INDEPENDENSI LEMBAGA
PERADILAN DI INDONESIA
Oleh:
SUTANTO[1]
Pendahuluan.
Di dalam era penegakan hukum dan peningkatan supremasi hukum saat ini, lembaga pengadilan mempunyai posisi terdepan dan sangat strategis. Dengan tugas menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya diharapkan putusan yang dijatuhkannya dapat mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Dari pelaksanaan tugas ini dapat diketahui bahwa pengadilan mempunyai sikap pasif untuk menunggu diajukannya suatu perkara kepadanya. Asas ini juga mengandung arti bahwa luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa dan diadili yang menentukan adalah pihak yang berperkara. Hakim sama sekali tidak diperkenankan untuk menambah atau menguranginya. Walaupun pada asasnya hakim hanya bersikap pasif, namun dalam kapasitas selaku pimpinan sidang ia harus aktif untuk membantu pencari keadilan (justiciabelen) dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan demi tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan beaya ringan (pasal 5 ayat 2 UU No. 4 Tahun 2004). Dalam hal ini pengadilan harus mampu menjalankan fungsinya sebagai public service secara optimal. Sebagai public service pengadilan senantiasa harus memperhatikan, mendengar dan mewujudkan tentang kebutuhan hukum dan tuntutan keadilan dari masyarakat.
Sudah merupakan sifat dasar atau karakteristik setiap pengadilan di semua lingkungan peradilan di Indonesia bahwa di dalam melakukan pemeriksaan dan mengadili perkara harus mempunyai sikap mandiri. Bagaimana dapat terwujud putusan yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat apabila dalam proses penjatuhan keputusannya hakim mendapat pengaruh kuat atau tekanan dari pihak di luar kekuasaan yudikatif. Putusan yang jauh menyimpang dari rasa keadilan akan menyebabkan berkurang atau bahkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan. Eksistensi lembaga pengadilan yang tidak mendapat simpati masyarakat akan berpengaruh langsung pada kinerja lembaga pengadilan itu sendiri. Apabila sementara ini pengadilan diharapkan mampu menjalankan fungsinya sebagai benteng terakhir keadilan (the last resort), maka tidak tertutup kemungkinan dapat bergeser fungsinya menjadi benteng terakhir kekuasaan. Terlebih lagi dengan adanya komitmen bangsa dan negara ini untuk mendeklarasikan secara aklamasi sebagai negara hukum sebagaimana tertuang dalam UUD RI 1945, maka adanya lembaga peradilan bebas merupakan salah satu pilar yang tidak dapat ditinggalkan di samping pilar lainnya yaitu adanya pengakuan, perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia di segala aspek dan juga adanya prinsip legalitas dalam arti hukum dalam segala hal.
Masalah kebebasan lembaga peradilan ini secara reglementer dijumpai ketentuannya di dalam pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 yang pada dasarnya menentukan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Merdeka di sini mengandung makna bahwa pengadilan sebagai lembaga yudikatif tidak dapat diatur atau dipengaruhi oleh lembaga eksekutif maupun legislatif. Artinya hakim tidak berada di bawah pengaruh atau tekanan atau tidak ada campur tangan dari pihak manapun atau kekuasaan apapun juga. Di antaranya ketiganya mempunyai posisi yang sederajat sehingga yang satu tidak lebih daripada yang lain.
Kekuasaan kehakiman ini merupakan kekuasaan yang mandiri dan bebas dari intervensi pihak-pihak di luar kekuasaan kehakiman itu sendiri. Ketentuan ini lebih dipertegas lagi dalam pasal 4 ayat 3 UU no. 4 Tahun 2004 yang melarang segala campur tangan dalam urusan pengadilan oleh pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman. Bahkan secara lebih tegas lagi disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan pasal 4 ayat 3 tersebut dapat dipidana.
Di dalam seminar tentang “ Kebebasan Hakim Dalam Negara Republik Indonesia Yang Berdasarkan Atas Hukum” yang diselenggarakan oleh Departemen Kehakiman dan HAM Republik Indonesia di Jakarta, disimpulkan bahwa kebebasan hakim mempunyai dua sisi yaitu bebas dalam arti terlepas dari pengaruh kekuasaan lain dan juga bebas untuk mempersepsi dan menginterpretasi hukum dan mengadili menurut persepsi dan interpretasinya. Persoalan yang dapat dikemukakan adalah, bagaimanakah realisasi kebebasan hakim itu di dalam sistem hukum Indonesia dan di dalam praktek peradilan. Kebebasan hakim sebagai sifat dasar lembaga pengadilan di semua lingkungan peradilan di Indonesia di dalam realisasinya sudah barang tentu ada faktor-faktor yang ikut berpengaruh dan ambil bagian terhadap luas dan isi kebebasan itu sendiri.
Independensi Lembaga Peradilan.
Pada dasarnya kebebasan hakim bertujuan untuk mewujudkan putusan yang obyektif yang tidak terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu baik kepentingan ekonomi, politik, golongan dan lain sebagainya. Dengan dijatuhkannya putusan hakim yang bernilai obyektif atau transparan diharapkan pengadilan mampu memberikan kepuasan kepada para pihak yang berperkara maupun pihak-pihak lain yang mendapat hak daripadanya pada khususnya maupun warga masyarakat pada umumnya. Memang kebebasan peradilan bukanlah satu-satunya ketentuan yang mampu menjamin obyektifitas pemeriksaan sidang. Asas-asas hukum acara yang lain dapat memberi andil yang cukup signifikan pula di dalam mewujudkan obyektifitas seperti misalnya asas “Audi et Alteram Partem”, adanya hak ingkar, putusan harus disertai alasan, persidangan wajib dilakukan secara terbuka untuk umum maupun adanya pemeriksaan perkara yang dilakukan dalam dua tingkat peradilan.
Masalah kemandirian lembaga pengadilan ini sebenarnya sudah sejak lama diperbincangkan orang. Fungsi pengadilan sebagai benteng terakhir untuk memperoleh keadilan sudah sejak lama diidam-idamkan oleh semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Masyarakat sangat berkepentingan terhadap peran lembaga pengadilan yang mau dan mampu mengayomi masyarakat. Lembaga pengadilan yang ideal adalah lembaga yang dapat menyerap aspirasi masyarakat tentang makna keadilan dan kebutuhan hukum masyarakat yang nantinya akan diterjemahkan ke dalam putusan yang akan dijatuhkannya. Ketidakpercayaan dan apatisme masyarakat kepada dunia peradilan dapat dipakai sebagai indikator akan runtuhnya cita-cita bangsa dan rakyat Indonesia untuk mengatasnamakan negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat). Tidak dapat dipungkiri bahwa praktek peradilan akhir-akhir ini disinyalir telah menunjukkan kecenderungan adanya keberpihakan (unfair). Sikap keberpihakan adalah sangat bertentangan dengan jiwa dan semangat eksistensi lembaga pengadilan itu sendiri yang wajib memperhatikan, memperlakukan dan memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak yang bersengketa (Equality Before The Law).
Mengenai arti pentingnya kebebasan pengadilan di dalam era penegakan hukum dan peningkatan supremasi hukum saat ini, pemerintah sebenarnya sudah menyadari adanya kelemahan struktur lembaga pengadilan di masa lalu. Dimulai dengan adanya UU No. 19 Tahun 1964 yang memberi peluang presiden dapat campur tangan dalam urusan pengadilan maupun penempatan Mahkamah Agung di bawah kekuasaan presiden, yang kemudian dicabut keberlakuannya dengan UU No. 14 Tahun 1970 dapat diketahui bahwa semula masing-masing lingkungan peradilan secara organisatoris, administratif dan finansial (non judicial) berada di bawah kekuasaan masing-masing departemen dan dalam menjalankan fungsi judisial berada di bawah kendali Mahkamah Agung.
Dari ketentuan ini jelas bahwa lembaga eksekutif dapat memberikan pengaruh dan ikut ambil bagian dalam proses penjatuhan keputusan hakim dengan cara campur tangan kepada hakim yang sedang memeriksa dan mengadili suatu perkara. Untuk mengantisipasi timbulnya ketidakbebasan hakim tersebut, kemudian diundangkanlah UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Secara tegas pasal 1 UU No. 35 Tahun 1999 tersebut menentukan bahwa terhadap masing-masing lingkungan peradilan secara organisatoris, administratif dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Ide dasar yang tercantum dalam UU tersebut adalah terwujudnya sistem peradilan di Indonesia dalam satu atap sehingga tidak dimungkinkan lagi adanya departemen yang dapat mengatur hakim atau lembaga pengadilan.
Di dalam UU No. 4 Tahun 2004 ketentuan tersebut dijumpai pengaturannya dalam pasal 13 ayat 1 yang menentukan bahwa “Organisasi, administrasi dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung”. Demikian pula ketentuan pasal 5 UU No. 2 Tahun 1986 jo. UU No. 8 Tahun 2004 menentukan bahwa “pembinaan tehnis peradilan, organisasi, administrasi dan finansial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung dan untuk melakukan tugas pembinaan ini tetap tidak diperkenankan mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara”. Berdasar ketentuan ini dapat disimpulkan telah terjadi pergeseran struktur yang semula di bawah departemen masing-masing (eksekutif) menjadi berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung (yudikatif). Terjadinya pergeseran tersebut tidak lain dimaksudkan untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang mandiri dan terlepas dari kekuasaan pemerintah, sehingga terjadi pemisahan tegas antara fungsi yudikatif dengan eksekutif. Ke depan kekuasaan yudikatif tidak berada lagi di bawah pengaruh atau campur tangan kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan legislatif (sub ordinate), dengan kata lain kekuasaan peradilan di Indonesia adalah bebas atau independen.
Faktor Pembatas.
Walaupun pada asasnya lembaga pengadilan di dalam memeriksa dan mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya mempunyai kebebasan atau independensi, namun kebebasan itu sendiri tidaklah bersifat mutlak dalam arti bebas tanpa batas yang justru dapat menjurus kesewenang-wenangan. Di dalam menjatuhkan keputusannya hakim mempunyai tanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, para pihak yang berperkara, masyarakat, pengadilan banding atau kasasi, ilmu pengetahuan, bangsa maupun negara.
Beberapa faktor yang dapat mempunyai pengaruh untuk membatasi kebebasan pengadilan di Indonesia pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 2 hal yaitu faktor yuridis dan faktor non yuridis. Memang tidak dapat dikatakan bahwa faktor yang satu tidak lebih dominan daripada faktor yang lain, akan tetapi kemungkinan beberapa faktor tersebut akan berpengaruh secara simultan di dalam proses penegakan hukum. Oleh karenanya tidak dapat ditarik batas yang tajam bahwa faktor yuridis selalu lebih dominan daripada faktor non yuridis atau sebaliknya, akan tetapi tingkat pengaruh faktor ini sifatnya sangat kasuistis.
1. Faktor yuridis.
a. Pancasila.
Pasal 1 jo pasal 3 ayat 2 UU No. 4 Tahun 2004 menentukan adanya tugas peradilan untuk menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan yang berdasarkan Pancasila. Hal ini mengandung arti bahwa untuk memberikan kepastian akan hak (kepastian hukum) pihak yang berperkara, putusan yang dijatuhkan harus mampu mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia. Hakim harus melakukan penafsiran hukum (interpretasi) dan menemukan asas-asas hukum untuk dijadikan sebagai landasan atau dasar terhadap keputusan yang dijatuhkannya.
Adanya ketentuan bahwa pengadilan wajib untuk tidak membeda-bedakan orang (equal justice under law), adanya prinsip legalitas maupun adanya asas praduga tak bersalah (the praesumptiones of innocence), tidak lain dimaksudkan untuk menjamin pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia yang dilindungi oleh Negara berdasarkan Pancasila. Hal ini terbukti juga pada syarat-syarat untuk menjadi calon hakim pengadilan negeri salah satunya harus memiliki kesetiaan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pasal 14 ayat 1 UU No. 2 Tahun 1986 jo. UU No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum). Untuk itulah di dalam rangka menjalankan tugasnya termasuk di dalamnya mengadili perkara yang diajukan kepadanya, maka keputusan yang dijatuhkan harus memperhatikan Pancasila. Dalam kedudukannya yang sangat penting ini, para hakim harus memiliki pegangan yang kuat yaitu landasan tujuan perjuangan serta pandangan hidup bangsa Indonesia yakni Pancasila.
Apabila dikaitkan dengan formulasi sumpah atau janji yang wajib diucapkan oleh hakim sebelum memangku jabatannya tampaknya terjadi pengingkaran terhadap nilai-nilai luhur Pancasila itu sendiri. Pasal 17 ayat 2 UU No. 2 Tahun 1986 jo. UU No. 8 Tahun 2004 tersebut yang mengatur tentang sumpah atau janji untuk memangku jabatan sebagai Ketua, Wakil Ketua dan hakim pengadilan disebutkan hanya “memegang teguh UUD Negara RI Tahun 1945 dan menjalankan peraturan perundang-undangan serta berbakti kepada nusa dan bangsa”. Bahkan untuk menjadi hakim agung baik di dalam persyaratan maupun pengucapan sumpah atau janji sebelum memangku jabatan hakim agung juga tidak disebut sama sekali tentang eksistensi Pancasila (pasal 7 ayat 1, pasal 9 ayat 2 UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung).
Di sisi lain, untuk menjadi panitera, wakil panitera, panitera muda maupun panitera pengganti di samping harus memenuhi syarat setia kepada Pancasila juga di dalam pengucapan sumpahnya wajib setia kepada dan akan mempertahankan dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara (pasal 28, 30, 32, 34, 38 UU No. 2 Tahun 1986 jo. UU No. 8 Tahun 2004). Demikian pula untuk menduduki jabatan jurusita / juru sita pengganti maupun menjadi wakil sekretaris pengadilan negeri harus mempunyai kesetiaan kepada Pancasila (pasal 40, 42, 46, 49 UU No. 2 Tahun 1986 yo. UU No. 8 Tahun 2004).
Dari beberapa ketentuan tersebut nampaknya pembentuk Undang-Undang memang bermaksud untuk tidak membebani Ketua, Wakil Ketua pengadilan, hakim maupun hakim agung sendiri untuk “boleh” tidak memperhatikan nilai-nilai luhur Pancasila untuk diterjemahkan di dalam keputusannya. Padahal mestinya Pancasila dapat dipakai sebagai sarana pengendalian diri bagi hakim untuk tidak melakukan praktek-praktek yang bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Atau mungkin ada unsur kesengajaan untuk mendiskriminasikan antara jabatan hakim di satu pihak dengan panitera, jurusita maupun sekretaris pengadilan di pihak lain.
b. Hukum tertulis dan Hukum Tidak Tertulis.
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang sebagaimana ditentukan dalam pasal 5 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004 mengandung arti bahwa hakim wajib memperhatikan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis yang berlaku di masyarakat. Perlu dipahami bahwa ketentuan hukum yang berlaku di dalam masyarakat tidak hanya hukum yang tertulis akan tetapi dalam masyarakat yang masih tradisional akan lebih dominan berlakunya hukum yang tidak tertulis (hukum adat). Di dalam pemeriksaan perkara hakim harus selalu melihat pada peraturan yang berlaku sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan. Untuk itu di dalam putusannya di samping harus memuat alasan-alasan dan dasar putusannya juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan maupun sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Memang tidak semua aspek kehidupan masyarakat dapat dijumpai pengaturannya dalam bentuk peraturan tertulis. Pembuatan peraturan tertulis membutuhkan proses yang jauh lebih panjang, sehingga sering terjadi peraturan tertulisnya ternyata berkembang tertinggal dengan perkembangan peristiwanya. Dalam kondisi yang demikian itu (rechtsvacuum) hakim dapat merujuk keputusannya kepada peraturan hukum yang tidak tertulis. Dalam hal ini hakim jelas tidak diperkenankan hanya asal memutus perkara tanpa alasan dan dasar hukum yang jelas, karena hal-hal inilah yang dapat menjadikan merosotnya tingkat kewibawaan lembaga pengadilan, kurang obyektifnya putusan hakim dan juga memberi peluang untuk diajukan permohonan kasasi dan harus dibatalkan.
c. Kepentingan para pihak.
Dalam perkara perdata, sesuai dengan asas hakim pasif maka ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakimnya. Apabila para pihak akan menyelesaikan sengketanya atas kehendak sendiri baik dengan perdamaian maupun pencabutan gugatan, hakim tidak diperkenankan untuk melarangnya. Bahkan sekarang ini ada kewajiban hakim untuk mengupayakan penyelesaian sengketa di pengadilan melalui jalur mediasi sebelum sengketa tersebut diperiksa secara kontradiktoir (PERMA No. 02 Tahun 2003). Demikian halnya apabila penggugat tidak menuntut tentang ganti kerugian misalnya, maka hakim pemeriksa tidak wajib menetapkan adanya besarnya ganti kerugian. Pasal 178 ayat 2 dan ayat 3 HIR, pasal 189 ayat 2 dan ayat 3 RBg secara tegas menentukan adanya kewajiban hakim untuk mengadili seluruh gugatan dan dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat atau mengabulkan lebih daripada yang digugat.
Terhadap ketentuan ini, penggugat dalam surat gugatannya di samping mengajukan petitum primair (pokok dan tambahan) sering atau bahkan selalu mengajukan petitum subsidiair (pengganti) yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk memutus berdasar kebijaksanaan. Hal ini mengandung arti bahwa hakim mempunyai kebebasan dan tidak harus memutus sama dengan yang dimohon penggugat. Hakim dapat memutus kurang atau lebih dari apa yang dituntut oleh pihak penggugat.
Sikap hakim tersebut pada dasarnya dapat dibenarkan sebab pasal 178 ayat 3 HIR, pasal 189 ayat 3 RBg isinya bertentangan dengan sistem HIR/Rbg itu sendiri yang menganut asas hakim pasif yang menghendaki agar putusan hakim dapat menyelesaikan perkara. Kebebasan hakim yang didasarkan adanya tuntutan subsidiair ini sifatnya tidak mutlak. Kebebasannya tidak boleh melampaui materi pokok atau kejadian materiil yang menjadi dasar gugatan.
Berdasar uraian di atas tampak bahwa di dalam proses peradilan perdata hakim tidak bebas untuk mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya, karena kebebasan itu dibatasi oleh faktor kepentingan para pihak itu sendiri.
2. Faktor non yuridis.
a. Ekonomi.
Pengadilan Negeri sebagai peradilan umum sering menghadapi masalah dalam dunia perdagangan (bisnis) yang cenderung bersifat tehnis ekonomis. Dalam pemeriksaan perkara sangat mungkin hakim kurang menguasai permasalahannya sehingga putusan yang dijatuhkan dinilai kurang tepat oleh pihak yang berperkara. Para pelaku bisnis juga tidak menghendaki pemeriksaan dan penyelesaian perkara yang terlalu lama karena hal ini sangat merugikan kepentingannya.
Untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut maka dimungkinkan dibentuk spesialisasi di lingkungan peradilan umum itu sendiri dan salah satunya adalah dibentuknya Peradilan Niaga. Walaupun pada awalnya Pengadilan Niaga hanya dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat saja namun dalam perkembangannya telah dibentuk pula Pengadilan Niaga serupa di wilayah hukum Pengadilan Negeri yang lain. Pembentukan pengadilan niaga sebenarnya merupakan hal yang sangat mendesak. Hal ini lebih dipertegas lagi adanya kesepakatan pemerintah RI dengan IMF dalam rangka pemulihan ekonomi nasional yang terpuruk akibat krisis. Dalam Letter of Intent (LoI) ditentukan bahwa pemerintah harus segera melantik hakim ad hoc di Pengadilan Niaga. Dengan dibentuknya pengadilan niaga ini jelas bahwa faktor ekonomi ternyata mempunyai pengaruh terhadap kebebasan hakim di lingkungan peradilan umum.
Demikian pula dalam sektor perpajakan dengan berdasar pada UU No. 14 Tahun 2002 telah dibentuk lembaga Pengadilan Pajak yang berada di luar 4 lingkungan peradilan di Indonesia. Artinya bahwa peradilan umum tidak memiliki kompetensi absolut untuk memeriksa sengketa perpajakan, sehingga kewenangannya akan dibatasi juga oleh faktor ekonomi (perpajakan),
b. Politik.
Pengadilan sebagai bagian dari suatu pemerintahan sudah tentu perilakunya akan dipengaruhi oleh mekanisme yang dibakukan oleh pemerintahan itu sendiri. Pemerintahan orde baru yang sarat dengan KKN akan membelenggu hakim untuk tidak terbebas dari budaya korupsi. Oleh karenanya perilaku hakim pada khususnya maupun aparat penegak hukum pada umumnya akan terbentuk sebagai akibat interaksi dengan sistem politik di mana ia berada.
Lain halnya dengan pola yang dikembangkan di dalam era reformasi sekarang yang dengan gencarnya akan berupaya untuk mengembalikan citra baik lembaga pengadilan. Supremasi hukum merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi untuk diwujudkan dan dikembangkan di negara Indonesia. Beberapa waktu yang lalu muncul ide yang cukup kontroversial terlepas dari dapat atau tidaknya diaplikasikan yaitu memutasikan hakim-hakim di Jakarta ke luar Jawa, impor hakim dari luar negeri sampai dengan diperlukannya hakim untuk dilakukan fit and proper test pada hakekatnya merupakan bukti kepedulian dan sekaligus tuntutan masyarakat yang sangat mendambakan bebasnya pengadilan dari praktek KKN.
Memang di dalam persyaratan untuk menjadi hakim dan hakim agung tidak disebutkan adanya keterikatan dengan partai politik tertentu kecuali bekas anggota organisasi terlarang PKI termasuk organisasi massanya atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G30S/PKI. Namun demi obyektifitas putusannya, apabila ada hakim yang mempunyai keterlibatan dengan organisasi sosial dan politik tertentu, sebaiknya hakim tersebut harus bersedia melepaskan jabatannya. Pada waktu dilakukan rekruitmen para hakim (dari hakim ad hoc) hendaknya diambilkan dari kalangan non partisan, sehingga dalam menjalankan tugasnya benar-benar independen dan tidak mempunyai kepentingan politik tertentu. Putusan hakim yang di dalamnya mengandung muatan-muatan politis tertentu jelas akan mengarah pada sikap unfair yang dapat mencemari proses era penegakan hukum itu sendiri.
Demikian pula kesimpulan dalam Diskusi Panel tentang Kebebasan Hakim di Jakarta yang menyebutkan bahwa sekalipun hakim berkedudukan ganda, yaitu sebagai pegawai negeri dan sebagai pejabat pelaksana kekuasaan kehakiman, namun sebagai jaminan untuk terlaksananya kekuasaan kehakiman yang merdeka, maka yang sangat menentukan adalah integritas pribadi dan semangat hakim untuk memiliki kemauan dan keberanian politik untuk melepaskan diri dari pengaruh ekstra judisiil maupun direktiva yang mempengaruhi tugasnya dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.
c. Keamanan.
Faktor lain yang menunjang kebebasan dan sifat obyektifitas hakim dalam melaksanakan tugas peradilan yang tidak bisa ditinggalkan adalah keamanan. Dalam konteks ini di lingkungan kerja maupun lingkungan keluarga hakim harus diciptakan suasana aman dan tenteram. Adanya kasus perusakan terhadap rumah hakim, aksi teror, ancaman melalui telpon (sms) maupun secara fisik bahkan sampai dengan kasus pembunuhan hakim akan mempengaruhi pula kebebasan hakim di dalam menyelesaikan perkara yang dihadapinya. Seorang hakim tidak hanya berkepentingan terhadap keamanan bagi dirinya tetapi juga keluarganya. Demikian pula tidak hanya terbatas di lingkungan di mana ia bekerja tetapi juga di lingkungan masyarakatnya.
Sering terjadi akhir-akhir ini dalam proses persidangan yang sedang berjalan ada kelompok-kelompok tertentu yang teroganisir melakukan demonstrasi untuk mempengaruhi pengambilan keputusan oleh majelis hakimnya. Bahkan sering pula timbul tindakan anarkhi dengan merusak gedung pengadilan bahkan sampai menyandera hakimnya di ruang sidang. Sering kita ketahui juga berapa kali eksekusi yang dilakukan atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri gagal dilakukan karena adanya masyarakat yang melawan dengan kekerasan terhadap petugas eksekusi di lapangan. Hal-hal semacam inilah yang secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pula terhadap kebebasan hakim di dalam menjalankan fungsi mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya.
Penutup.
Memang tuntutan adanya independensi lembaga pengadilan di Indonesia merupakan hal yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Perangkat peraturan perundang-undangan yang melandasinya sudah memberikan peluang untuk mewujudkannya. Misalnya saja ide besar untuk mewujudkan sistem peradilan di Indonesia dalam satu atap sudah cukup lama dicanangkan dan dipublikasikan, namun realisasinya masih membutuhkan proses panjang dan jiwa besar pihak manapun untuk bersedia melepaskan kewenangannya. Pelepasan kewenangan bukan sesuatu yang mudah, apalagi apabila di waktu yang lalu kewenangan ini mampu memberikan “kontribusi” bagi pemilik kewenangan itu sendiri.
Di dalam proses realisasi independensi lembaga pengadilan itu sering pula tidak mampu berjalan dengan mulus, hal ini disebabkan banyaknya faktor-faktor yang ikut mempengaruhi baik yang disebabkan karena faktor yuridis maupun faktor non yuridis. Masalahnya adalah bagaimana kita dapat meminimalisir pengaruh ini sehingga prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka semakin dekat dengan kenyataan dan mampu memberikan angin segar bagi dunia peradilan yang akhir-akhir ini kurang mendapat simpati dari masyarakat.
[1] Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Jumat, 20 Februari 2009
Selamat Datang
Selamat datang di komunitas dialektika hukum. Kami akan menemani anda menikmati etalase pemikiran hukum yang berkembang di Indonesia.