah Agung. go.id). Namun masih harus diakui bahwa data-data yang dimaksud belum sepenuhnya akurat, karena proyek ini masih baru dan input data belum punya pengalaman sehingga sering terjadi kekeliruan.

3. Pembinaan dan Pengawasan Professi.
a. Pembinaan Profesi Hakim.
Ada dua syarat yang harus dimiliki oleh seorang Hakim, yang keduanya sama pentingnya ibarat dua sisi dari sebuah mata uang, yaitu mempunyai ilmu pengetahuan yang cukup dan mempunyai integritas moral yang tinggi. Tanpa kedua syarat tersebut, maka seorang Hakim tidak akan dapat dikategorikan sebagai Hakim yang baik dan handal.
Perkembangan dunia ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum sangat pesat. Oleh karena itu penegak hukum khususnya Hakim harus terus menerus diberikan bekal agar mereka tidak ketinggalan ilmu pengetahuan hukum. Pemberian melalui pelatihan yang saat ini terus dilakukan oleh Mahkamah Agung, mengalami hambatan karena disebabkan kurangnya anggaran. Di dalam pelatihan-pelatihan yang diadakan Mahkamah Agung selalu ditekankan perlunya memelihara integritas. Dalam rangka menunjang peningkatan prilaku Hakim, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Pedoman Perilaku Hakim (code of conduct).
b. Pengawasan Profesi Hakim.
Ketentuan pasal 24 ayat 1 UUD 1945 berbunyi “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Dalam ayat (2) disebutkan “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Hal tersebut kemudian dijabarkan dalam ketentuan pasal 31 dan pasal 33 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 31 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman berbunyi :
“Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur di dalam Undang-Undang, sedangkan
Pasal 33 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman berbunyi :
“Dalam menjalankan fungsinya, Hakim menjaga kemandirian peradilan”.
Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang 1945 dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman di atas, kebebasan atau kemerdekaan diberikan kepada institusi pelaku kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung beserta badan-badan peradilan dibawah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Namun kebebasan/kemerdekaan institusional lembaga peradilan dengan sendirinya tercermin dalam kebebasan para Hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dimaksud. Oleh karena itu sebagai konsekwensi bahwa Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman (rechters als uitvoerder van rechterlijke macht) (pasal 31 UU Kekuasaan Kehakiman), Hakim wajib menjaga kemadirian peradilan (pasal 33 UU Kekuasaan Kehakiman) yang secara inheren dan secara individual mengandung kemandiriannya sebagai Hakim, sehingga seorang Ketua Pengadilan atau Ketua Pengadilan Tingkat Banding bahkan seorang Ketua Mahkamah Agung tidak boleh mengintervensi Hakim yang sedang menangani perkara. Seorang pimpinan pengadilan ataupun pihak-pihak yang merasa diri punya kewenangan untuk mengawasi Hakim tidak boleh mengintervensi Hakim dalam menjalankan kewenangan yudisialnya. Kemandirian peradilan tidak boleh dipertaruhkan dengan tindakan-tindakan yang dilakukan dengan berkedok sebagai mendisiplinkan Hakim yang nakal (Sandra Day O’Connor, mantan Hakim Agung A.S, 2005, “ Pentingnya Kemandirian Yudisial ” dalam jurnal USA“ Isu-Isu Demokrasi “).
Permasalahannya sekarang adalah sampai seberapa jauh Pengawasan Hakim itu dapat dilakukan. Pada hakekatnya pengawasan terhadap Hakim dapat dibagi dalam 3 (tiga) kategori :
a. Pengawasan Yang Bersifat Tekhnis Yudisial.
b. Pengawasan Yang Bersifat Administratif.
c. Pengawasan Atas Tingkah Laku Hakim.
ad. a. Pengawasan Yang Bersifat Tekhnis Yudisial.
Norma pengawasan yang berlaku universal di dalam semua sistem hukum yang dikenal di dunia terhadap putusan pengadilan bahwa putusan pengadilan tidak boleh dinilai oleh lembaga lain kecuali melalui proses upaya hukum (Rechsmiddelen) sesuai dengan hukum acara. Penilaian terhadap putusan Hakim yang dimaksud sebagai pengawasan diluar mekanisme hukum acara yang tersendiri bertentangan dengan prinsip res judicatiae pro vitate habiteur yang berarti apa yang telah diputus oleh Hakim harus dianggap sebagai benar. Apabila suatu putusan Hakim dianggap mengandung suatu kekeliruan maka pengawasan yang dilakukan dengan cara penilaian ataupun koreksi terhadap hal itu harus melalui upaya hukum sesuai hukum acara yang berlaku.
Namun berdasarkan wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang Mahkamah Agung berwenang untuk memberi petunjuk, teguran atau peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan, dengan ketentuan tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara (pasal 32 Undang-Undang No.5 Tahun 2004).
Mahkamah Agung melakukan Pengawasan Tertinggi dalam rangka menjaga terselenggaranya peradilan yang baik, yang dilakukan pengadilan yang berada dibawahnya (pasal 11 ayat (4) UU No.4 Tahun 2004).
Beberapa langkah yang biasanya diambil oleh Mahkamah Agung, apabila pengadilan dibawahnya telah melanggar hukum acara, dengan memberikan petunjuk-petunjuk, misalnya dalam hal eksekusi, sita jaminan dan lain-lain, bahkan dalam hal tertentu Mahkamah Agung dapat membatalkan suatu produk Hakim dibawahnya karena telah melampaui batas wewenangnya. Misalnya: menetapkan sesuatu hak tanpa ada sengketa, menetapkan ahliwaris secara voluntair.
Hakim-hakim yang melakukan kesalahan-kesalahan tersebut diperingati, dan dapat dinilai tidak cukup dalam professinya.
ad. b. Pengawasan Yang Bersifat Administratif.
Pengawasan di bidang ini meliputi :
1. Pengawasan Administrasi Umum, yang meliputi organisasi keuangan dan personalia. Tata cara ini mengikuti pola pengawasan umum yang berlaku.
2. Pengawasan Administrasi Perkara, yang meliputi manajemen perkara, keuangan perkara. Administrasi perkara tersebut adalah bersifat khusus yang tidak dimiliki oleh instansi lain, karena selain meliputi ketata usahaan perkara misalnya buku register, pembukuan perkara dan lain-lain, juga meliputi pengawasan terhadap apakah pengiriman berkas perkara, minutasi perkara telah berjalan dengan baik.
ad. c. Pengawasan Atas Tingkah Laku Hakim Dan Pejabat Pengadilan.
Walaupun Mahkamah Agung telah berusaha melakukan pembenahan terhadap tingkah laku tidak pantas dari para Hakim dan pejabat pengadilan, namun masih sering dituding sabagai lembaga yang tidak reformis, yang masih melindungi korps. Tetapi anehnya sangat sedikit laporan yang disampaikan kepada Mahkamah Agung yang memberikan data-data tentang telah terjadinya prilaku yang tidak pantas itu. Pada umumnya laporan itu dibuat oleh karena yang bersangkutan kalah perkara sehingga menuduh Hakim telah berpihak atau menerima suap atau bertindak tidak adil. Akibatnya pada waktu dilakukan pemeriksaan oleh Tim Pemeriksa apa yang dituduhkan itu sulit untuk dinyatakan terbukti.
Dari data-data yang diperoleh dari bulan September 2005 sampai dengan bulan Agustus 2006 adalah sebagai berikut :
(1) Hakim.
- 1 0rang Ketua Pengadilan Tingkat Banding dibebaskan dari jabatannya dan dipekerjakan di Mahkamah Agung RI.
- 4 orang Hakim pada Pengadilan Tingkat Banding dibebaskan dari jabatannya dan dipekerjakan di Mahkamah Agung RI.
- 1 orang Hakim pada Pengadilan Tingkat Pertama diberhentikan sementara dari jabatannya.
Di samping itu seorang Hakim Tinggi dibatalkan promosinya.
(2) Panitera Pengganti Dan Jurusita Serta Pejabat Struktural.
- 1 orang diberhentikan dengan tidak hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
- 1 orang dibebaskan dari jabatan Panitera Pengganti.
- 3 orang diberhentikan sementara.
- 1 orang Jurusita Pengganti diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
- 3 orang pejabat Struktural diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
- 1 orang pejabat Struktural diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri.
- 1 orang pejabat Struktural dibebaskan dari jabatan dan diturunkan pangkatnya setingkat lebih rendah selama 12 bulan.
(3) Pejabat Kepaniteraan Dan Pengadilan Tingkat Banding.
- 2 orang pejabat Kepaniteraan diberhentikan sementara.
(4) Pejabat Dan Pengawas Pada Mahkamah Agung RI.
- 1 orang tenaga fungsional Peneliti diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri.
- 2 orang pejabat Struktural diberhentikan sementara.
- 7 orang staf Mahkamah Agung RI diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri.
- 3 orang staf diberhentikan sementara.
- 1 orang ditunda kenaikan pangkat untuk 12 bulan.

Untuk lebih mengefektifkan pengawasan ini Mahkamah Agung telah melakukan langkah-langkah strategis :
(1) Tahun 2006 yang lalu dicanangkan sebagai “Tahun Pengawasan”.
(2) Menyelenggarakan Rakernas pada bulan September 2006 yang lalu dengan tema pokok “Pengawasan”, yang telah merumuskan Strategi Pengawasan Internil Renebag” Peradilan 2006-2008.
(3) Menerbitkan Buku Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Di Lingkungan Lembaga Peradilan Berdasarka Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No.KMA/080/SK/VIII/2006.
(4) Mahkamah Agung memberikan dukungan penuh terhadap tindakan-tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap aparat pengadilan yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi.
(5) Berdasarkan SEMA bulan Nopember 2006 telah memberikan kewenangan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dan Banding untuk mengambil langkah penerbitan di wilayahnya masing-masing tanpa harus menunggu perintah dari Mahkamah Agung.
(6) Membentuk satuan tugas tetap dibawah koordinasi bidang pengawas :
(a) SATGAS Pengamanan Perkara (SK. KMA No.KMA/195/SK/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005).
(b) SATGAS Pemantau Penegakan Disiplin (SK. KMA/KMA.196/SK/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005).
(7) Sejak tahun 2002 telah dibuat larangan menerima tamu yang berhubungan dengan perkara untuk mencegah terjadinya Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).

4. Pengadilan Dalam Arus Reformasi.
Setelah tumbangnya orde baru, maka muncul reformasi yang memandang perlunya kekuasaan kehakiman sebagai salah satu pilar demokrasi dan Negara hukum ditegakkan kembali. Mahkamah Agung telah berusaha melakukan reformasi yang diharapkan. Sayang sekali bahwa apa yang dilakukan tersebut dianggap tidak melakukan sesuatu, bahkan dianggap tidak ada perubahannya.
Untuk memberikan gambaran bagaimana Mahkamah Agung membenahi lembaga peradilan, akan disampaikan hal-hal sebagai berikut :
a. Pembinaan dan Pengawasan telah diuraikan di atas.
b. Pelaksana Tugas Pokok.
(1) Penyelesaian Perkara.
Dalam tahun 2006 seluruh perkara yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat Pertama dan Banding terlihat sebagai berikut :
- Pengadilan Negeri :
Yang diterima : 2.636.689 Perkara.
Yang diputus : 2.601.551 Perkara –
(98,57 %).
Sisa : 35.138 Perkara –
(1,43 %).
- Pengadilan Tinggi :
Yang diterima : 8.202 Perkara.
Yang diputus : 6.352 Perkara –
(77,45 %).
Sisa : 1.850 Perkara –
(22,55 %).
- Pengadilan Agama :
Yang diterima : 206.780 Perkara.
Yang diputus : 171.573 Perkara –
(82,97 %).
Sisa : 35.207 Perkara –
(17,03 %).
- Pengadilan Tinggi Agama :
Yang diterima : 1.952 Perkara.
Yang diputus : 1.592 Perkara –
(81,56 %).
Sisa : 36 Perkara –
(18,44 %).
- Pengadilan TUN :
Yang diterima : 1.203 Perkara.
Yang diputus : 840 Perkara –
(69,83 %).
Sisa : 363 Perkara –
(30,17 %).
- Pengadilan Tinggi TUN :
Yang diterima : 621 Perkara.
Yang diputus : 523 Perkara –
(84,22 %).
Sisa : 98 Perkara –
(15,78 %).
- Mahmil :
Yang diterima : 4.628 Perkara.
Yang diputus : 3.838 Perkara –
(82,93 %).

Sisa : 790 Perkara –
(17,07 %).
- Mahmilti :
Yang diterima : 425 Perkara.
Yang diputus : 303 Perkara –
(71,29 %).
Sisa : 122 Perkara –
(28,71 %).

Di Mahkamah Agung terlihat tingkat penyelesaian perkara tiap tahun mengalami kemajuan.
Pada akhir 2004 jumlah tunggakan perkara di Mahkamah Agung ± 20.000 Perkara. Pada tahun 2005 Mahkamah Agung dan memutus ± 12.000 Perkara, sehingga pada akhir tahun 2005 sisa perkara termasuk perkara yang masuk pada tahun 2005 adalah 14.366 Perkara.
Pada tahun 2006 sampai 31 Maret 2007, Mahkamah Agung dapat memutus perkara lebih 15.245 Perkara, sehingga perkara yang ada di Mahkamah Agung pada tanggal 31 Maret 2007 yang belum diputus sisa 9.681 Perkara.



(2) Peran Mahkamah Agung Dalam Pemberantasan Korupsi.
Sampai akhir 2006 yang lalu Mahkamah Agung menerima perkara korupsi sebanyak 499 berkas perkara dan yang berhasil diputus 307 Perkara, yang dinyatakan bersalah sebanyak 239 dan yang dinyatakan bebas 68 orang. Yang dibebaskan ini pada umumnya yang telah dibebaskan mulai dari tingkat Pertama atau di tingkat Banding. Warga pengadilan yang melakukan tindak korupsi, menerima suap atau pemerasan yang berhubungan dengan jabatannya telah diberhentikan/dipecat.

III.Menyongsong Kekuasaan Kehakiman Yang Lebih Baik
Melihat apa yang saya ungkapkan di atas, menunjukkan adanya perubahan-perubahan yang telah terjadi dilingkungan peradilan. Namun tentunya perubahan-perubahan tersebut belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan dan masih terlalu banyak yang belum baik dan memerlukan penyempurnaan, hal itu sangat benar. Tetapi menggunakan terus menerus pradigma lama mengenai keadaan serba buruk, mafia peradilan yang makin menjadi-jadi, Hakim maling dan sebagainya, menjadi tidak relevan dengan berbagai kenyataan baru yang sulit dibantah. Kadang-kadang ada orang yang dengan enteng menyebutkan bahwa makin banyak Hakim yang memperjual belikan perkara, melakukan mafia peradilan, tetapi tidak pernah memberikan data-data yang akurat tentang tuduhan itu, sehingga Mahkamah Agung kesulitan untuk memeriksa dan membuktikan tuduhan itu. Seharusnya yang harus dipersoalkan adalah apabila laporan disertai data-data yang akurat tidak direspons oleh Mahkamah Agung. Namun di lain pihak kritikan-kritikan tajam yang dilontarkan sebagian kecil orang kepada lembaga peradilan, menimbulkan tekad untuk lebih memperbaiki diri.
Ada beberapa hal yang harus mendapatkan perhatian untuk menyongsong kekuasaan kehakiman yang lebih baik.
1. Independensi kekuasaan kehakiman harus dijamin dengan baik.
Independensi disini harus diartikan bahwa tidak boleh ada pengaruh apapun terhadap seorang Hakim yang memeriksa dan memutus suatu perkara.
Pengaruh dapat berupa :
a. Ada campur tangan kekuasaan lain, misalnya tekanan dari pihak penguasa atau campur tangan atasan Hakim yang bersangkutan.
b. Ada pengaruh uang dari pihak.
c. Ada pengaruh pertemanan dan keluarga.
Untuk menghindari pengaruh-pengaruh terhadap Hakim tersebut maka diperlukan :
a. Hakim harus diperkuat dengan meningkatkan ilmu pengetahuannya sehingga kepercayaan dirinya lebih meningkat dan dapat memberikan putusan-putusan yang selalu mengikuti perkembangan zaman yang berarti mengikuti kebutuhan hukum masyarakat.
Peningkatan ilmu dapat dilakukan dengan melalui pelatihan secara priodik, menambah literatur untuk bacaan di perpustakaan, diskusi-diskusi kelompok dan sebagainya.
b. Meningkatkan kesejahtraan Hakim, sehingga ia tidak mudah tergoda dengan upaya suap.
c. Menanamkan Kode Etik Hakim agar betul-betul dihayati dan dilaksanakan.
2. Menumbuhkan akuntabilitas dari lembaga peradilan.
Indenpendensi tanpa akuntabilitas akan menimbulkan tirani, tetapi tanpa independensi akan menimbulkan ketidak adilan dan ketidak pastian hukum. Oleh karena itu independensi dan akuntabilatas merupakan dua sisi mata uang yang sama pentingnya.
Untuk meningkatkan akuntabilitas dari lembaga peradilan atas Hakim diperlukan :
a. Putusan-Putusan Hakim, yang belum berkekuatan hukum tetap, pertanggung jawabannya melalui upaya hukum.
Putusan-Putusan Hakim ditingkat bawah akan di nilai dari kebenaran yuridisnya, juga akan di nilai sampai seberapa jauh kemampuan intelektual Hakim yang bersangkutan, yang akan merupakan penilaian atasan dari Hakim yang bersangkutan untuk mendapatkan promosi.
b. Putusan-Putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, harus dapat diakses oleh publik, sehingga publik, para pengamat hukum, perguruan tinggi dapat meneropong segi-segi positif dan negatif dari putusan Hakim tersebut.
Dengan adanya penilaian publik, maka para Hakim akan memperoleh pelajaran yang berharga untuk menghadapi kasus berikutnya. Di samping itu dengan timbulnya akses ke publik, para Hakim akan lebih hati-hati dan harus mencurahkan perhatian dan kemampuannya yang maksimal dalam memutus dan membuat putusan yang baik, agar tidak mendapatkan cemohan.
Untuk menjamin terbukanya Putusan-Putusan Hakim yang Berkekuatan Hukum Tetap (BHT) tersebut, maka :
(1) Secara priodik , misalnya setiap 3 bulan, Mahkamah Agung menerbitkan kumpulan putusan-putusan yang sudah dianotasi.
(2) Putusan-Putusan Hakim yang telah Berkekuatan Hukum Tetap (BHT), harus dapat di akses publik melalui internet.
Pada akhirnya harus disadari bahwa Putusan Hakim harus dipertanggung jawabkan oleh Hakim kepada Tuhan yang menciptakannya sesuai dengan Irah-Irah yang terdapat dalam setiap Putusan Hakim, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Hal ini perlu dikemukakan bahwa di dunia ini seorang Hakim tidak dapat dihukum karena putusan-putusannya. Seorang Hakim hanya dapat dihukum apabila terbukti bahwa ia mengambil putusan itu karena melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).


3. Pengawasan dan Pembinaan harus terus ditingkatkan.
Pengawasan selama ini dilakukan oleh Mahkamah Agung harus terus ditingkatkan, baik dalam bidang tekhnis, administrasi peradilan maupun pengawasan tingkah laku. Karena hanya dengan cara ini aparat pengadilan dapat lebih berhati-hati dan menghilangkan setidak-tidaknya meminimalkan prilaku yang tercela dari aparat pengadilan.
Pembinaan harus terus menerus diberikan agar para Hakim mampu menghadapi tantangan perkembangan yang sangat cepat.
4. Untuk memperoleh putusan yang berkualitas harus dilakukan oleh Hakim yang kompeten. Oleh karena itu para Hakim harus mempunyai keakhlian khusus atau spesialisasi, sehingga suatu kasus hanya ditangani oleh Hakim yang menguasai bidang tugasnya.
Khusus di Mahkamah Agung, sudah waktunya untuk dipikirkan sistem kamar. Untuk itu di dalam komposisi Hakim Agung, harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing bidang.
5. Penyelesaian Perkara di Mahkamah Agung.
Disadari sepenuhnya bahwa memberikan keadilan saja tidak cukup sama pentingnya dengan itu adalah memberikan keadilan yang cepat, Justice delayed is justice denied.
Kalau melihat kinerja Mahkamah Agung sekarang ini, dimana selama 2 tahun terakhir ini, mampu mengikis tunggakan 3 sampai 5 ribu perkara setiap tahun, maka apabila ini konsisten maka diharapkan 2 tahun akan datang, Mahkamah Agung tidak mempunyai lagi tunggakan, yang dihadapi adalah hanya perkara yang secara rutin masuk setiap tahun.
Apabila ini dapat terwujud maka :
a. Mahkamah Agung dapat menentukan berapa lama perkara masuk sudah harus putus, mungkin bisa disamakan seperti yang berlaku di pengadilan negeri yaitu 6 bulan.
b. Mahkamah Agung dapat lebih meningkatkan kwalitas putusannya.
c. Mahkamah Agung akan lebih focus untuk membina kesatuan pendapat para Hakim.
d. Jumlah Hakim Agung mungkin dapat dikurangi.

Demikianlah pokok-pokok pikiran yang dapat saya sampaikan.
Terima kasih.


Yogyakarta, 26 April 2007

Selamat Datang

Selamat datang di komunitas dialektika hukum. Kami akan menemani anda menikmati etalase pemikiran hukum yang berkembang di Indonesia.