PANORAMA DIALEKTIK UU PORNOGRAFI[1]
Oleh: Arfan Faiz Muhlizi[2]
Proses pembentukan maupun penegakan hukum secara umum perlu memperhatian kesadaran hukum dan kebudayaan masyarakat. Sebagaimana diungkapkan oleh Eugen Erlich, pemuka dari aliran Sociological Jurisprudence, bahwa hukum positif yang baik (dan karenanya efektif) adalah hukum yang sesuai dengan living law yang merupakan inner order dari masyarakat yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya.
Masalah kesadaran hukum dalam masyarakat merupakan persoalan yang sebenarnya agak rumit di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh karena masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat pluralistik, yang mencakup pelbagai kesadaran baik yang bersifat pribadi maupun kelompok. Dengan demikian terdapat kesadaran hukum yang tidak tunggal, meski harus diakui bahwa atas dasar studi perbandingan, terdapat bermacam-macam persamaan di dalam masyarakat majemuk tersebut. Pluralisme dalam masyarakat Indonesia inilah yang menjadikan perdebatan tentang UU Pornografi tak kunjung usai meski telah disahkan. UU Pornografi ini mengandung 2 (dua) hal sekaligus, yaitu moralitas dan Hukum Positif, dimana keduanya bisa saling berkomplemen atau malah saling berkompetisi.
Dalam UU Pornografi, pornografi didifinisikan sebagai gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Masalah kesusilaan ini diatur telah juga dalam KUHP, UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers, UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran memberikan, dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Rumusan mengenai “norma kesusilaan” pada dasarnya merupakan ruang terbuka yang diberikan oleh pembuat undang-undang kepada penegak hukum, khususnya Hakim, agar bisa melakukan interpretasi sosiologis yang tepat berdasarkan living law dalam masyarakat yang pluralistik. Penggunaan konsepsi “norma kesusilaan” bisa dipahami sebagai kompromi atas nilai yang berbeda dalam masyarakat pluralistik Indonesia.
Norma kesusilaan merupakan merupakan bagian yang berbeda dengan norma hukum. Norma kesusilaan merupakan salah satu kaidah sosial –disamping norma kesopanan dan norma agama- yang mendampingi norma hukum. Norma kesusilaan merupakan peraturan-peraturan hidup yang berasal dari “hati nurani” manusia yang menentukan perbuatan mana yang baik dan buruk, dan bersifat universal. Hal ini berbeda dengan norma kesopanan yang merupakan ketentuan-ketentuan hidup yang timbul dari pergaulan masyarakat yang mendasarkan pada kepantasan/kepatutan dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat (lahiriah saja). Permasalahannya adalah, berbagai kalangan masyarakat, baik yang pro maupun kontra masih memahami “norma kesusilaan” ini sebagai “norma kesopanan” sehingga menimbulkan ketakutan bahwa nilai kepantasan yang dianut suatu kelompok masyarakat akan dipaksakan keberlakuannya ke dalam masyarakat yang lain sehingga menimbulkan sikap defensif.
Perlu disadari adalah bahwa pembentukan suatu undang-undang tidak hanya sekedar melalui mekanisme juridis atau birokratis, tetapi mekanisme politik juga sangat mempengaruhinya. Pertarungan kepentingan politik dan idiologi tak dapat dipisahkan dalam proses ini karena parlemen sebagai salah satu elemen legislatif memang terdiri dari partai-partai politik dengan latar belakang ideologi yang berbeda. Inilah alasan mengapa banyak pakar hukum yang melihat hukum sebagai produk politik. Tetapi kondisi semacam ini merupakan kesepakatan politik yang tertuang dalam konstitusi, sehingga ketika proses pembentukan suatu UU sudah prosedural, maka kita sebagai warga negara (dalam sebuah negara hukum) wajib mentaatinya. Hal ini merupakan salah satu konsekuensi dari asas hukum umum, yaitu Lex dura sed tamen scripta, yang artinya Undang-undang bersifat memaksa, sehingga kita harus mentaatinya.
Namun demikian, masih dibuka kran juridis bagi berbagai ketidakpuasan masyarakat terhadap suatu UU. Yaitu dengan diberikannya peluang kepada masyarakat untuk melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini dijamin oleh Konstitusi.
Hal terpenting setelah disahkannya UU Pornografi ini adalah menjaga agar Aparat Penegak Hukum, khususnya Kepolisian, benar-benar memahami tafsir dari UU ini sehingga Law enforcement terhadap tindak pidana pornografi tidak salah sasaran. Dalam kerangka hukum nasional, penegakan UU Pornografi ini harus tetap memperhatikan pasal Pasal 18 (2) UUD NRI 1945 yang mengatakan bahwa ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Selain itu perlu juga diperhatikan bahwa Pasal 28 (1) UU No.4 Tahun 2004 menyebutkan ”Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Karena secara Antropologi, hukum adalah bagian dari budaya itu sendiri, maka hukum itu bersifat dinamis dan selalu berkembang untuk menjadi lebih kompleks. Hukum adalah kumpulan teks yang harus terus menerus diinterpretasi.
Undang-undang belum tentu bisa mengakomodasi landscape sosial yang selalu berubah, dan salah satu teknis strategis yang diterapkan guna mengatasi masalah tersebut adalah dengan membuat beberapa “pasal sumir” dan memberikan ruang bagi penemuan hukum (rechtvinding). Dengan demikian hakim harus menggali hukum adat, norma sosial yang ada agar dapat menciptakan efektifitas keberlakuan hukum sebagaimana diamanatkan UU Kekuasaan Kehakiman. Hakim di Indonesia bukan hanya sekedar corong UU, tapi berperan aktif bukan hanya dalam menemukan hukumnya namun juga mengembangkan-nya dengan tetap mengacu pada azas legalitas.
[1] Dimuat dalam Majalah Konstitusi No.27 – Maret 2009
[2] Kepala Subbid Penyusunan Program dan Laporan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional (Puslitbang) BPHN dan Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
Selasa, 26 Mei 2009
Selamat Datang
Selamat datang di komunitas dialektika hukum. Kami akan menemani anda menikmati etalase pemikiran hukum yang berkembang di Indonesia.