Rabu, 14 Oktober 2009

REPOSISI LEMBAGA PENDIDIKAN HUKUM DALAM PROSES LEGISLASI DI INDONESIA

REPOSISI LEMBAGA PENDIDIKAN HUKUM

DALAM PROSES LEGISLASI DI INDONESIA[1]

Oleh: Arfan Faiz Muhlizi, S.H.,M.H.[2]

A. Pendahuluan

Tujuan hukum antara antara lain dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, yaitu untuk mencapai keadilan (gerechtigkeit); kemanfaatan (zweck-massigkeit); dan untuk memberikan kepastian (rechtssicherheit).[3] Sayangnya tujuan ini masih terasa sulit dijangkau karena dalam kenyataannya hukum masih tampil mengecewakan ketika hadir di tengah masyarakat.[4] Departemen Hukum dan HAM RI sebagai lembaga yang mempunyai tugas pokok dan fungsi menyelenggarakan sebagian urusan pemerintah di bidang hukum,[5] mempunyai tanggung jawab yang besar untuk memperbaiki keadaan ini.

Ada berbagai ragam faktor yang menyebabkan kondisi hukum yang demikian mengecewakan ini. Di antaranya adalah substansi hukum positif yang ada masih belum harmonis,[6] dan pembentukan hukum positif yang ada terkesan hanya didasarkan pada pertimbangan sesaat dan kurang menyentuh kepentingan masyarakat luas.[7] Selain itu, lemahnya law enforcement juga ikut memberi andil buruknya tampilan hukum di tengah masyarakat.[8] Untuk itu maka diperlukan upaya terus-menerus untuk melakukan pembangunan hukum. Namun yang tak kalah pentingnya dalam membenahi kondisi hukum di Indonesia adalah dengan memmbenahi pula sistem pendidikan hukum di Indonesia.

Hukum sesungguhnya mengandung nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, nilai kepercayaan dan cinta kasih antar sesama, yang hanya dapat diwujudkan oleh orang-orang yang mempunyai kualitas dan integritas tinggi dalam menghayati nilai-nilai tersebut. Sofian Effendi, mantan rektor UGM, pernah mengemukakan bahwa salah satu persoalan mendasar di bidang hukum adalah memang masalah pendidikan hukum. Sebagaimana juga dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja,[9] tentang reformasi pendidikan dalam rangka pembinaan hukum nasional sangat dibutuhkan menghasilkan ahli hukum yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan (decision making process), dan penetapan kebijaksanaan, tidak hanya sebagai petugas pelaksanan kebijakan. Para ahli hukum juga diarahkan untuk aktif terlibat dalam kegiatan legislatif secara aktif. Para ahli hukum di pengadilan, profesi hukum, dan pendidikan diharapkan memiliki orientasi terhadap kemajuan bangsa dan pembangunan (pembinaan hukum).

Kita tidak bisa berharap banyak kepada insan-insan hukum untuk menegakkan hukum dan keadilan, apabila mereka tidak diajari dan dibekali ilmu dengan baik. Padahal sistem pembelajaran yang berlangsung pada lembaga-lembaga pendidikan hukum yang ada sekarang ini adalah masih bersifat transfer pengetahuan belaka dan berorientasi positivistik, sehingga cenderung hanya mencetak tukang (legal mechanics) dan tidak membentuk perilaku calon insan-insan hukum yang memiliki integritas diri yang adil, jujur, dan humanis[10].

Secara sosiologis Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa lingkungan mempengaruhi perbuatan seseorang.[11] Dibandingkan dengan lima puluh tahun yang lalu lingkungan kita sekarang memang jauh lebih korup.[12] Selanjutnya beliau mengutip pendapat Geery Spence, seorang advokat senior Amerika Serikat mengatakan bahwa sebelum menjadi ahli hukum profesional, jadilah manusia berbudi luhur” (evolved person) lebih dulu. Kalau tidak, para ahli hukum hanya akan menjadi monster dari pada malaikat penolong.[13]

Permasalannya adalah bagaimana kontribusi pendidikan hukum bisa mencetak ahli hukum yang profesional dan berbudi luhur” (evolved person)? dan apa peran pemerintah untuk mengembangkan pendidikan hukum di Indonesia?

B. Konsep Pendidikan

Secara umum, pendidikan bermakna sebagai usaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi bawaan, baik jasmani maupun rohani, sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan. Bagi kehidupan umat manusia, pendidikan merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan, mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup dan berkembang sejalan dengan aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka. [14]

Dalam UU No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan didefinisikan sebagai “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kemampuan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Definisi pendidikan juga dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantoro dalam Kongres Taman Siswa yang pertama pada tahun 1930 ia menyebutkan, bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak. Dalam Taman Siswa tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya.[15]

Objek formal ilmu pendidikan adalah pendidikan, yang dapat diartikan secara maha luas, sempit, dan luas terbatas. Dalam pengertian maha luas, pendidikan sama dengan hidup. Pendidikan adalah segala situasi dalam hidup yang mempengaruhi pertumbuhan seseorang. Pendidikan adalah pengalaman belajar. Oleh karena itu, pendidikan dapat pula didefinisikan sebagai keseluruhan pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidupnya. Dalam pengertian yang maha luas, pendidikan berlangsung tidak dalam batas usia tertentu, tetapi berlangsung sepanjang hidup (lifelong), sejak ia lahir (bahkan sejak awal hidup dalam alam kandungan) hingga mati.[16]

Kemahaluasan pendidikan ini tersirat pula dalam tujuannya. Setiap pengalaman belajar dalam hidup dengan sendirinya terarah (self derected) menuju pertumbuhan. Tujuan pendidikan tidak berada di luar pengalaman belajar, tetapi terkandung dan melekat di dalamnya. Misi atau tujuan pendidikan yang tersirat dalam pengalaman belajar memberi hikmah tertentu bagi pertumbuhan seseorang.[17] Dengan demikian, pendidikan sebagai keseluruhan pengalaman belajar dalam hidup berada dalam harmoni dengan cita-cita yang diharapkan oleh kebudayaan hidup. Singkatnya, tujuan pendidikan dalam pengertian luas adalah pertumbuhan. Tujuan pendidikan ini secara pragmatis diarahkan pada pengembangan individu dalam pengusahaan pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill) dan sikap (attitude) yang dinyatakan dalam bentuk taksonomi tujuan pendidikan.

Pendidikan dewasa ini harus dilaksanakan dengan teratur dan sistematis, agar dapat memberikan hasil yang sebaik-baiknya. Apalagi, dunia pendidikan, dihadapkan dengan perkembangan kemajuan teknologi dan informasi, juga dihadapkan pada realitas sosial, budaya yang sangat beragam (multikultural). Dengan demikian, pendidikan mau tidak mau juga harus merespons dan menyesuaikan (adaptasi) dengan persinggungan budaya masyarakat sekitar. Maka, persoalannya adalah bagaimana pendidikan berperan dalam merespons perubahan sosiokultural masyarakat dan menstransformasikan nilai-nilai budaya tersebut.[18]

Sebagaimana kita ketahui, bahwa bangsa Indonesia mempunyai filsafat hidup Pancasila, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pun disusun atas dasar pancasila. Oleh karena itu, sudah selayaknya jika pendidikan di Indonesia juga berdasarkan pada Pancasila, seperti termaktub dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950, Bab III pasal 4 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran, yang berbunyi :

Pendidikan dan pengajaran berdasar atas asas-asas yang termaktub dalam pancasila, undang-undang dasar (UUD) negara kesatuan republik Indonesia dan atas kebudayaan kebangsaan Indonesia”.[19]

Hingga kini, dasar pendidikan nasional secara yuridis masih sama, belum berubah. Hal itu ditetapkan kembali dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003, bahwa pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.[20]

Berbeda dengan dasar pendidikan di Indonesia yang tidak berubah, yakni Pancasila dan UUD 1945, tujuan penyelenggaraan pendidikan di negeri ini secara yuridis (undang-undang) selalu berubah-ubah. Hal itu bisa kita lacak dalam informasi tentang perubahan-perubahan yang dimaksud berikut ini :[21]

1. Rumusan tujuan pendidikan menurut UU No.4 Tahun 1950. Tercantum dalam bab II pasal 3, ungkapan yang berbunyi : “Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”.

2. Rumusan tujuan pendidikan menurut ketetapan MPRS Nomor II Tahun 1960 adalah : “Tujuan pendidikan ialah mendidik anak ke arah terbentuknya manusia yang berjiwa Pancasila dan bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Pancasila yang adil dan makmur material dan spiritual.”

3. Rumusan tujuan pendidikan menurut Sistem Pendidikan Nasional Pancasila dengan penetapan presiden No.19 tahun 1965 adalah sebagai beirkut : “Tujuan pendidikan nasional kita, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta, dari pendidikann pra-sekolah sampai pendidikan tinggi, supaya melahirkan warganegara-warganegara sosialis Indonesia yang susila, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia, adil makmur baik spiritual maupun material dan yang berjiwa Pancasila, yaitu : ketuhanan yang maha esa, perikamanusiaan yang adil dan beradab, kebangsaan, kerakyatan, keadilan sosial, seperti dijelaskan dalam manipol/usdek”.

4. Rumusan tujuan pendidikan menurut ketetapan MPRS No.XXVII Tahun 1966, berbunyi sebagai berikut : “Tujuan pendidikan ialah membentuk manusia pancasilais sejati berdasartkan ketentuan-ketentuan yang dikehendaki oleh Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan isi Undang-undang Dasar 1945”.

5. Dan tujuan pendidikan nasional menurut UU No. 20 Tahun 2003 adalah “untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kratif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Perubahan-perubahan tersebut dimungkinkan akan terus terjadi, akibat dari perkembangan zaman dan seiring dengan perubahan iklim politik atau rezim pemerintahan yang berkuasa. Jelas, pengaruh negara terhadap terselenggaranya pendidikan di tanah air sangat kuat. Kita sering mendengar bahwa setiap ganti presiden, menteri, departemen, maka akan ganti kebijakan. Dalam konteks ini, dunia pendidikan tidak lepas dari rezim yang berkuasa. Dan bila kita ingin melacak lebih jauh tentang sebab musabab terjadinya perubahan, kita sebenarnya bisa berawal dari asumsi atau anggapan tersebut.

Tentu saja, kita berharap bahwa perubahan tersebut menuju ke arah yang lebih sempurna dan berpijak pada prinsip keadilan dalam segala aspek kehidupan, dan pada nilai-nilai sosio budaya Bangsa Indonesia yang multikultural, bukan hanya pada pertimbangan politis saja. Bila dalam melakukan perubahan ini masih memakai kaca mata kuda, maksudnya hanya mempertimbangkan satu sisi saja, katakanlah demi kepentingan politis, maka pasti landasan yuridis tentang tujuan pendidikan tersebut akan terombang-ambing, bahkan akan mudah hancur dalam menghadapi perkembangan dan tantangan dunia pendidikan yang sangat kompleks seiring dengan perkembangan global.

C. Pendidikan Hukum Sebagai Sub Sistem Pendidikan Nasional dan Sub Sistem Hukum

Sistem pendidikan hukum tidak terlepas dari sistem pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan pancasila, pendidikan haruslah diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik. Ruang bagi pendidikan hukum sebenarnya ada dalam seluruh wilayah pendidikan, baik dalam jenjang pendidikan dasar, menengah atau pendidikan tinggi. Disamping itu ia juga akan berada dalam pendidikan formal, maupun informal. Namun dari segi penamaan, istilah pendidikan hukum hanya baru dikenal dalam jenjang pendidikan tinggi tingkat universitas atau jenjang S1, S2 dan S3 pada fakultas hukum. Pendidikan hukum juga merupakan sub system dari sistem hukum. [22]

Sistem adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan.[23] Keinginan untuk menciptakan suatu Sistem Hukum tidak terlepas dari pendidikan hukum yang diberikan kepada masyarakat itu sendiri, karena salah satu fungsi pendidikan secara umum yang amat penting dan strategis ialah mendorong perkembangan kebudayaan dan peradaban pada tingkatan sosial yang berbeda. Secara umum pendidikan pada level individu, membantu mengembangkan potensi dirinya menjadi manusia yang berakhlak mulia, berwatak, cerdas, kreatif, sehat, estetis serta mampu melakukan sosialisasi dan transformasi, dari manusia pemain menjadi manusia pekerja dan dari manusia pekerja menjadi manusia pemikir[24], pendidikan menimbulkan kemampuan individu untuk menghargai dan menghormati adanya perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka dan demokratis. Dengan demikian semakin banyak orang yang terdidik baik, maka semakin dapat dijamin adanya toleransi dan kerjasama antar budaya dalam suasana yang demokratis, yang pada gilirannya akan membentuk integrasi budaya nasional dan regional dari sini jelas terlihat peranan pendidikan terhadap perkembangan kebudayaan.

Pendidikan yang bermutu diharapkan dapat mengasilkan masyarakat yang berkualitas sehingga menghasilkan suatu kebudayaan yang bermutu. Dalam kaitan antara sistem pendidikan hukum dengan terciptanya budaya hukum, seperti telah di sebutkan diawal tulisan ini, bahwa Pendidikan hukum baru dikenal dalam tingkat universitas atau jenjang S1 pada fakultas hukum, hal ini pada tingkat universitas diharapkan dapat menghasilkan sarjana hukum yang siap pakai, akan tetapi bila melihat ke belakang, sebenarnya pendidikan S1 baru dapat merupakan pengantar atau persiapan (matrikulasi) untuk menjadi sarjana Hukum program Strata 2 (S2) yang baru boleh dikatakan siap pakai dalam masyarakat yang dengan demikian jenjang S3 dianggap menjadi semakin berbobot karena ilmu yang dikuasainya sudah teruji dalam pengalaman dan penerapan hukum yang sesungguhnya (living law)[25].

Hukum merupakan sarana yang ditujukan untuk mengubah perikelakuan warga masyarakat, oleh sebab itu disebut juga a tool of sosial engineering, sehingga hukum dapat mengubah perilaku warga masyarakat sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Salah satu masalah yang dihadapi di dalam bidang ini adalah apabila terjadi dimana hukum yang dibentuk dan diterapkan ternyata tidak efektif. Efektivitas dari hukum akan terlihat dari seberapa jauh hukum tersebut dipatuhi atau ditaati oleh masyarakat[26]. Gejala semacam itu akan timbul, apabila ada faktor-faktor tertentu yang menjadi halangan. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum penegak hukum, para pencari keadilan (Justitiabelen), maupun golongan-golongan lain di dalam masyarakat.[27]

Hukum sebagai suatu institusi sosial melibatkan peranan dari orang-orang yang tersangkut didalamnya. Roscoe Pound berpendapat, pembuat hukum haruslah mempelajari apa efek sosial yang mungkin ditimbulkan oleh institusi dan doktrin hukum, berbanding dengan efek yang mungkin ditimbulkan oleh sarana kontrol atau sarana rekayasa lain yang bukan hukum[28]. Sebagai kontrol sosial, Hukum berkedudukan sebagai aturan dan proses sosial yang mencoba mendorong perilaku yang baik dan berguna atau mencagah perilaku buruk, ini diungkapkan oleh Donald Black dalam bukunya The Behavior of Law, yang menyatakan bahwa hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah[29].

Berkaitan dengan kontrol sosial ini, hukum akan selalu terkait dengan sistem hukum yang ada. Sistem hukum ini memiliki unsur-unsur yang berupa Struktur, Substansi, dan Budaya hukum. Friedman [30]menyatakan, pada Struktur dari sistem hukum, sistem hukum terus berubah namun bagian dari sistem ini mengalami perubahan dalam kecepatan yang berbeda. Begitupun dengan substansi dan budaya hukum.[31] Semua sub sistem dari sistem hukum yang diuraikan oleh Freidmen ini sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikan hukum.

D. Koordinasi Lembaga Penelitian Universitas Dalam Proses Legislasi

Departemen Hukum dan HAM RI sebagai lembaga yang mempunyai tugas pokok dan fungsi menyelenggarakan sebagian urusan pemerintah di bidang hukum,[32] mempunyai tanggung jawab yang besar untuk pengembangan pendidikan hukum di Indonesia. Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menuju hal ini adalah:

1. Kerjasama dalam perekrutan Profesi Hukum

Sumber Daya Manusia di bidang hukum seperti legislator, hakim, jaksa, polisi, advokat, dan notaris, sesungguhnya memegang kunci dalam mewujudkan supremasi hukum. Hanya memalui pendidikan hukum, sumber daya tersebut dapat terwujud. Namun demikian, disamping pendidikan, ada beberapa hal yang berpengaruh atas pelaksanaan dan penegakan hukum misalnya hal-hal berkaitan dengan ekonomi, pemerintahan, keluarga, dan agama. Komponen ini berhubungan secara langsung dengan fondasi hukum. Hakekatnya hukum diciptakan dan dibuat oleh manusia (lembaga yang berwenang) untuk diberlakukan, dilaksanakan dan ditegakan. Dan, hukum yang tak pernah dijalankan pada hakikatnya telah berhenti menjadi hukum. Hukum dibuat juga untuk ditegakan, karena tanpa hukum, kehidupan masyarakat tidak akan berjalan secara baik, masyarakat sendiri juga dibangun di atas fondasi hukum.

Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa perbaikan pendidikan hukum dalam arti yang sebenarnya hanya akan terjadi apabila diadakan perubahan-perubahan yang radikal dalam sistem pendidikan, sehingga dapat menjamin dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan masyarakat.[33] Dari susunan dan isi kurikulum serta cara memberikan pengajaran dapat disimpulkan bahwa pendidikan ini terutama bertujuan untuk mempersiapkan orang-orang yang memiliki kemahiran untuk menerapkan hukum yang ada, orang-orang yang bergunan dalam memelihara ketertiban menurut ketentuan-ketentuan hukum positif yang ada.[34] Padahal seharusnya pendidikan di fakultas hukum juga harus mampu menciptakan masyarakat yang dikehendaki melalui teknik hukum dan perundang-undangan[35] sehingga nantinya akan memberikan kontribusi yang lebih baik bagi pembentukan sistem hukum di Indonesia.

Pendidikan SDM penegak hukum tentu mempunyai pola yang lebih spesifik dibandingkan pendidikan hukum secara umum. Pendidikan SDM Penegak hukum ini tidak saja tergantung dari pendidikan hukum di Universitas, tetapi banyak juga pendidikan militer, atau semi militer, seperti Akademi Kepolisian, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, atau pendidikan profesi yang lebih singkat. Namun demikian, tetap saja pendidikan tinggi hukum merupakan dasar pendidikan hukum yang harus benar-benar dipahami oleh semua aparat hukum.

Untuk menghasilkan sumber daya manusia (SDM) di bidang hukum yang mempunyai integritas tinggi, profesional, kompeten, bermoral, jujur, akuntabel, serta menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, tentunya bukan sebuah persoalan yang mudah, seperti membalikkan telapak tangan, tetapi diperlukan suatu mekanisme yang baik, yang dimulai dari pendidikan hukum.

Profesi hukum bisa dipilih dan dipantau sejak dini di lembaga-lembaga pendidikan hukum dari mahasiswa-mahasiswa yang mempunyai kelayakan secara moral maupun intelektual. Dengan perekrutan semacam ini, SDM yang nantinya akan bekerja pada bidang hukum akan menjadi lebih baik, dan diharapkan akan mampu menjadi agen perubahan bagi terwujudnya sistem hukum dan sistem mayarakat yang lebih baik. Kerjasama ini akan memunculkan semangat kompetisi di antara para mahasiswa hukum untuk meningkatkan kualitas mereka baik secara akademis, moral maupun ketrampilan dan keahlian hukum. Bila semangat ini telah terbentuk maka dapat dipastikan pendidikan hukum akan menjadi kawah candradimuka yang menghasilkan srjana-sarjana hukum yang tangguh secara mental maupun intelektual.

2. Pembentukan pola legislasi yang melibatkan Lembaga Pendidikan Hukum

Kekuasaan legislatif berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat. Sebagaimana dikatakan oleh John Locke, Kekuasaan ini mungkin dipegang oleh satu orang atau lebih banyak orang; mungkin terus-menerus berlangsung, atau berlangsung secara berselang-seling; dan merupakan kekuasaan tertinggi dalam setiap persemakmuran; akan tetapi, pertama-tama, kekuasaan pembuat undang-undang ini bukan dan tidak dapat merupakan kekuasaan yang bersifat sekehendak hati belaka atas hidup dan harta milik orang-orang.[36] Harus pula dipahami bahwa legislator tidak hanya memformulasikan perintah-perintah yang akan menjadi suatu norma tingkah laku bagi orang lain, namun dalam waktu yang bersamaan menciptakan berbagai instrumen peraturan yang akan dikenakan pada diri mereka sendiri.[37] Oleh karenanya norma yang akan dibentuk tersebut harus benar-benar mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Hal ini hanya mungkin dilakukan dengan terlebih dulu melakukan kegiatan pengkajian dan penelitian hukum secara mendalam. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mhd Shiddiq Tgk Armia bahwa institusi pembuat hukum salah satunya adalah Lembaga Riset Hukum, [38] yang mana banyak terdapat di Universitas. Lembaga Riset Hukum dan Perguruan Tinggi Hukum melalui tokoh-tokoh ilmuwan hukum dapat pula berkembang pemikiran hukum tertentu yang karena otoritasnya dapat saja diikuti secara luas di kalangan ilmuwan dan membangun suatu paradigma pemikiran hukum tertentu ataupun aliran pemikiran hukum tertentu. Aliran dan paradigma pemikiran seperti ini pada gilirannya dapat menciptakan suatu kesadaran hukum tertentu mengenai suatu masalah, sehingga berkembang menjadi doktrin yang dapat dijadikan sumber hukum bagi para penegak hukum dalam mengambil keputusan.

Kegiatan pengkajian, penelitian dan pembentukan naskah akademis sebagai bagian dari proses legislasi inilah yang perlu dikembangkan di Lembaga Pendidikan Hukum dengan dukungan dari Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Hukum dan HAM RI khususnya Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Dengan diakomodasinya penelitian-penelitian dari Lembaga Pendidikan Hukum, maka pendidikan hukum juga akan lebih memacu diri untuk meningkatkan kualitasnya sehingga produk-produk penelitiannya bisa diterima dan dimanfaatkan dalam proses legislasi. Pada akhirnya hal ini akan menjadikan pendidikan hukum di Indonesia berkembang menjadi lebih baik.


D. Kesimpulan

1. Pendidikan hukum bisa mencetak ahli hukum yang profesional dan berbudi luhur” (evolved person) dengan cara bahwa pendidikan hukum harus dilaksanakan dengan teratur dan sistematis, agar dapat memberikan hasil yang sebaik-baiknya. Apalagi, dunia pendidikan, dihadapkan dengan perkembangan kemajuan teknologi dan informasi. Pendidikan hukum juga harus menyentuh pada realitas sosial, budaya yang sangat beragam (multikultural). Dengan demikian, pendidikan hukum juga harus merespons dan menyesuaikan (adaptasi) dengan persinggungan budaya masyarakat sekitar. Sistem pendidikan hukum tidak terlepas dari sistem pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan pancasila, pendidikan haruslah diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik.

2. Peran Pemerintah, dalam hal ini adalah Departemen Hukum dan HAM RI sebagai salah satu alat pemerintah untuk mengembangkan pendidikan hukum di Indonesia adalah dengan melakukan:

a. Kerjasama dalam perekrutan Profesi Hukum

Profesi hukum bisa dipilih dan dipantau sejak dini di lembaga-lembaga pendidikan hukum dari mahasiswa-mahasiswa yang mempunyai kelayakan secara moral maupun intelektual. Dengan perekrutan semacam ini, SDM yang nantinya akan bekerja pada bidang hukum akan menjadi lebih baik, dan diharapkan akan mampu menjadi agen perubahan bagi terwujudnya sistem hukum dan sistem mayarakat yang lebih baik.

b. Pembentukan pola legislasi yang melibatkan Lembaga Pendidikan Hukum

Kegiatan pengkajian, penelitian dan pembentukan naskah akademis sebagai bagian dari proses legislasi inilah yang perlu dikembangkan di Lembaga Pendidikan Hukum dengan dukungan dari Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Hukum dan HAM RI khususnya Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Dengan diakomodasinya penelitian-penelitian dari Lembaga Pendidikan Hukum, maka pendidikan hukum juga akan lebih memacu diri untuk meningkatkan kualitasnya sehingga produk-produk penelitiannya bisa diterima dan dimanfaatkan dalam proses legislasi. Pada akhirnya hal ini akan menjadikan pendidikan hukum di Indonesia berkembang menjadi lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Anwar. Sistem Pendidikan Nasional Dan Peran Budaya terhadap Pembangunan Berkelanjutan,” (Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII tema Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, Denpasar, 14-18 Juli 2003)

Armia, Mhd Shiddiq Tgk. Perkembangan Pemikiran Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003) hal. 78-81

BPHN, Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional Serta Rencana Pembangunan Hukum Jangka Panjang, (Jakarta: BPHN, 1995/1996)

.

Effendi, Sofyan. Sambutan Rektor Universitas Gadjah Mada pada pembukaan Simposium Peningkatan Kurikulum Fakultas Hukum dan metode Pangajaran yang mendukung Pembangunan Hukum Nasional, , 21-22 Juli 2004

Friedman, Lawrence M. American Law An Introduction, diterjemahkan oleh Wishnu Bahkti, Ed.2.( Jakarta: Tatanusa, 2001)

Goesniadhie, Kusnu S. Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan (Lex Spesialis Suatu Masalah), (Surabaya: JP BOOKS, 2006)

Hartono, Sunaryati. Menyesuaikan Paradigma Tentang Pendidikan Hukum Nasional dengan Kebutuhan Masyarakat Indonesia Di Awal Abad Ke-21 (Makalah disampaikan pada simposium Peningkatan Kurikulum Fakultas Hukum dan Metode Pengajaran yang Mendukung Pembangunan Hukum Nasional, Yogyakarta, 21-22 juli 2004)

Ihsan, Fuad. Dasar-dasar Kependidikan (Jakarta : Rineka Cipta, 2001 Cet. II.

Indrakusuma, Amir Daien. Pengantar Ilmu Pendidikan (Malang: fakultas ilmu pendidikan IKIP 1973)

Kusumaatmadja, Mochtar. Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Hukum Nasional, (Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi FH UNPAD)

Locke, John. Kuasa itu Milik Rakyat: Esai Mengenai Asal Mula Sesungguhnya, Ruang Lingkup, dan Maksud Tujuan Pemerintahan Sipil, Terjemahan A Widyamartaya, (Yogyakarta: Kanisius, 2002) hal.107

Mahfud, Choirul. Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006)

Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo. Bab-bab tentang Penemuan Hukum, (Yogyakarta: Citra Adtya Bakti, 1993)

Mudyahardjo, Redja. Filsafat Ilmu Pendidikan, Suatu Pengantar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001)

Naisbitt, John. Global Paradox: Semakin Besar Ekonomi Dunia, Semakin Kuat Perusahaan Kecil, Terjemahan Budijanto, (Jakarta: Binarupa Aksara, 1994)

.

Pound, Roscoe. Pengantar Filsafat Hukum, Terjemahan Mohamad Radjab, (Jakarta: Bhratara, 1996)

Purnomo, Aloys Budi. “Uji Nyali” Memberantas Korupsi, Kompas, 23 Februari 2005.

Rahardjo, Satjipto. Kompas, Rabu 23 Mei 2007

Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum, Cet.5 (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000)

Soekanto, Soerjono. Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Ed.1.,Cet.12. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002).

Subekti. Beberapa Pemikiran Mengenai Sistem Hukum Nasional Yang Akan Datang, Makalah Seminar Hukum Nasional IV, tahun 1979

Umar, Musni. (ed), Korupsi: Musuh Bersama, (Jakarta: Lembaga Pencegah Korupsi, 2004),

Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Cet.1 (Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional 2003 (Jakarta: Cemerlang, 2003)

Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.03-PR.07.10 Tahun 2005

www.depdagri.go.id



[1] Tulisan ini diambil dari Jurnal Konstitusi Volume 6 No.2, 2009

[2] Dosen Fakultas Hukum UNTAG Jakarta

[3] Sudikno Mertokusumo, dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, (Yogyakarta: Citra Adtya Bakti, 1993) , hal 1. Sementara itu Roscue Pond secara lebih konkrit menunjukkan bahwa pada dasarnya tujuan hukum adalah untuk menjaga ketentraman, keamanan, perdamaian, ketertiban dan persamaan. Lebih jauh tentang ini lihat Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Terjemahan Mohamad Radjab, (Jakarta: Bhratara, 1996) hal. 35-41, 199. Dalam Kamus Umum Belanda Indonesia, Prof. Drs.S. Wojowasito, Ichtiar Baru, Van Hove, Jakarta, keadilan diartikan sebagai rechtvaardigheid (justice/ Inggris), kemanfaatan sebagai voordeligheid (profitable/Inggris), dan kepastian sebagai rechtzekerheid (certainty /Inggris).

[4] Salah satu persoalan yang perlu mendapatkan perhatian adalah banyak sekali Peraturan Daerah (PERDA) yang bermasalah. Departemen Dalam Negeri telah membatalkan 506 Peraturan Daerah (PERDA) mulai tahun 1999 hingga Maret 2006. Lebih jauh tentang ini lihat www.depdagri.go.id. Khusus dalam menyikapi banyak persoalan yang berkaitan dengan PERDA, Departemen Hukum dan HAM RI seharusnya mampu mendampingi Pemerintah Daerah (PEMDA) melalui Kantor Wilayah yang tersebar di setiap Provinsi. Sayangnya hingga saat ini peran Kantor Wilayah masih belum begitu maksimal.

[5] menyelenggarakan sebagian urusan pemerintah di bidang hukum tersebut ditentukan dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.03-PR.07.10 Tahun 2005

[6] Hal ini dibuktikan dengan banyaknya undang-undang yang diajukan dan di-judicvial review oleh Mahkamah Konstitusi, serta peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh Mahkamah Agung. Tapi bukan berarti bahwa saat ini lebih buruk daripada masa orde lama maupun orde baru meskipun pada masa itu tidak ada undang-undang yang di-judicial review karena memang saat itu mekanisme untuk itu belum ada.

[7] Pernyataan ini merupakan wujud ketidakpercayaan masyarakat kepada parlemen (DPR) yang dianggap sebagai pemegang kekuasaan legislasi. Ketidakpercayaan pada parlemen ini tidak saja terjadi di Indonesia, tetapi merupakan gejala global. Hal ini diakui oleh John Neisbitt yang menyatakan bahwa “Politikus dan aktivitas politik di seluruh dunia sedang diperiksa dengan teliti, dan di mana respek untuk standar kesusilaan dan tingkah laku etis didapat masih kurang, publik pun menuntut pemberian hukuman yang setimpal”. Lebih jauh tentang ini lihat John Naisbitt, Global Paradox: Semakin Besar Ekonomi Dunia, Semakin Kuat Perusahaan Kecil, Terjemahan Budijanto, (Jakarta: Binarupa Aksara, 1994) , hal.160.

[8] Hal ini dibuktikan dengan banyaknya perkara korupsi yang tidak terselesaikan serta lambannya penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM. Salah satu tulisan tentang rendahnya mentalitas aparat ini bisa dibaca dalam Aloys Budi Purnomo, “Uji Nyali” Memberantas Korupsi, yang dimuat di Kompas, 23 Februari 2005. Sedangkan Hartojo Wignjowijoto menyoroti korupsi di Indonesia dengan menyebutnya sebagai “industri korupsi” yang berfungsi sebagai instrumen politik para elit politik untuk bukan saja mempertahankan kekuasaan, tetapi juga sebagai alat untuk merebut kekuasaan. Lebih jauh tentang ini lihat Musni Umar (ed), Korupsi: Musuh Bersama, (Jakarta: Lembaga Pencegah Korupsi, 2004), hal.104

[9] Mochtar Kuaumaatmadja, Hukum, Masyarakat, Dan Pembinaan Hukum Nasional,Binacipta, , Bandung, 1976, hal. 24-25

[10] Sofyan Effendi, Sambutan Rektor Universitas Gadjah Mada pada pembukaan Simposium Peningkatan Kurikulum Fakultas Hukum dan metode Pangajaran yang mendukung Pembangunan Hukum Nasional, , 21-22 Juli 2004.

[11] Satjipto Rahardjo, Kompas, Rabu 23 Mei 2007

[12] ibid

[13] Ibid

[14] Keterangan lebih lanjut dapat dilihat dalam Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan, Cet. II. (Jakarta: Rineka Cipta, 2001) Hal.1.

[15] Ibid., hal 5.

[16] Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan, Suatu Pengantar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), 45-46

[17] Ibid

[18] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal.36

[19] Amir Daien Indrakusuma, pengantar ilmu pendidikan (Malang: fakultas ilmu pendidikan IKIP 1973), hal. 78

[20] Lebih jelas lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional 2003 (Jakarta: Cemerlang, 2003), 7

[21] Amir Daien Indrakusuma, opcit, hal. 78-79

[22] BPHN menganggap bahwa hukum merupakan suatu sistem. Sistem ini terdiri dari sejumlah unsur atau komponen atau fungsi/variabel yang selalu pengaruh-mempengaruhi, terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas dan berinteraksi. Semua unsur/ komponen/ fungsi/ variabel itu terpaut dan terorganisasi menurut suatu struktur atau pola yang tertentu, sehingga senantiasa saling pengaruh mempengaruhi dan berinteraksi. Asas utama yang mengaitkan semua unsur atau komponen hukum nasional itu ialah Pancasila dan UUD 1945, di samping sejumlah asas-asas hukum yang lain seperti asas kenusantaraan, kebangsaan, dan kebhinekaan. Sistem hukum nasional tidak hanya terdiri dari kaidah-kaidah atau norma-norma hukum belaka, tetapi juga mencakup seluruh lembaga aparatur dan organisasi, mekanisme dan prosedur hukum, falsafah dan budaya hukum, termasuk juga perilaku hukum pemerintah dan masyarakat. Lebih jauh lihat BPHN, Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional Serta Rencana Pembangunan Hukum Jangka Panjang, (Jakarta: BPHN, 1995/1996) hal.19.

[23] Subekti, Beberapa Pemikiran Mengenai Sistem Hukum Nasional Yang Akan Datang, Makalah Seminar Hukum Nasional IV, tahun 1979. Lihat juga Kusnu Goesniadhie S, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan (Lex Spesialis Suatu Masalah), (Surabaya: JP BOOKS, 2006) hal. 75

[24]Anwar Arifin, Sistem Pendidikan Nasional Dan Peran Budaya terhadap Pembangunan Berkelanjutan,” (Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII tema Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, Denpasar, 14-18 Juli 2003), hal. 3

[25]Sunaryati Hartono, Menyesuaikan Paradigma Tentang Pendidikan Hukum Nasional dengan Kebutuhan Masyarakat Indonesia Di Awal Abad Ke-21 (Makalah disampaikan pada simposium Peningkatan Kurikulum Fakultas Hukum dan Metode Pengajaran yang Mendukung Pembangunan Hukum Nasional, Yogyakarta, 21-22 juli 2004)

[26]Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet.5 (PT. Citra Aditya Bakti, Bandung:2000). 157

[27]Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Ed.1.,Cet.12. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002).hal.119.

[28]Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Cet.1 (Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002).hal.48.

[29]Lawrence M Friedman,” American Law An Introduction,” diterjemahkan oleh Wishnu Bahkti, Ed.2.( Jakarta: Tatanusa, 2001). hal.3.

[30] ibid

[31] Perkembangan hukum otonomi daerah misalnya, menunjukkan hubungan yang bervariasi dari waktu ke waktu mengenai hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Namun pada dasarnya harus tetap dipahami bahwa hal ini tetap merupakan upaya kontrol dari pemerintah terhadap pemerintah daerah maupun masyarakat.

[32] Lihat pasal 2 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.03-PR.07.10 Tahun 2005

[33] Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Hukum Nasional, (Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi FH UNPAD, 1979), hal 5.

[34] Ibid, hal.6

[35] Ibid

[36] John Locke, Kuasa itu Milik Rakyat: Esai Mengenai Asal Mula Sesungguhnya, Ruang Lingkup, dan Maksud Tujuan Pemerintahan Sipil, Terjemahan A Widyamartaya, (Yogyakarta: Kanisius, 2002) hal.107

[37] ibid, hal.226

[38] Menurut Mhd Shiddiq Tgk Armia bahwa institusi pembuat hukum salah satunya adalah; Pertama, Institusi Negara, yang terdiri dari Pemerintah, Parlemen dan Pengadilan. Kedua, Institusi Masyarakat yang terdiri dari Institusi masyarakat adat, Institusi hukum dalam praktek, Lembaga Riset Hukum. Lebih jauh lihat Mhd Shiddiq Tgk Armia, Perkembangan Pemikiran Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003) hal. 78-81

Selamat Datang

Selamat datang di komunitas dialektika hukum. Kami akan menemani anda menikmati etalase pemikiran hukum yang berkembang di Indonesia.